BAB 2 : Penyebab Kekacauan

2497 Kata
Wajah Zuko semakin mendekat membuat Nerissa bisa melihat kedua bola mata pria itu memiliki warna yang berbeda. Mulut Zuko perlahan terbuka, dalam satu tarikan nafas panjangnya dia menarik cahaya dari dalam mulut Nerissa. Kuku-kuku jari Zuko perlahan memanjang runcing, dalam satu goresan kecil Zuko melukai leher Nerissa dan menghisap darahnya. “Gia tin Psychi, eimaste diplaanaa” bisiknya mengucapkan mantra. Perlahan Zuko melepaskan cengkramannya dan membiarkan Nerissa bernapas dengan cepat mengambil pasokan oksigen. Nerissa terbangun seraya mengusap lehernya yang sedikit sakit, gadis itu mengedarkan pandangannya melihat kesekitar dan berakhir melihat Zuko. “Apa yang kau lakukan!, ayo masuk” Nerissa bangkit dengan cepat seraya mengusap lengannya menahan rasa dingin. “Baik nona.” Sikap Nerissa berubah dengan cepat, gadis itu langsung berpikiran bahwa Zuko adalah salah satu orang yang dekat dengannya begitu merasakan ikatan batin yang kuat. Rupanya, Zuko sudah berhasil mengambil sebagian jiwa Nerissa agar dia bisa bertahan di daratan dan bertahan diri. Meski Zuko mengambilnya hanya sementara, namun mulai sekarang dia akan terikat dengan Nerissa sampai nanti Zuko mengembalikan jiwa Nerissa lagi. Zuko juga membutuhkan seseorang yang bisa dia ikuti untuk menemukan seseorang yang di carinya. Sangat beruntung, Nerissa memiliki kecacatan di dalam darahnya sebagai manusia, Zuko bisa merasakannya. Ini bukan kekurangan Nerissa, namun gadis itu terlahir dari orang tua yang pernah mendapatkan kutukan sihir yang menurun dari orang tuanya. Karena itulah Zuko bisa mengendalikan Nerissa. ***   “Kenapa seperti ini?, kesepakatan kita tidak seperti ini!.” Teriak Helian melihat kobaran api yang menyala-nyala di tengah laut. Helian sangat panik karena dampak tanda tangan yang telah dia berikan. Permainannya yang semula dia anggap menyenangkan meski kalah dan memberikan izin akses sesuka hati kepada Hito atas laut Emilia Island berubah menjadi bencana, Helian tidak tahu jika Hito rupanya membuat kekacauan, bukan kesenangan. “b******k” Helian merangsek pakaian Hito, “Kau menjebakku” geramnnya dengan mata menyala-nyala penuh amarah. Dalam satu dorongan keras Hito mendorong Helian dan memukul wajahnya, “Kau pikir aku akan tahu jika akhirnya akan seperti ini hah!, aku akan mati di tangan ayahmu.” Teriaknya Hito tidak terima. “Sialan” Helian balas memukuli Hito hingga terjadi pertengakaran di antara mereka. Helian mendorong Hito ke dinding dan mencengkram lehernya, “Jangan kau pikir aku tidak tahu. Aku tahu kau sudah lama mengincar sesuatu di lautan itu. Jika kau tidak mengincarnya, kau tidak akan mungkin menurunkan banyak anak buah untuk menjatuhkan banyak busur dan senjata. Jika sikapmu seperti ini, bukan hanya ayahku, aku sendiri yang akan menghabisimu.” Dengan seringai jahat dan napas yang mulai memburu Hito menertawakan kebodohan Helian. “Jika kau tahu tujuanku, lepaskan aku. Karena aku masih memiliki banyak waktu malam ini untuk menghancurkan lautan pulau ini.” “b******n!” Helian terjungkal ke belakang karena tendangan Hito di perutnya, dalam satu gerakan pria mengeluarkan pistolnya. Tubuh Helian sedikit terangkat karena cengkraman Hito di pakaiannya, “Katakan padaku” Hito menodongkan pistol tepat di depan mata Helian, “Dimana peti jantung buatan itu.” Gigi Helian menggertak mengeluarkan darah segar di antara celah giginya. “Menjijikan.” Jawab Helian, tidak memberikan jawaban yang Hito inginkan. “Katakan!” teriak Hito marah. Helian tertawa merasa terhibur, “Astaga, jangan marah-marah. Sampai kapanpun kau tidak akan pernah mengetahuinya.” Cengkraman Hito semakin kuat, Helian hanya duduk dan memperhatikan kemarahan Hito yang menodongkan pistol yang semakin dekat menempel di bulu mata Helian hingga pria itu tidak dapat berkedip dan melihat jelas lubang hitam tempat keluarnya peluru. “Kalau begitu, dimana monster itu?.” Tanya Hito dengan bisikan. Tubuh Helian sedikit lemas dan lemah, matanya menyipit memperhatikan peluru di lubang senjata yang di todongkan. “Kau sudah melukai wajahku, jika kau melukai tubuhku yang lain, mungkin ayahku akan memburu keluargamu tujuh turunan.” Gumam Helian dengan serius. “Berhenti beromong kosong brengsek.” Suara