Bab 10 - Maya

1443 Kata
Setibanya di agensi, mereka kecuali Jenny langsung menemui Ryan di ruangannya sedangkan Jenny langsung pergi duluan ke kantin agensi untuk mencari meja. Setelah beberapa menit berbicara dan menyepakati keputusan akhir, Ara dan Devan akhirnya pamit keluar dari ruangan Ryan untuk sarapan di kantin. Sepanjang jalan menuju kantin, terlihat orang-orang yang lewat terus memperhatikan Devan dengan tatapan takjub sementara Ara bersikap biasa saja dengan tatapan orang-orang yang kebanyakan termasuk staff dari tim agensi. “Kantinnya di mana?” tanya Devan membuka suara. “Di dekat sini,” jawab Ara lalu melangkah sedikit lebih cepat hingga sampai ke kantin agensi. Dan saat tiba di sana, Ara mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari Jenny. “Kak, ayo ke sana. Di sana ada Kak Jenny.” Devan mengikuti arah mata yang Ara tunjukkan lalu sontak mengangguk. Ia mengikuti langkah Ara yang jalan lebih dulu menghampiri Jenny. “Eh, Kak belum makan?” “Eh, Ra! Belum nih, sekalian nungguin kalian tadi. Ya udah kita pesan makan dulu ya,” Dua lainnya pun mengangguk dan mengambil duduk di salah satu kursi. “Mbak!” panggil Jenny pada pelayan yang sedang berdiri tak jauh dari tempat mereka. “Mau pesan apa Mbak?” tanya pelayan tersebut sembari memberikan buku menu, “Kak Devan pilihlah menu dari sini. Aku dan Kak Jenny sudah menentukan menu makanan yang biasanya kami pesan. Ya 'kan Kak?” “Iya.” “Oh, ya udah aku lihat dulu.” “Mbak saya pesan seperti biasa ya, tapi acarnya dikit aja dan jangan pedas. Sama minumnya es jeruk aja.” tutur Ara pada pelayan yang langsung menulis pesanannya di catatan kecilnya. “Saya pesan batagor seperti biasanya juga, yang pedas dan es teh aja mbak.” tambah Jenny yang ikut memesan dengan menu yang sama. “Hm, saya pesan bubur ayam sama coffee latte aja mbak.” Devan menutup buku menunya lalu memberikannya kembali pada sang pelayan. “Baik Mbak, Mas! Mohon tunggu sebentar ya,” “Iya Mbak,” jawab Ara. “Hm, kenapa kamu cuma pesan bubur ayam Kak? Memangnya kenyang?” “Iya, makan bubur cepat banget laparnya. Nanti kamu kuat ngga kemana-mana ikutin Ara untuk jagain dia.” Devan tersenyum, “Tadi di rumah aku sudah makan sedikit, InshaAllah kuat, sudah biasa juga.” Jenny mengangguk paham. “Oh iya tadi bagaimana ngobrol sama Kak Ryan?” “Udah disetujui kok sama Kak Ryan, dan kami juga sudah membahas syarat dan ketentuan beserta honornya nanti.” “Oh, baguslah kalau begitu. Semoga kamu betah bekerja sama Ara ya.” Jenny melirik Devan. “Iya makasih. Hm, ngomong-ngomong kamu udah lama kerja sama Ara?” tanya Devan sembari melirik ke arah Ara ketika menyebut namanya. “Hm, sudah hampir 2 tahunan sih. Ya, ngga sih Ra?” “Iya Kak, bener.” “Tenang aja ini anak baik kok. Humble juga cuma agak keras kepala dan cemburuan aja.” “Apaan sih Kak!” Ara tidak terima dengan kalimat terakhir yang diucapkan Jenny. “Tapi, serius enak kerjasama dengan Ara, buktinya hubungan kami sekarang sangat dekat seperti saudara kandung mengingat Ara juga anak tunggal.” Devan mengangguk paham. “Baiklah, aku akan bekerja dengan baik juga denganmu.” “Makasih ya Kak.” Ara dan Devan saling melempar senyuman dan tatapan tulus. Pesanan mereka pun akhirnya datang dan mereka mulai menyantap sarapan mereka pagi ini. *** Setelah dari agensi, Ara kini sedang berada di sebuah acara musik dan tentu saja Devan selalu berada di sisinya. Saat Ara naik ke atas panggung untuk interview singkat untuk memperkenalkan lagunya sekaligus membawakan lagu barunya, Devan memantau dari sisi panggung, ia pun berinisiatif untuk mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto Ara, bahkan ia juga ikut tersenyum ketika mengambil foto Ara yang sedang tersenyum dengan manisnya. Setelah Ara tampil, ia kembali ke backstage menghampiri Devan untuk istirahat, makan ataupun minum. “Kamu mau ini?” tanya Ara seraya menyodorkan sebuah sandwich ke arah Devan. “Eum, ini buatku?” “Iya, ambillah.” Devan pun akhirnya menerimanya. “Makasih ya,” Ara mengangguk lalu kembali mengigit sandwich miliknya. “Dev!” panggil seorang wanita berambut panjang dengan tampilan seperti artis mendatangi Devan dan Ara yang sedang duduk bersama. “Maya,” Devan sontak berdiri dan meletakkan sandwich nya ke atas meja, Ara pun ikut berdiri dan menatap wanita sesama rekan penyanyi tersebut. “Hai Dev! Kamu kok bisa ada di sini? Bukankah kamu bekerja di kantor BASARNAS ya?” tanya wanita itu ketika Devan menghampirinya. “Sebenarnya