Reyga terbangun. Ia membuka mata, mengerjap beberapa kali hingga akhirnya langit-langit di depannya tampak jelas. Ia bangkit duduk, dan menyadari jika ia masih berada di kamar mandi. Ia menyentuh kepalanya yang sedikit nyeri.
Apa yang terjadi?
Ia mengecek lengan kirinya yang terluka. Lengannya masih dibalut dengan robekan kaosnya, yang kini dipenuhi rembesan darah. Tapi lengannya tidak terasa sakit sama sekali. Ia menggerakkan lengan kirinya pelan-pelan. Benar-benar tidak terasa sakit.
Ia memandang ke sekitarnya, namun ia tidak dapat mengetahui sudah berapa lama ia tertidur. Ia mengira mungkin baru satu atau dua jam saja.
Ia mengecek arlojinya di tangan kanan, mengusap permukaannya yang tertutup oleh darah kering. Permukaan jam retak dan jarumnya tidak bergerak.
Reyga menarik nafas. Pikirannya masih belum jernih. Ia segera bangkit berdiri. Lucunya, perutnya keroncongan. Apakah ia perlu makan di saat seperti ini?
Ia juga merasa sesak berada di dalam kamar mandi yang dingin dan sempit. Ia merasa tidak tahan untuk terus berada di sini. Ia menarik nafas memandang pintu kamar mandi. Toh, nanti dia akan berubah menjadi monster, tidak ada salahnya mengisi perut dulu.
Setelah memutuskan, Reyga membuka pintu kamar mandi, mendadak sekelebat bayangan hitam menerkam kakinya. Ia nyaris terlonjak kaget, lalu menyadari jika Fista yang mendatanginya.
"Jangan dekat-dekat, Fis," usir Reyga mengibas-ngibaskan kakinya. Fista terpaksa mundur, kucing itu bergerak enggan menjauh, mengeong lemah. "Hati-hati sama aku, sebentar lagi aku bakalan jadi monster."
Reyga tidak bermaksud memarahi Fista, namun mood-nya memang sedang tidak bagus. Padahal ia sudah tidak merasa kesakitan karena lukanya, dan itu aneh, tapi mengingat ia sudah digigit dan perutnya yang menggerung berisik karena lapar membuatnya sangat kesal.
Reyga berjalan menembus kegelapan rumahnya. Karena setiap celah ia tutupi papan, maka rumahnya cenderung gelap. Tapi biasanya sinar matahari masih bisa merembes masuk. Dan ini benar-benar gelap.
Reyga berjalan pelan di dalam kegelapan, ia menaiki tangga menuju kamarnya. Ia membuka pintu kamar dan membiarkan Fista masuk lebih dulu. Ia tidak mempermasalahkan Fista yang langsung naik ke atas kasurnya. Padahal ia tidak begitu suka dengan hewan-hewan berbulu, tapi dengan kondisi seperti ini membuatnya mengubah pandangannya.
Reyga menghela nafas melihat kamarnya yang berantakan. Ia merapikan seadanya sekadar untuk memberi tempatnya duduk. Kamarnya memang kecil dan ia menumpuk makanan dan barang-barang di dalamnya. Ia mengambil satu bungkus cokelat wafer, membukanya lalu memakannya dengan lahap. Ia mengambil air mineral, lalu meminum isinya. Karena masih lapar, ia mengambil lagi persediaan makanannya. Dan tak terasa ia nyaris menghabiskan setengah dari persediaannya.
Benar-benar gila, apakah ia selapar itu?
Reyga meminum botol ketiga dari stok air mineralnya.
Sial, itu artinya besok ia harus kembali ke swalayan untuk menambah persediaan. Tunggu dulu, kenapa juga dia perlu repot-repot memikirkan persediaan kalau nanti dia juga akan berubah menjadi Maligon?
Reyga menghela nafas keras. Ia mengambil satu bungkus sosis, lalu membuka bungkusnya. Ia menyodorkan sosis itu pada Fista. Kucing hitam yang terabaikan itu segera melahap sosis itu.
Reyga membiarkan Fista menikmati sosis, sementara ia mengambil ponselnya. Ia menyalakan radio, lalu mencari-cari saluran yang terhubung. Tidak ada saluran yang menyala, namun ia membiarkan suara berisik statis radio memenuhi kamar kecilnya.
Lalu saluran itu akhirnya menyala beberapa saat kemudian.
"Salam untuk warga yang masih bersembunyi. Semoga kalian masih dapat bertahan. Saya akan menyampaikan berita dari keadaan di Jakarta..."
Siaran itu isinya sama persis dengan terakhir yang didengar oleh Reyga tadi pagi. Tentang asal-usul wabah Virus berbahaya yang menyebar, kondisi Jakarta yang diisolasi dengan ketat, serta penjabaran mengenai efek perubahan ketika telah terpapar Virus.
Reyga segera bangkit berdiri, lalu mengecek jendela kamarnya. Ia sedikit menggeser papan dan melihat keadaan di luar rumahnya yang gelap gulita, namun suhu udara dingin yang khas dapat ia rasakan. Ia juga melihat beberapa Maligon bergerak pelan meninggalkan jalanan.
"Ini...?" Reyga terlihat semakin kebingungan. Sebenarnya ini pukul berapa?
Reyga segera mengambil ponselnya. Seketika matanya membelalak membaca angka jam yang tertera di layar.
04.08
Ini... Dini hari?
Itu artinya ia sudah tertidur lebih dari tiga jam bukan? Tapi mengapa ia masih tampak seperti manusia? Atau sebenarnya ia sudah menjadi monster? Menjadi Maligon?
Ia berbalik memandang kamarnya. Ia masih manusia kok. Lihat saja, dia membiarkan Fista makan. Dia membuka bungkus-bungkus makanan selayaknya manusia berakal, tidak menggigitinya kok.
Reyga terduduk dengan pandangan kosong. Dia masih belum dapat mencerna apa yang terjadi padanya. Ini seperti mimpi buruk yang membingungkan.
Dan begitu saja, seolah Tuhan sedang menjawab pertanyaannya, ia mendengar penyiar sedang menjabarkan tentang reaksi baru pada Virus, yaitu pada sebagian orang akan mengalami efek lambat setelah terpapar. Ya, Reyga sudah mendengar hal ini kemarin, jika ada efek virus yang baru akan terjadi setelah kurang lebih sepekan.
Apakah itu yang terjadi pada dirinya?
Itu artinya dia masih manusia.
Reyga tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau sedih. Ini sama saja seperti ia mengetahui jika ia mendapat penyakit mematikan yang ia ketahui kapan ia akan mati. Sepekan. Selama 7 hari itu ia harus menunggu sampai virus itu mengambil alih setiap fungsi tubuhnya. Membuatnya menjadi bodoh, menghancurkan otaknya hingga ia tidak dapat berpikir lagi selain berhasrat untuk makan.
Mengerikan.
Reyga menoleh pada lengan kirinya. Dengan was-was, ia melepas balutan kaos yang memperban lukanya. Ketika kaosnya sudah terlepas, ia mendadak bangkit lalu berlari keluar dari kamar, memuntahkan semua isi perutnya di lorong. Ia memandang ngeri pada luka di lengan kirinya, dimana kulitnya yang robek, kini digantikan oleh daging kelabu, menambal lukanya. Menjijikan.
***
Selama kurang lebih dua jam, Reyga berbenah. Ia menyadari pandangan tidak suka Fista melihat kamarnya yang berantakan tadi. Dan karena ia adalah anak yang lumayan patuh dengan segala omelan orang tuanya, ia merapikan kamarnya sampai mengepel setiap tetes darah yang tertinggal di lantai. Ia membersihkan lorong dan kamar mandi serta lantai yang terkena darahnya. Benar-benar tidak membiarkan sedikit pun bekas darah dimana pun.
Reyga terduduk di tengah rumah, berkeringat dan kelelahan. Akan lebih baik jika jendela rumahnya terbuka dan udara pagi memasuki rumahnya. Namun ia tidak ingin mengambil risiko. Jelas-jelas ada maligon yang menyerangnya di siang bolong. Si penyiar belum menyebutkan adanya jenis maligon yang satu ini. Atau orang-orang di luar Jakarta masih belum ada yang mengetahuinya.
Reyga menarik ponselnya. Ia sudah menyimpan nomor ponsel yang disebutkan si penyiar, berjaga-jaga jika sinyal di dalam kota Jakarta bisa menyala, maka mungkin ia bisa menghubungi.
Reyga mengetikkan pesan, menjabarkan tentang ciri-ciri maligon yang menyerangnya. Ia mengirimkannya setelah selesai. Hanya muncul tanda centang satu tanda jika pesan ini belum sampai ke penerimanya.
Fista ternyata sudah bergabung dengan Reyga di ruang tengah, si kucing hitam duduk di atas kursi dimana biasanya Nek Pipit duduk. Fista menjilati kaki-kakinya, mengabaikan tatapan sendu Reyga yang merindukan Nek Pipit.
Ia berharap keluarganya berhasil keluar dari Jakarta. Ayah, Ibu, Nek Pipit beserta si kembar dan adik tertuanya. Ia juga berharap dapat menghubungi mereka, mendengar suara mereka, paling tidak satu kali saja sebelum ia resmi berubah menjadi monster.
Ia berharap Pemerintah segera meledakkan Jakarta sekarang juga, daripada menunggu satu minggu lagi. Ia lelah menjalani hari-harinya dengan sendirian dan tidak jelas seperti ini. Ia berharap dirinya mati sebelum berubah.
Depresif sekali.
Mendadak Reyga membelalakan mata, memandang langit-langit kamarnya beberapa detik.
Ia teringat dengan pesan di apartemen di seberang jalan swalayan. Tulisan itu. Pasti ada orang di dalam sana.
Namun ia menggelengkan kepala. Ia merasa ngeri jika mengingat ada maligon di sekitar swalayan. Bagaimana jika ia bertemu dengan maligon itu lagi? Lalu dia terkena gigitan lagi? Apakah jika ia mendapat gigitan berikutnya reaksi tubuhnya akan melemah dan ia akan dengan cepat berubah menjadi monster?
Ck, dia mulai berspekulasi pada hal yang tidak dapat ia ketahui dengan pasti.
Satu minggu adalah waktu yang sangat lama. Jika masih ada manusia di dalam kota, mereka pasti sudah bergerak ke Tanjung Priok. Lagi pula menuju Tanjung Priok tidak akan lama jika menggunakan kendaraan. Kalau dipikir-pikir sih mudah, tapi bagaimana dengan maligon yang menyerang pada siang hari? Memikirkannya saja membuat Reyga bergidik. Ia masih trauma.
Namun tulisan TOLONG KAMI itu mengusiknya.
"Gimana dong, Fis..." kata Reyga resah. Ia mengakui jika ia adalah anak yang pengecut.
Reyga tidak begitu berani melakukan hal-hal heroik. Ia juga cenderung pendiam di kelas. Pernah ia dipalak dan dengan rela ia memberikan apa saja yang diinginkan kakak kelasnya itu. Besoknya ia memutar otak untuk mencari jalan dimana ia tidak harus bertemu dengan para tukang palak itu.
Fista mengeong, menanggapi kata-kata Reyga.
"Iya, deh. Keluar aja bentar. Ngecek doang sambil nyari makanan. Sosis kamu udah abis."
Reyga segera beranjak berdiri, lalu mengambil palu. Benda apa saja yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan diri.