Aku memeluk Alvi dengan erat, Alvi memeluk aku dengan erat juga.
“Jangan sentuh anak kotor itu Fa, jangan sentuh! Pergi kamu! Menjauhlah dari anak biadab itu!” teriak Paman dengan suara sangat memekikkan telinga. Alvi melepaskan pelukannya denganku.
Aku bingung, sangat bingung. Satu keluarga di sini menangis histeris.
“Jangan kata-katai Alvi seperti itu Paman, istighfar,” kataku dengan sedikit menentang paman.
Apa yang dilakukan Paman bagiku ini adalah keterlaluan. Mengingat aku sejak kecil di pukul Abah pun tidak pernah. Melihat Alvi yang diperlakukan seperti ini dalam hati miris, sangat miris.
Ada rencana untuk melaporkan ke pihak yang berwajib, kalau-kalau ada luka di bagian tubuh Alvi.
“Kamu tidak apa-apa kan Vi?” tanyaku pada Alvi yang masih memeluk dirinya sendiri dengan erat. Dia menggeleng. Aku memeluknya sekali lagi.
“Tanya dia, apa yang telah ia perbuat! Sekali kamu mendengar apa yang dia ucapkan, kamu akan menyesal membela anak itu!” ujar paman sekali lagi.
Aku bingung bukan main. Ini ada apa sebenarnya?
Alvi membuka wajahnya. Air mata menggenang di seluruh bagian wajahnya, tampak memerah dengan isak yang tidak berkesudahan.
Aku tidak sanggup lagi menahan air mata. Aku memeluknya sekali lagi.
“Ada apa? Cerita sama Mbak ya,” kataku di sela-sela pelukan kami.
Alvi melepaskan pelukan, dan aku mengusap air matanya.
“Maaf Mbak, maaf. Hiks, hiks,” katanya dengan terbata-bata.
“Ada apa? Bilang saja ke Mbak,” kataku dengan perasaan simpati kepada anak gadis itu.
Alvi menggigit bibir bawahnya dengan dalam, dia menunduk.
“Al-Alvi hamil anak Kang Asyfi Mbak.”
“Kamu bohong kan Vi, kamu pasti bohong sama Mbak,” kataku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Alvi tadi.
Alvi tak menyahutiku, dia menangis dengan tersedu.
Kuberanjak dari duduk. Aku berdiri dan mensejajari Paman dengan wajah yang masih merah padam. Aku ingin mendapatkan sebuah kenyataanya.
“Mak-maksud Alvi tadi bilang seperti itu tadi kenapa Paman? Apa yang dikatakan oleh Alvi salah kan?” tanyaku pada Paman.
Paman tak menjawab, ia berlalu dan memilih untuk duduk di kursi ruang tamu. Kulihat Bibi di sana yang menangis. Dan dengan tiba-tiba, Bibi menangis dengan memelukku.
“Ada apa Bi, sebenarnya?” tanyaku sembari memeluk erat tubuh Bibi yang bergetar hebat dengan tangisannya yang terisak-isak.
Semakin lama, kurasakan tubuh Bibi semakin berat menumpu pada tubuhku, hingga pada detik berikutnya, aku terhuyung, karena Bibi pingsan.
Aku yang dalam keadaan kacau seperti ini tidak bisa berbuat banyak. Paman membawa Bibi di kursi. Aku langsung bergegas ke dapur untuk mengambil gelas dan beberapa obat.
“Istigfar Dek, Istighfar,” aku mendengar dari dalam itu suara Umi, aku sangat bersyukur, semoga dengan kedatangan keluargaku apa yang terjadi di keluarga ini bisa segera teratasi.
Kubawa air dengan minyak kayu putih dan obat sesak nafas milik Bibi. Semoga dengan ikhtiar ini kondisi Bibi menjadi membaik. Meskipun di dala hati, semua pertanyaan besar berada dan hamper memecahkan otakku. Aku masih bisa meyakini satu hal. Apa yang aku dengar dari Alvi tadi mungkin adalah sebuah kesalahan. Dan apa yang terjadi di keluarga ini adalah sebuah kesalah pahaman aku yakin itu.
“Aku tidak kuat lagi Mbak. Sungguh tidak kuat. Alvi hamil di luar nikah sama Hanif,” jawaban dari seorang wanita yang sedang terbaring lemas itu membuat nampan yang berisikan air putih dan obat-obatan tadi terjatuh dan membuat sebuah bunyi nyaring. Sangat nyaring sekali.
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun,” kudengar Umi membaca kalimat tarji’.
Air mataku menetes. Merembes keluar menjebol daerah pertahananku. Dadaku sesak. Tenggorokanku serasa dicekat oleh seseorang. Aku lari kea rah Alvi yang masih berada di tempatnya.
“Ini ada apa sebenarnya?” tanyaku dengan nada sarkas tepat di depan Alvi.
