Bab 5

969 Kata
Dante menyentuh tali celemeknya, menariknya perlahan. “Kamu tidak takut dapurnya terbakar kalau pakai baju segini?” bisiknya di telinga Kana. “Takut.” Kana menoleh setengah, bibirnya menyentuh pipi Dante. “Tapi kamu sudah membakar semua duluan semalam.” Dante tertawa pelan. Tangannya menyusup ke perut Kana, lalu naik pelan ke d**a. “Kalau begitu, kenapa kamu masak pagi-pagi begini? Masih belum cukup puas?” “Aku lapar.” “Bukan lapar tubuh. Tapi lapar kemenangan.” Kana membalik badan. Telur di wajan dibiarkan gosong. Tatapan mereka bertemu lagi, kali ini lebih gelap, lebih terkontaminasi oleh kenyataan—bahwa ini bukan hanya seks. Bukan hanya permainan. Ini sudah mulai jadi perang. Tanpa banyak kata, Dante mengangkat tubuh Kana dan menaruhnya di meja dapur. Dia membungkuk, mencium perut wanita itu, lalu turun ke antara paha. Lagi. “Chef,” bisik Kana, “kamu tidak bisa memasak menu yang sama dua kali dan berharap tetap mengejutkan.” Dante menatap dari bawah. “Aku bukan masak. Aku eksperimen.” Tangannya membuka paha Kana lebih lebar, dan mulutnya mulai bekerja lagi. Kali ini tidak pelan. Tidak lembut. Tapi juga bukan kasar. Dia bermain di antara batas sakit dan nikmat, membuat tubuh Kana melengkung lagi, tapi kali ini lebih liar, lebih mentah. Tidak ada romantisme. Tidak ada ciuman penutup. Hanya hasrat murni yang menguap dari tubuh mereka seperti uap dari air mendidih. Setelah o*****e yang mengguncang seluruh tulang belakang Kana, Dante berdiri. Membalik tubuhnya. Membuat Kana bersandar pada meja dengan tangan, bokongnya menghadap Dante. Dia masuk dari belakang. Dalam sekali. Kana menjerit pelan, tubuhnya gemetar di bawah d******i yang tiba-tiba. “Ini... bukan di menu,” bisiknya parau. “Makanya enak,” jawab Dante, sambil menggenggam rambut Kana, menariknya sedikit ke belakang. Tubuh mereka bertabrakan, suara meja bergeser, derit lantai kayu, dan detak jantung mereka adalah satu-satunya musik di ruangan itu. Mereka seperti dua bumbu yang seharusnya tidak pernah disatukan. Tapi saat digerus bersama—menciptakan ledakan rasa yang bikin kecanduan. Ketika Dante menumpahkan segalanya di dalam Kana, keduanya menggigil dalam pelukan yang tidak hangat. Tapi intens. Meledak. Mereka terdiam. Lagi. Tapi kali ini tidak ada senyum. Hanya napas yang terengah dan mata yang menolak bicara. --- Dante tahu—ini bukan sekadar permainan. Tapi dia juga tahu, dia belum mau kalah. Bahkan saat Kana berkata, “Obsesi,” dengan senyum kecilnya yang setipis silet, Dante hanya membalas dengan gumaman, “Kalau begitu, ayo kita lihat siapa yang lebih dulu jadi gila.” Dia menarik kursi bar, duduk di belakang Kana, menatap punggung telanjangnya yang hanya tertutup celemek tipis. Api kompor menyala kecil. Telur setengah dikocok. Dan tubuh wanita itu terlalu dekat dengan bahaya. "Biar aku yang masak," bisik Dante, berdiri, meraih pinggul Kana lalu membalik tubuhnya perlahan. "Aku tidak percaya chef bisa membuat sarapan," sindir Kana, tapi tidak menolak saat Dante mendorong tubuhnya ke meja dapur. "Lagian aku tidak lapar hanya dengan satu butir telur. Aku