BELENGGU
Bab 4
Demian masuk ke ruang kerjanya, diikuti Mara yang tampak tergesa-gesa. Wanita itu duduk di hadapan Demian, membuka beberapa lembar surat kontrak untuk para model jika mereka terpilih.
“Hari ini pukul dua siang. Aku sudah membuat janji dengan mereka, tapi bagaimana dengan satu model itu? apa kau sudah menemukan pengantinya, Demian?”
“Sebenarnya, aku menemukan seseorang. Tapi aku masih harus menunggu kabar, apakah dia bersedia atau tidak? Dan kurasa untuk dia, tidak perlu seleksi.”
“Oh, apakah dia model terkenal? Mungkin aku mengenalnya?” Mara terlihat penasaran.
“Sepertinya kau juga mengenalnya, dia kuliah di tempat yang sama dengan kita. Apa kau ingat Zea?”
Mara terkejut, menatap Demian dengan mata membulat, “Ze...Zea Mika? Mantan kekasihmu itu?”
“Aku juga sama terkejutnya denganmu, Mara. Aku terkejut saat Daniel memperlihatkan foto itu. Dia sama sekali tidak berubah, cantik dan elegan.”
“Apa itu sebuah pujian, Demian? Ah, astaga. Dulu kau juga sangat mengagumi wanita itu, kau jatuh bangun hanya untuk mendapatkan dia. Tapi apa kau masih memiliki rasa yang sama setelah apa yang ia lakukan padamu? Kurasa kau membenci wanita itu. Apa kau yakin dia mau bekerja sama dengan kita, mengingat apa yang pernah terjadi diantara kalian dulu?”
Demian menarik napas, tersenyum lebar menanggapi semua pertanyaan Mara, “kau ingin aku menjawab yang mana, Mara. Kenapa kau tidak bekerja paruh waktu sebagai wartawan, kau sangat cocok di bidang itu.” Demian terkekeh melihat pipi Mara yang merah padam.
“Kau meledekku? Aku hanya sekedar mengingatkan, kau memiliki Jovanca.” Mara berdiri dan meninggalkan berkas-berkas itu di meja Demian, “ jangan lupa untuk tanda tangan di sana, Demain.”
“Tentu, terimakasih.” Demain mengangkat kopinya di hadapan Mara, kemudian menyesapnya perlahan, sambil memperhatikan pinggul wanita itu yang sedikit bergoyang ketika berjalan.
Demian membuka setiap berkas, membacanya lembar demi lembar. Mara juga meninggalkan foto para model itu di sana. Semua cantik dan memenuhi standar, tubuh yang ideal, tinggi yang ideal. Hanya dengan melihat foto – foto mereka, Demian tahu berapa cm lingkar pinggang para model itu.
Dan beberapa menit setelah ia mempelajari semuanya, jemarinya yang tangkas sudah kembali bermain dengan pena dan kertas. Dimulai dengan membuat garis lengkung, sedikit demi sedikit membentuk sebuah sketsa dengan ukuran yang sangat detail. Demian selalu menciptakan karya yang berbeda, elegan dan unik. Dia sama sekali tidak menyukai detail yang terlalu rumit, sederhana namun berkelas.
Setelah ia menyelesaikan beberapa sketsa, pria itu kemudian berdiri di hadapan gulungan kain sutra yang berjajar rapi di sana, di sebuah rak khusus yang bahkan ia beli dengan memesan model yang unik.
“Aku akan memulai dengan yang ini.” Gumam Demian dan menarik satu gulung kain sutra dengan warna dasar hitam dan corak emas. Ia mulai mengukur, memasang pola, dan mengunting, matanya tajam mengawasi setiap detail. Demian adalah kesempurnaan, dia tidak pernah melakukan kesalahan sedikitpun di dalam karyanya.
............
Halo, sayang, kau sibuk? Tanya Jovanca di seberang telepon.
Tidak terlalu, sayang. Ada apa? Jawab Demian, menghentikan pekerjaannya sebentar.
Bukan hal penting, aku hanya ingin menyapamu. Entah mengapa rasanya sudah lama kita tidak bicara.
Eh, bukankah tadi pagi kita bicara, memang hanya sebentar karena kau terburu-buru. Apa kau ingin makan siang bersamaku hari ini?
Hmm, aku ingin tapi aku tidak bisa keluar siang ini. Bagaimana kalau aku pulang cepat? Apa kau juga bisa pulang awal?
Tentu, sayang. Aku bisa mengatur waktu sebaik mungkin.
Demian menutup teleponnya, bagaimanapun ia menyadari kesibukan istrinya telah menghilangkan banyak waktu diantara mereka. Terkadang Demian sangat mengharapkan jika Jovanca berhenti saja dari pekerjaan itu, namun ia tahu mengatakan hal itu hanya akan membuatnya putus asa.