Anak itu tersentak mendengar ucapanku yang naik satu oktaf.
“Coba jelaskan ke aku Vi, ada apa hah?” tanyaku sekli lagi. Berharap Alvi mengatakan tidak ada apa-apa.
Dia menangis bertambah tersedu bukan main. Dia memeluk kakiku dengan kata-kata maafnya yang terdengar berbarengan dengan isak tangisnya. Membuat kata maaf itu sepintas tidak terdengar.
Air mataku terus merembes. Allahu Rab, apakah benar apa yang aku dengarkan tadi. Scenario seperti apa ini. Mengapa ini semua bisa terjadi.
“Bangun kamu, saya tidak butuh kata maaf, saya hanya butuh kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi,” kataku dengan tenggorokan tercekat. Aku menghapus air mataku asal. Berusaha terlihat tegar.
Umi mendekatiku, memberikan tangannya yang halus dan lembut untuk mendamaikan gejolak hatiku yang sedang geram dengan apa yang terjadi hari ini.
“Tatap mata Mbak Vi,” kataku ketika Alvi telah bangkit dari duduk.
Dia tetap menundukkan pandangannya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku sekali lagi.
“Alvi hamil anak Kang Asyfi Mbak,” katanya dengan nada pelan.
Seolah bom meledak di depanku saat ini. Air mataku merembes.
“Ta—tapi Mbak, ini tidak seperti yang Mbak pikirkan, coba percaya sama Alvi Mbak,” ujar Alvi.
Aku melepaskan cengkraman tangan Umi dari kedua lenganku.
Aku sudah tidak sanggup lagi berada di sini. ohh kenapa ini sangat sulit untukku. Mengapa ini semua terjadi padauk.
Kaki ku lari dengan sekencang-kencangnya menuju rumahku, menutup pintu dengan keras, aku memeluk diriku dengan guling.
“Kabar apa ini Ya Allah, kabar apa ini, hiks, hiks, hiks.”
“Apakah salahku hingga Engkau menghukumku sehingga menderita seperti ini?”
Aku teruslah terisak. Kuingat-ingat apa yang menjadi salahku selama aku hidup. Pernahkah aku membuat sebuah dosa besar sehingga Allah menghukumku seperti ini.
Ohh, mengapa aku yang harus berada di posisi ini.
Semua rekan, semua ustadz, semua kyai setuju atas pernikahan kami. Aku dengan Kang Asyfi, tapi mengapa ini semuanya harus menimpaku sehingga ada sebuah keraguan.
Tidak akan mungkin sebuah acara sacral seperti pernikahan tetap dilangsungkan, di saat, seorang wanita lain mengandung anak laki-laki yang akan menikahiku nanti.
Ini adalah sesuatu yang sangat berat untukku. Pernikahan akan dibatalkan. Entah apa kata orang nanti, aku saat ini hanya bisa meneteskan air mata wujud kesedihan.
Inilah mengapa, mungkin Allah memberikan seonggok hati kepada makhluknya yang bernama manusia. Ketika mereka yang sudah diberikan hati lalai akan sang pencipta, maka cinta yang seharusnya selalu terselipkan Bahagia, harus menerima bagaimana pahitnya tersayat oleh cinta itu sendiri.
Ohh, apakah aku lalai terhadap pemberian Sang Maha Rahim itu. Tidakkah aku selama ini selalu memberikan cintaku kepada Rabbku.
Nyatanya tidak. Sakit yang aku rasakan saat ini adalah wujudnya. Wujud dari penempatan rasa cintaku yang salah. Nyatanya memang seperti itu. Aku tidak bisa berdalih dengan suatu alas an apapun.
Aku mencintai makhluk Allah, bukan mencintai dzat sang pencipta makhluk Allah. Di sini letak salahku, di sini letak dosaku.
Tok, tok, tok
“Assyafa, Syafa?” panggil seseorang dengan mengetuk pintuku terlebih dahulu.
Aku membuka mataku perlahan. Terasa lengket di kedua kelopak mataku. Berat, dan sedikit pening. Sesaat aku memijat keningku, aku baru tersadar, aku menangis terlalu lama, sehingga aku tak sadar jika aku bisa ketiduran dengan keadaan menangis.
Ohhh, mengapa aku bisa lalai seperti itu. Apa aku tadi sampai tidur dinina bobokkan oleh jin? Wallahua’lam. Kesedihan mengantarkanku pada jurang kesesatan.
“Syafa hanya ingin sendiri Mi. Umi tolong bisa mengerti apa yang Syafa alami saat ini,” kataku dengan suara serak.
Tak hanya mataku yang sembab. Menangis terlalu lama juga membuat tenggorokanku kering dan kedua hidungku tersumbat.
“Innalillahi Nak, lihat ke jendela, sudah pukul berapa ini? Buka pintu. Kamu telah melupakan makan siang dan makan sore,” kata Umi dengan nada penuh kekhawatiran.