mau rasa semalam." Dan tanpa aba-aba, Dante kembali merendahkan diri. Bibirnya menyentuh pangkal leher Kana, lidahnya menjalar ke tulang selangka, lalu turun lagi—tanpa permisi. Kana menyeringai, menggigit bibir bawah. "Sialan. Kamu tidak capek, ya?" Dante menjilat perlahan bagian sensitif di bawah pusarnya. "Capek... tapi rasa kamu bikin aku tidak peduli." Gerakannya cepat tapi terencana. Kali ini tidak seromantis semalam—tapi lebih mentah. Lebih brutal. Meja dapur kembali jadi altar dosa. Kana mendesah, tangannya mendorong kepala Dante lebih dalam. "Lagi..." Dante memberi. Lagi. Dan lagi. Sampai tubuh Kana bergetar untuk kesekian kalinya. Tapi bahkan saat itu pun, dia tidak berhenti. “Ini, Kana,” bisiknya kasar, “ini bukan tentang cinta. Ini tentang rasa. Dan kamu... kamu rasa paling k*****t yang pernah aku cicipi.” Kana tertawa—dengan napas yang masih patah-patah. “Dan kamu... kamu candu paling beracun yang pernah aku telan.” --- Setengah jam kemudian, keduanya berdiri di dapur yang kini benar-benar seperti lokasi pembantaian—tepung berserakan, lap dapur jatuh, satu gelas wine pecah. Dante mengenakan kemejanya pelan. Kana berdiri di depan kulkas, membuka botol air dingin, lalu meneguknya langsung dari mulut botol. Beberapa tetes mengalir di dagunya. Dante menatap. Tapi tidak mendekat. “Kamu seharusnya dikurung,” katanya datar. Kana menoleh. “Kamu seharusnya dilaporkan.” Saling balas. Saling hantam. Tapi napas mereka masih terengah. “Kita selesai?” tanya Kana, mengambil rokok dari meja. Dante mengangkat bahu. “Untuk pagi ini? Mungkin. Untuk selamanya? Jangan mimpi.” Kana tertawa, meniupkan asap ke arahnya. “Jadi kamu masih mau?” Dante melangkah mendekat, menangkup dagu Kana dan mendekatkan wajah mereka sampai nyaris bersentuhan. “Aku akan terus datang, Kana. Sampai kamu tidak bisa membedakan mana rasa lapar... dan mana aku.” Di dalam kepalanya, Kana bergumam: “Bawa aku ke neraka, Chef. Tapi pastikan kamu terbakar duluan.” --- Beberapa jam kemudian, Dante mengenakan celana dan kemeja setengah dikancing. Di tangan Kana ada segelas espresso dan selembar kertas yang ia sodorkan ke Dante. “Apa ini?” tanya Dante. “List bahan yang harus kamu cari. Untuk makan malam nanti.” Dante mengangkat alis. “Sekarang kamu menyuruh aku?” “Tentu. Aku yang jadi chef malam ini. Kamu cuma sous chef... atau bahan eksperimen.” Dante mendekat, menarik pinggang Kana dan mencium lehernya. “Tapi kamu tahu, kan,” bisiknya, “kalau kamu terus bermain seperti ini, suatu hari kamu akan terjebak.” “Terjebak apa?” Dante menatapnya tajam. “Keinginan untuk dimiliki.” Kana tertawa—dingin. “Aku bukan dessert. Aku racun. Dan kamu baru mulai mencicipinya.” Dante tersenyum tipis. “Bagus,” katanya sambil berbalik menuju pintu. “Karena aku bukan orang yang takut mati. Aku hanya takut tidak bisa balas dendam kalau telanjur jatuh cinta.” Pintu tertutup di belakangnya. Dan Kana berdiri diam, tatapannya tertinggal pada pintu itu. Tubuhnya masih terasa geli karena Dante. Tapi hatinya... Hatinya mulai terasa panas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN