*****************
Gadis cantik bernama Sienna menghela napas berat, mencoba menenangkan debar jantungnya yang kacau. Matanya terpejam kuat, tak terasa air matanya menetes kembali. Dia merasakan bekas sentuhan hangat di tubuhnya, dan merasakan beban berat menimpa tubuhnya sesaat sebelum itu. Napasnya memburu tak karuan, rambut dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat.
"Kenapa rasanya sakit?" lirihnya masih dengan ringisan-ringisan kecil membuat Samuel, pria yang kini sudah duduk tegak di sebelahnya, kembali menoleh.
"Karena ini yang pertama bagimu, dan karena kita tidak melakukannya atas dasar cinta," jawab Samuel.
Pria itu mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata dan juga keringat yang membasahi wajah Sienna. Kedua mata tajam dan sendu itu saling bertatapan seolah mencari keyakinan dari masing-masing pemiliknya.
"Kau benar."
"Yang mana?"
"Semuanya," jawab Sienna, suaranya sedikit serak. Dia mencoba tersenyum nakal.
Samuel terkekeh pelan sembari mengalihkan pandangannya ke arah samping, tepat ke jendela, di mana cahaya bulan yang menembus kaca jendela itu langsung menerpa wajah tampannya.
Sienna terpana dalam rasa tidak nyamannya
Selain tampan, pria ini juga pintar, kaya, dan dari keluarga yang terpandang. Benar-benar pria dengan gen sempurna yang sangat Sienna butuhkan untuk memenuhi keinginan orang tuanya.
"Terima kasih atas kesediaanmu untuk mematuhi kesepakatan ini, Samuel," ujar Sienna pelan.
"Tidak, setelah kamu hamil, justru saya yang akan berterima kasih padamu," balas Samuel masih dengan deru napas yang cepat.
Sienna hanya tersenyum sebelum kembali meringis merasakan sisa rasa tak nyaman. Pria itu langsung berbaring di sampingnya. Udara dingin AC seketika menerpa tubuhnya yang masih dipenuhi keringat.
"Kamu benar-benar akan menikahi aku, kan?" tanya Sienna lagi, dan itu membuat Samuel menoleh lalu menekuk tangan kanannya untuk dijadikan bantal.
"Tentu saja, sesuai kesepakatan. Kalau kamu hamil, saya akan menikahi kamu. Kamu tak usah khawatir, saya tak berniat ingkar," balas Samuel.
"Good babe. Don't let love hurting you."
Setelah itu, mereka berdua saling menatap dalam diam. Keheningan itu terasa lebih berat dan menekan daripada suara rintihan sebelumnya.
Samuel meraih tangannya, menggenggamnya kuat seolah memastikan kesepakatan itu telah mengikat mereka secara resmi.
Pertemuan mereka memang sangat singkat, namun entah mengapa keduanya merasa kalau mereka bertemu dengan orang yang tepat untuk menjalankan misi mereka ini. Walaupun tanpa cinta, namun keyakinan untuk bersama itu sangat ada. Mereka berdua memang sangat muak dan tak percaya dengan kata CINTA, tapi bukan berarti mereka tak membutuhkan perhatian dan kebutuhan yang bersifat privat.
Namun walaupun begitu, Samuel bukanlah laki-laki tanpa tanggung jawab yang sembarangan menanam benihnya di mana saja dan begitupun juga Sienna. Mereka telah lama menahan diri dari segala bentuk keintiman, dan itulah mengapa, di saat keduanya bertemu dengan sesama misi maka membuncahlah keyakinan dan kebutuhan fisik mereka terpenuhi oleh orang yang tepat bagi mereka berdua.
Keheningan yang mencekik itu perlahan mulai terurai oleh suara napas mereka yang kini sudah lebih teratur. Samuel melepaskan genggamannya, namun hanya untuk mengubah posisinya. Ia menarik tubuh Sienna mendekat, membiarkan kepala gadis itu bersandar di lengannya yang kekar. Sebuah posisi yang intim.
Sienna tidak menolak. Dia memejamkan mata, menghirup aroma maskulin khas Samuel yang kini bercampur dengan aroma keringat.
"Kita harus sering keluar bersama, Sienna," ujar Samuel dengan suara berat.
"Kencan?" tanya Sienna, membuka matanya.