iya, tapi aku sudah resign dari sana. Dan sekarang bekerja sebagai bodyguardnya Ara.” Maya, wanita itu sontak melirik Ara yang berdiri di sebelah Devan. “Oh iya Ra?” “Iya.” jawab Ara singkat dengan ekspresi datar. “Oh, begitu.” Maya kembali menatap Devan. “Kamu apa kabarnya Dev? Udah lama kyknya ya kita ngga ketemu. Aku kangen banget sama kamu, aku boleh peluk kamu ngga?” “Kabarku baik, ya tentu saja aku juga kangen banget sama kamu.” jawab Devan lalu merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Maya. Ara melebarkan matanya ketika mendapati pemandangan yang membuat moodnya berantakan itu, “Ehem!” dua orang yang sedang berpelukan itu sontak melepaskan pelukannya lalu menatap orang yang baru saja berdehem. “Hm, apa kalian berdua saling mengenal? Kalian tampak dekat sekali.” “Tentu saja kami saling mengenal, bahkan kami sangat dekat. Ya 'kan Dev?” “Iya, benar sekali.” Mereka terlihat saling berpandangan dan melempar senyum untuk satu sama lain. “Ehem! Aku ke sana dulu ya,” celetuk Ara lagi tanpa menunggu jawaban dari keduanya, ia langsung pergi dari sana hingga membuat mereka berdua saling memandang satu sama lain dengan ekspresi wajah yang seolah-olah mengatakan 'Dia kenapa?’ *** Setelah pulang dari acara musik, kini Ara, Jenny dan Ryan dalam perjalanan menuju tempat pemotretan majalah dengan Devan yang setia mengikuti dari belakang dengan motornya. Ara yang duduk di jok belakang sesekali terlihat melihat ke belakang hingga membuat Jenny yang sedang menyetir dan melihat Ara dari kaca spion atas mobil mengernyitkan dahinya bingung. “Ra!” “Eum?” “Aku perhatiin dari tadi kamu memeriksa ke belakang terus. Ngapain kamu lihatin Kak Devan terus, Dia tetap ikut di belakang kok, ngga akan ke mana-mana." “Hah, n-ngga kok. Siapa juga yang lihatin dia.” Jenny dan Ryan terlihat berpandangan sejenak sebelum akhirnya Jenny kembali membuka suaranya. “Ngga usah bohong, kamu itu dari tadi lihatin dia. Aku jadi bingung sebenarnya di sini siapa yang bodyguardnya. Seharusnya dia yang terus memantau kamu, bukan kamu yang terus memantau dia.” ungkap Jenny diakhiri kekehan dan gelengan kepala darinya. “Dia memang bersikap aneh Jen setelah minta dicarikan bodyguard.” timpal Ryan. “Oh iya Kak? Jangan-jangan ada sesuatu nih di antara kamu dan Devan. Ya 'kan Ra?” “Apaan sih Kak! Ngga begitu juga tahu!” Sepertinya Ara masih enggan untuk menceritakan tentang perasaannya pada Devan kepada siapapun. Alisnya tampak menukik dengan bibir yang mengerucut sebal. Setibanya di lokasi pemotretan, Ara sama sekali tidak menegur Devan dan sibuk mempersiapkan outfit untuk pemotretan hingga pemotretan selesai. Sementara Devan dan lainnya memantau pemotretan dari belakang photographer. Sedari tadi Devan tampak menatap Ara yang asik berpose di depan kamera dengan wajah cantiknya. “Baik Mbak Ara, ganti pose sekali lagi ya.” Ara mengangguk dan mengganti posenya. “Oke, senyum. 1,2,3.” Cekrek! “Oke, cukup pemotretan hari ini.” “Oke, makasih Mas.” Setelah pemotretan dan berunding dengan pihak pemotretan usai, mereka berniat untuk pulang dan saat keluar dari Kafe, tempat pemotretan tersebut. Para wartawan dan jurnalis terlihat sudah memenuhi parkiran Kafe. Mata Ara melebar ketika mendapati para wartawan dan jurnalis dari berbagai media sudah berkumpul di sana. ‘Ada apa ini? Mau apa mereka semua ke sini?’ batinnya. Semua kamera para wartawan tampak membidik Ara beserta lainnya. “Mbak Ara! Mbak Ara! Apa benar sekarang Mbak sudah memiliki bodyguard sekarang?” “Mbak Ara! Apa pria tinggi yang berada di sebelahmu adalah bodyguardnya?” “Mbak! Kenapa mbak memutuskan untuk memperkerjakan bodyguard sekarang? Apa karena kasus kecelakaan dengan Tania tempo lalu yang membuat Mbak akhirnya memperkerjakan bodyguard?” “Mbak Ara! Bisakah mbak memberikan penjelasan mengenai pernyataan yang dikeluarkan MH entertainment kemarin?” Ara bingung harus menjawabnya dari mana karena sedari tadi para jurnalis terus bertubi-tubi memberikan pertanyaan. Bola matanya terus bergerak-gerak dan sesekali mengigit bibir bawahnya gugup. “Tolong semuanya harap tenang! Bagaimana Ara bisa menjawab bila kalian tidak memberikan dia ruang. Jadi saya mohon semuanya harap tenang!” Ryan mulai membuka suaranya dan para wartawan dan jurnalis itu pun menaati perintah Ryan, manajernya Ara. “Ara, sekarang silakan kamu jawab semampu kamu.” Ara menghela napasnya sebelum berbicara. “Aku—“ TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN