Belenggu
Bab 7
Demian terhenyak, ketika mobilnya berhenti tepat di peta lokasi yang diberikan Zea. Sebuah tempat yang cukup jauh dari perkotaan. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke tempat itu. Sebuah tempat yang masih banyak ditumbuhi pohon – pohon besar dengan jalan setapak. Dan di sana, Demian menemukan sebuah rumah kecil bercat biru muda dengan satu jendela di bagian samping. Rumah dengan pekarangan yang luasnya hanya dua meter persegi. Pekarangan yang cukup kecil menurut Demian. Dan di sepanjang pekarangan itu, tumbuh bunga-bunga mawar yang tertata apik di dalam pot-pot kecil. Bunga yang sangat disukai Zea.
Ketika Demian akan mengetuk pintu, seseorang telah membuka pintu itu. Suara deritan pintu yang membuat hati Demian terasa miris. Zea berdiri di depan pintu dengan senyum di bibirnya. Rambut yang diikat ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan halus. Zea melangkah ke luar, berjalan mendekati Demian yang masih terpaku. Wanita itu meraih lengan Demian dan membawanya masuk ke dalam rumah. Seketika ia menutup pintu.
“Di sini aku tinggal, Demian.” Zea duduk diikuti Demian di sisinya.
“Kau menyewa atau.....”
“Tidak, aku membelinya. Hanya rumah ini yang sesuai dengan uang yang kumiliki. Tidak luas, tapi cukup nyaman untuk tinggal sendiri.” Jawab Zea sambil menuang air ke dalam gelas dan meletakkannya di hadapan Demian.
“Sejak kapan kau berada di London? Bukankah waktu itu kau memutuskan pergi ke luar negeri setelah lulus kuliah?” Demian menatap sebuah foto yang dibingkai dengan kayu eboni. Foto yang memperlihatkan telapak kaki bayi yang baru lahir.
“Sebenarnya belum terlalu lama, baru sekitar satu tahun yang lalu aku kembali ke London.”
“Apakah terjadi sesuatu?” tanya Demian dengan mata tak berkedip. Menatap Zea yang hanya tersenyum kecil.
“Demian, apa kau tidak membenciku?”
“Hmm, aku pernah membencimu. Aku kecewa dan sangat sakit saat kau memutuskan hubungan kita dan pergi dengan pria paruh baya itu. Tapi aku sudah melupakannya. Jadi, apakah kau berpisah dengan pria itu juga?”
Zea menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan sedikit kasar. “Aku terlibat dalam sebuah skandal. Memalukan memang untuk diceritakan. Tapi menutupinya darimu juga tidak ada gunanya.”
“Karena harta?”
Zea menatap Demian tajam, “Aku tidak seperti itu, Demian.”
Demian menyatukan alis, tersenyum kecut, “Tapi kau meninggalkanku saat perusahaan ayahku bangkrut, Zea. Kau memilih pria tua itu karena ia memiliki segalanya. Apalagi kalau bukan karena harta?”
“Aku tahu, Demian. Aku bersalah, tapi semua itu kulakukan karena aku butuh biaya yang besar untuk adikku. Adikku berada di ujung kematian, Demian.” Suara Zea serak dan tak lama kemudian air mata menetes di pipinya.
“Adikmu? Apa yang terjadi, aku tidak pernah mendengar soal itu.”
“Ya, karena aku tidak pernah mengatakannya. Aku tidak ingin menjadi beban untukmu, terlebih lagi saat keluargamu jatuh, jika aku terus berada di sisimu, aku hanya akan menambahi bebanmu, Demian. Sementara aku juga sedang dalam keadaan yang tidak baik.”
“Zea, itu bukan alasan yang bagus. Bagaimanapun juga aku akan mengusahakannya. Ah, sudahlah. Sekarang bagaimana keadaanmu adikmu? Apa dia sudah sembuh?” Demian meneguk air di hadapannya hingga habis.
“Ya, dia sudah tenang sekarang. Aku terlambat menolongnya dan aku menyesal.” Kali ini Zea benar – benar menangis. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangan, dan Demian yang melihat semua itu seolah mampu merasakan apa yang dirasakan Zea saat ini.
“Zea, aku turut berduka. Maafkan aku.” Demian meraih tangan Zea, mengusapnya lembut. Zea cukup terkejut ketika menyentuh jemarinya, ia menatap Demian dengan mata sembab dan wajah memerah. Cukup lama Demian mengenggam tangan Zea, sampai pada saat Zea melepaskan tangannya dari genggaman Demian.
“Aku tidak bermaksud untuk tidak sopan.” Demian menarik tangannya dari sana.
“Demian, benarkah kau sudah menikah?” Zea mengusap matanya yang basah dengan ujung jari. Menatap Demian dengan harapan pria itu mengatakan tidak.
“Benar, aku sudah menikah seperti yang kukatakan tadi.”
“Kapan?” tanya Zea lagi.
“Setelah kami mampu membangun kembali usaha ayahku, Aku lulus kuliah dan melanjutkan perusahaan itu, aku berusaha bangkit dan berjuang mendapatkan investor. Aku mengunjungi mereka seperti pengemis. Melakukan presentasi di mana-mana, sampai akhirnya aku mendapatkan kembali kepercayaan mereka. Setidaknya aku merasa puas dengan usaha itu, Zea. Karena kesibukanku yang begitu besar, aku terpaksa memakai jasa seorang dokter dan ternyata dokter itu memiliki seorang apoteker yang luar biasa. Aku sering mengunjunginya, dan entah sejak kapan aku mulai jatuh cinta padanya. Sekitar dua tahun aku mengenalnya, sampai akhirnya aku memberanikan diri melamar gadis itu. Kami menikah dua bulan kemudian.”
Zea menelan sativanya, sesuatu yang tidak ingin ia dengar terpaksa ia dengarkan. Dan Zea merasa Demian bahagia ketika membicarakan hal itu.
“Jadi kau sudah menemukan cinta itu, Demian?” suara Zea terdengar lambat. Sakit. Demian mengangguk, “tidak mudah bagiku untuk melupakanmu, Zea. Aku bahkan merasa terpuruk dan ingin mati. Tapi Jovanca membuatku hidup kembali. Aku menghabiskan waktu untuk perusahaan, aku ingin menunjukkan padamu jika akupun mampu menjadi seperti pria itu. dan ternyata hari ini kita bertemu.”
“Dan kau sudah menunjukkannya padaku, bukan?” Zea menatap Demian dengan nanar, ada rasa marah juga penyesalan yang begitu dalam di hati wanita itu.
“Maaf, aku tidak bermaksud begitu.”
“Demian...?”
“Ya?”
“Apa kau memiliki anak?”
“Belum. Jovanca belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan.”
Zea tersenyum lega, entah mengapa ia melakukan itu.
“Kau menundanya?” tanya Zea penuh rasa ingin tahu.
“Tidak, tapi kami memang belum diberi.”
“Apa istrimu bermasalah?”
“Sama sekali tidak. Sudahlah kita bicara yang lain saja.” Demian mengalihkan pandangannya kepada foto telapak kaki bayi itu.
“Kau sendiri, apa kau punya bayi?”
Zea menoleh, mengikuti pandangan Demian “Apa kau kira itu bayiku?” Zea tersenyum lebar merasa Demian sedang menyelidikinya. “Itu bayi adikku. Hanya telapak kaki bayi itu yang sempat kuabadikan. Dia meninggal beberapa menit setelah dilahirkan, bersama ibunya.”
“Oh, begitu rupanya.”
“Aku belum menikah, Demian. Kalaupun aku hamil, aku tidak akan membuang bayi itu. aku pasti berusaha membesarkannya. Tapi apa yang kuharapkan sekarang sudah sirna. Aku menyesal untuk hari itu Demian.”
“Menyesal untuk apa?”
“Haruskah aku mengatakannya?”
Demian menatap Zea dengan ragu, ia tidak ingin menebak sesuatu yang tampak samar. Zea meninggalkannya, bukankah itu bukti jika ia tidak mampu bertahan dengannya? Saat Demian berusaha sekuat tenaga mempertahankan gadis di depannya ini, tapi gadis itu justru memilih pria lain. Sekalipun baru saat ini dia mengatakan kejadian yang sebenarnya, namun bagi Demian itu bukanlah alasan yang masuk akal. Jika Zea bertahan, ia pasti mencari cara. Jika Zea mengatakan semuanya, ia pasti mengerti dan berusaha keras menolongnya. Karena Demian teramat sangat mencintai wanita itu.
Namun bukankah semua sudah terlalu terlambat untuk diulang? Demian sudah menikahi Jovanca, ia mencintainya. Namun Zea ada di hadapannya kembali. Wanita itu mengingatkan Demian tentang masa lalunya, tentang cintanya yang ia kubur dengan susah payah. Dan sekarang wanita itu berusaha menggalinya kembali.