"Anggap saja begitu," balas Samuel, sedikit mengoreksi. "Kita perlu membangun image di mata publik dan—" dia berhenti sejenak, menoleh, dan menatap lurus ke mata Sienna, "—dan juga membiasakan diri satu sama lain. Kamu tidak ingin keluarga kita curiga, kan? Mereka tidak boleh tahu soal kontrak ini."
Sienna mengangguk, mengerti. "Tentu saja. Apa rencana kencanmu, suami?"
Sienna sengaja menekan kata 'suami', menguji reaksi Samuel. Pria itu hanya tersenyum tipis, lesung pipinya muncul sekilas.
"Kita akan mulai dengan hal yang paling klise. Makan malam, di tempat yang sangat ramai," jawab Samuel, nadanya datar seperti sedang membacakan jadwal rapat. "Lalu kita akan mencoba melakukan hal-hal yang 'pasangan jatuh cinta' biasa lakukan. Jalan-jalan di taman, menonton film—tentu saja dengan memilih film yang buruk agar kita punya alasan untuk saling menyentuh di bioskop yang gelap."
Sienna tertawa pelan, tawa yang tidak sampai ke matanya. "Ide yang bagus, Samuel. Prosedur apa lagi yang harus kita lakukan?"
"Sentuhan fisik," jawab Samuel cepat. Dia membalikkan badan, kini berhadapan langsung dengan Sienna. Jarak di antara wajah mereka begitu dekat.
"Kita harus lebih sering berpegangan tangan di depan umum. Pelukan di depan keluarga kita. Kecupan selamat pagi dan selamat malam," lanjutnya, menatap lurus ke bibir Sienna, namun dengan pandangan yang menganalisis, bukan memuja. "Sentuhan-sentuhan itu harus terasa natural, Sienna. Jadi, kita harus melatihnya. Anggap ini adalah chemistry reading."
Sienna terdiam sejenak. Ia sadar, Samuel benar-benar profesional dalam menjalankan kontrak ini. Ia tidak membiarkan emosi—terutama cinta yang mereka berdua benci—mengganggu rencana mereka.
"Oke .Deal..."
Sienna menghela napas, rasa sakit di tubuhnya sudah mereda, namun digantikan oleh rasa hampa yang aneh. Pria di sampingnya ini adalah pasangan tidurnya, calon suaminya, ayah dari calon anaknya. Mereka baru saja melewati batas terintim, namun kehangatan yang ia rasakan hanya sebatas panas tubuh, bukan kehangatan hati.
Ia memeluk pinggang Samuel, hanya karena ia tahu itu adalah bagian dari 'prosedur' agar mereka terbiasa.
Di dalam pelukan yang seharusnya penuh gairah itu, Samuel dan Sienna terlelap, sama-sama merasa puas telah menemukan rekan yang tepat, namun juga sama-sama merasa kesepian di tengah keintiman yang telah mereka ciptakan. Mereka adalah dua kepingan puzzle yang cocok secara logika, tapi sama sekali tidak cocok secara emosi.
Keesokan harinya.
Di sebuah restoran Italia yang mewah, Samuel dan Sienna duduk berhadapan. Mereka berdua terlihat serasi dengan pakaian formal yang elegan.
Saat menunggu hidangan, Samuel meraih tangan Sienna yang tergeletak di meja, menggenggamnya dengan mantap.
"Tersenyumlah, Sienna," bisik Samuel, matanya melirik ke seberang ruangan di mana ada beberapa fotografer paparazzi yang sudah ia prediksi akan hadir. "Ingat, kita sedang jatuh cinta. Tatap saya seperti kamu baru saja memenangkan lotre."
Sienna memaksakan senyum yang paling manis dan tampak bahagia, matanya mengerling manja ke arah Samuel.
"Seperti ini, Sayang?" balas Sienna, sengaja menggunakan panggilan mesra yang terdengar asing di telinga mereka berdua.
Samuel membalasnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Lebih baik," ujar Samuel. "Tapi jangan terlalu berlebihan. Kita bukan pasangan remaja. Kita adalah pasangan dewasa yang tenang dan yakin akan satu sama lain. Kita tidak akan merusak kontrak hanya karena akting yang buruk, kan?"
Sienna menarik napas panjang. "Tentu tidak. Kontrak ini terlalu mahal untuk dirusak."
Mereka terus berbicara sepanjang makan malam, membahas proyek kerja, investasi saham, dan jadwal fitting baju pernikahan yang akan segera mereka atur.Mereka berdua seperti aktor yang sedang memainkan peran sempurna.
Tbc.............