Jovanca sangat mencintai pekerjaannya, bahkan mungkin mengalahkan cintanya kepada Demian. Ah, seandainya Jovanca adalah istri kebanyakan pada umumnya, mungkin ia tidak akan mengeluh soal ini. Bukan hanya soal waktu, Demian kerap merasa jika Jovanca lebih senang berbicara tentang obat dan pasien ketimbang hubungan mereka. Apakah ia tidak suka? Tentu saja, terkadang Demian mengharapkan sedikit kata cinta dari istrinya itu. Bukan hanya soal obat dan para pasiennya.
Tepat pukul enam petang, Demian meninggalkan kantornya. Mobilnya melesat ke restoran favorit mereka. Restoran itu adalah tempat di mana Demian melamar Jovanca. Sekitar tiga puluh menit, Demian menghentikan mobilnya di depan restoran itu.
Ia melangkah masuk, dilihatnya Jovanca duduk di samping jendela besar. Sejak dulu, Jovanca menyukai tempat duduk di dekat jendela. Karena dari sana, ia bisa menikmati jalanan dengan leluasa. Jovanca tidak menyukai tempat yang terlalu tertutup. Ia suka dengan pemandangan sekalipun itu hanya sebuah jalanan lurus tanpa ujung.
“Halo, sayang.” Sapa Demian sambil menarik kursi di depan Jovanca.
“Oh, kau sudah datang?” Jawab Jovanca sambil membalik menu di tangannya.
“Apa aku terlambat?”
“Hanya beberapa menit. Tidak masalah, apa kau ingin makan sesuatu? Aku memesan daging panggang dengan parutan keju, salad buah dan sebotol anggur. Kau ingin menambah sesuatu?”
“Tidak, sudah cukup. Aku bisa makan apa saja.” Jawab Demian tersenyum.
................
Jovanca menyesap anggurnya, menatap Demian yang masih menikmati makanan itu.
“Ehm, Demian. Apa kau akan mengadakan show untuk produk baru?” tanya Jovanca tiba-tiba.
Demian mengangguk, “Ya, aku sedang mengerjakan proyeknya, ada apa?”
“Tidak, aku hanya ingin melihat acara itu, kalau kau izinkan tentunya.”
“Ah, tapi bukankah kau sibuk, sayang? Maksudku aku tidak ingin membuatmu repot.”
“Ya, tapi mungkin aku bisa meminta izin pulang cepat. Apa kau keberatan, Demian?” Jovanca memotong daging dan mengunyahnya perlahan.
“Tidak, tentu aku sangat senang kalau kau bersedia datang. Kau menikmati makan malam kita, sayang?”
“Tentu, kita jarang bisa makan malam di luar seperti ini, bukan? Kau mau kutuangkan anggur lagi?”
Demian mengangguk, menyodorkan gelasnya. “Terimakasih, sayang.”
“Bagaimana pekerjaanmu, apa semua berjalan lancar?” Tanya Demian sambil menyesap anggurnya.
“Ehm, sebenarnya kami ingin meminta tambahan tenaga apoteker, kami kewalahan seiring dengan meningkatnya jumlah obat yang harus diracik. Aksa juga mengeluhkan itu, tapi lagi-lagi atasan menolak. Jika ada tenaga tambahan, maka kami tidak akan bekerja lembur hampir setiap hari, dan aku akan memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga kita. Demian, apa kau kesal jika aku sering bekerja lembur?”
Demian meletakkan pisaunya, meraih tangan Jovanca dan meremasnya lembut, “Jika harus jujur, aku ingin mengatakan Ya. Aku kesal karena istriku lebih banyak menghabiskan hidupnya dengan pekerjaan, sekalipun aku merasa jika keuanganku sangat cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu, bahkan lebih. Aku bisa memberimu kartu kredit, atau apapun yang kau inginkan. Seandainya saja kau mau.......berhenti.”
Jovanca terdiam, menatap Demian tanpa berkedip. Wanita itu kemudian menarik tangannya dari genggaman tangan Demian, “apakah itu satu-satunya solusi? Tapi apa yang harus kulakukan jika aku berhenti bekerja? Aku hanya akan diam menunggumu di rumah. Selain itu, ini adalah pekerjaan yang kuimpikan sejak dulu, sejak aku masih duduk di sekolah menengah. Karena itulah, aku berjuang untuk bisa kuliah di farmasi. Dan sangat bangga ketika akhirnya aku lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan pekerjaan yang kuimpikan. Demian, maafkan aku.”
Demian menarik napas, “Aku sudah menduganya, kau tidak akan melakukan itu. Baiklah, sayang. Kita hanya bisa menjalaninya saja, aku berharap kau tidak akan pernah lupa jika memiliki suami.” Demian tertawa kecil, ia tidak pernah ingin membebani istrinya. Karena Jovanca adalah hidupnya, cintanya. Setidaknya sampai saat ini.