Untuk satu detik yang terasa seperti jurang tak berdasar, Kana hanya berdiri di sana — di pinggir trotoar Senopati yang ramai—sementara dunia terus bergerak normal, tapi dirinya tidak. Di depannya, Dante Arjuna berdiri tenang seperti badai yang sudah tahu arah angin akan menuntungkan dirinya. Pintu mobil yang ia buka menjadi semacam undangan… atau jebakan. Angin sore mengangkat sedikit rambut Kana, menyapu sisi wajahnya. Wajah yang Dante perhatikan terlalu lama, terlalu dalam. “Kau pikir aku takut masuk ke mobilmu?” tanya Kana, suaranya dingin, namun retakannya halus. Dante mendekat sedikit, sekadar cukup untuk membiarkan hawa tubuhnya menyentuh garis kesadaran Kana. “Aku tidak peduli kalau kau takut,” bisik Dante. “Aku peduli kalau kau berbohong pada diri sendiri.” Itu saja. Itu ka