derapan kencang sepatu terdengar di lantai, dalam hitungan detik sebuah rantai menjerat leher Hito dan mencekik menariknya ke belakang. Endrea melompat memutar rantai dan membantingnya hingga Hito jatuh terbanting ke lantai. Dalam gerakan cepat Endrea menendang pistol di tangan Hito untuk jauh dari jangkauan pria itu. “Jangan macam-macam dengan keluargaku” suara dingin Endrea terdengar menakutkan meski nada suaranya dingin dan tenang. Hito berdecih tidak terima, matanya menyala-nyala penuh amarah dan sesak napas. Kaki Hito bergerak cepat menerjang kaki Endrea hingga gadis itu terjatuh ke lantai, cekikan rantai di lehernya terlepas dengan cepat. Hito menerjang punggung Endrea dan balas memukulinya. Tubuh Endrea membentur dinding, dengan cepat dia menghindar dan bergerak dengan lututnya di atas lantai mengambil pistol Hito. “Pergi, atau aku ledakan kepalamu” ancam Endrea menodongkan pistolnya tepat di depan wajah Hito. Dengan nafas memburu Hito mengangkat kedua tangannya di udara menandakan menyerah. Sekils Hito melihat kearah  Helian, “Urusan kita baru dimulai.” Ucapnya segera pergi keluar. Keheningan terasa menegangkan, Helian berdiri dengan napas tersenggal melihat Endrea, “Dari mana kau mengetahuinya?.” Tanya Helian dengan suara merendah tampak bingung dengan dirinya sendiri. Dalam beberapa langkah lebar Endrea mendekat, tangannya bergerak cepat di udara dan memukul wajah Helian hingga berdarah. “Kau puas bermain-main?” geram Endrea dengan kilatan kemarahan. “Aku tidak tahu jika akan berakhir seperti ini!” Bentak Helian mengusap rahangnya yang berdenyut. “ASTAGA, WAJAH TAMPANKU!” Helian histeris mengusap hidungnya yang kini berdarah. “Berhenti bicara omong kosong Helian!” teriak Endrea frustasi karena terus menerus harus turun tangan membantu membereskan kenakalan Helian. Helian tertunduk mendengarnya, “Maafkan aku Rea.” Akunya dengan suara merendah, mengakui kesalahan yang di buatnya. “Aku sudah memperingatkanmu Helian!” Endrea balas berteriak dan merangsek baju Helian, “Sudah aku bilang berhenti berkumpul dengan b******n-b******n tidak berguna itu.” “Sudah cukup!” Helian mendorong Endrea hingga gadis itu mundur beberapa langkah. “Aku bosan hidup mewah, aku ingin bebas. Aku ingin mengenal wajah teman dan sauradaraku, aku hanya ingin memiliki ingatan sepertimu Rea. Kau tidak memahami bagaimana sulitnya aku hidup dengan tenang!. Aku tidak akan semenderita ini jika aku tidak memiliki orang tua yang berpengaruh dan kakak yang hebat sepertimu.” Helian balas berteriak kesal. Helian memiliki kekurangan dimana dia tidak bisa mengenali wajah orang-orang yang sudah di temuinya. Dia sangat kesulitan dalam mengingat wajah, karena itulah dia sering kali di manfaatkan hingga memicu keonaran. BUGH Endrea kembali memukul dan menerjang Helian, Helian tidak menunjukan perlawanannya sedikitpun meski dia sangat marah dengan Endrea. Namun dia tetap menahan dirinya untuk tidak balas memukul kakaknya meski wajah dan sebagian tubuhnya merasakan sakit teramat dalam. “Arrghtt” Helian meringis ketika Endrea memutar dan mengunci kedua tangannya, “Hey apa yang kau lakukan?” teriak Helian ketika Endrea memasang borgol pada kedua tangannya. “Lepaskan aku, aku salah, aku akan bertanggung jawab. Jangan membawaku pada Ayah.” Endrea tidak mengeluarkan sepatah katapun, dia mengambil lembaran kertas perjanjian di lantai, lalu menyeret bahu Helian utuk segera keluar ruangan dan pergi memasuki lift, mereka pergi ke lantai empat dengan cepat selagi suasana hotel masih tenang. “Tidak, jangan membawaku kepada ayah” ringis Helian merasakan Endrea yang semakin kuat membawanya pergi ke ujung lorong menghindari pengawasan cctv dan membuka jendela, “Lompat Helian” titah Endrea seraya menodongkan pistolnya di kepala Helian. “Tidak” Helian menggeleng keras melihat kebawah dimana banyaknya orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang. “Lompati pagar itu” geram Endrea mendorong Helian untuk naik ke atas kusen jendela, tanpa perasaan iba dan ekspresi apapun Endrea mendorong Helian dan memaksa melompati pagar di depannya yang memiliki jarak satu meter. Helian menahan teriakan kerasnya, kakinya melayang di udara dan berusaha melintasi pagar balkon. Tubuh Helian ambruk ke lantai dengan rintihan kesakitan karena bahunya yang lebih dulu mendarat, Helian benar-benar terjungkal. Tidak berapa lama Endrea menyusul melompat. “Apa yang ingin kau lakukan sebenarnya” geram Helian berusaha bangkit dan menahan sakitnya karena kedua tangannya masih terborgol dan membuat Helian kesulitan untuk berdiri. Endrea menarik kerah baju Kenan dan kembali menyeretnya membawa pergi mendekati jendela. “Lihat itu Helian” bisik Endrea seraya mencengkram lengan Helian, ujung pistol di tangannya menggerakan kepala Helian, menunjuk pria itu untuk melihat apa yang dia lihat. Tubuh Helian menegang, ketegangan di wajah dan tubuhnya luruh dengan perlahan melihat sahabatnya yang bernama Camila beranjak dari duduknya, orang itu bergerak dengan anggun membuka pintu dan menyambut kedatangan Hito yang terluka. “Kau bilang wanita sialan itu tidak akan datang!. Dia datang dan hampir membunuhku” Bentak Hito menunjuk kepalanya sendiri yang terluka, Hito terlihat sangat marah karena semuanya tidak berjalan sesuai dengan apa yang di rencakannya. Helian tertegun, dia tahu siapa yang di maksud Hito. Siapa lagi jika bukan Endrea, kakaknya. “Itu Helian, itu wanita yang selama ini kau perjuangkan untuk membantunya menuju kesuksesan, sampah-sampah itu menghianatimu. Semua kekacauan yang kau ciptakan, tidak pernah terlepas dari mereka yang terus mempengaruhimu” bisik Endrea dengan penuh tekanan. Helian membungkam merasa kecewa dan hancur perlahan melihat bagaimana Camila yang dia ambil dari tempat kumuh dan Helian membantu wanita itu menemukan jalan kehidupan yang lebih layak kini membalasnya dengan penghianatan. “Itu yang kau perjuangkan untuk orang-orang yang kau kasihani hingga kau mengorbankan hubunganmu dengan Ayah.” Helian masih terdiam tidak merespon, namun sorot di matanya jelas menunjukan kemarahan dan luka yang mendalam. Jelas ada banyak penyesalan di mata Helian, namun dia tidak mampu mengatakan apapun. Ujung sepatu Endrea mendorong sisi pintu kaca dan membukanya menciptakan sedikit celah. Endrea. Endrea menarik senjata  serbu SS2 Subsonic dan mengarahkannya masuk melalui balik tirai. Helian diam  terpaku melihat apa yang akan di lakukan Endera. “Jangan Rea” pinta Helian dengan suara gemetar. “Aku tidak akan pernah berkompromi dengan siapapun yang ingin menghancurkan keluargaku, termasuk teman-temanmu,” bisik Endrea lagi dengan tegas. Tangan Endrea terangkat lurus sempurna tertuju pada dua orang di dalam kamar yang tengah berbicara serius mengenai banyak  hal. Endrea mengekernya beberapa saat sebelum memutuskan menarik pelatuk senjata di tangannya. Peluru dari senjata bergerak melesat dengan cepat tanpa menimbulkan gema suara tembakan karena Endrea menggunakan senapan sebru SS2 subsonic, senjata yang di gunakan untuk operasi senyap. Dalam seperkian detik, tubuh Camila ambruk di atas ranjang dengan peluru yang bersarang di kepalanya. Belum sempat Hito menghindar, peluru kedua sudah melesat cepat bersarang di perutnya. Endrea menurunkan senjatanya dan menggendongnya kembali, gadis itu melihat ke arah Helian dan melepaskan borgol di tangan adiknya dengan perlahan. Napas Helian memburu dengan cepat, air matanya luruh membasahi pipi. Kedua tangan Helian perlahan terlepas dari borgolnya, tubuhnya ambruk ke lantai merasakan serangan kepanikan. Endrea membungkuk di hadapan Helian dan menepuk bahunya dengan kuat, “Pergilah ke kamarmu sebelum ayah datang.” Bisik Endrea memperingatkan. Kepala Helian terangkat dengan cepat, Helian menggeleng menolak titah Endrea “Bagaimana denganmu?.” Tanya Helian gemetar, Endrea tersenyum kecil mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata, “Tidak, ini kesalahanku, aku tidak ingin kau menanggung kesalahanku lagi. Aku sudah menghancurkan kapal ayah dan membuat kekacauan besar.” “Pergilah Helian.” “Tidak!, aku akan mengaku kepada ayah!” Teriak Helian kukuh. Selama ini Endrea yang selalu menjadi tamengnya setiap kali Helian bertengkar dengan Julian karena membela teman-temannya yang ternyata menghianatinya. “Helian!, dengarkan aku.” Teriak Endrea lebih keras, “Aku tidak akan pernah berhenti melindungimu sampai kau berjanji mau berubah.” Helian tertegun merasakan desakan panas di matanya, “Aku janji akan berubah.” Ucapnya dengan gemetar menatap kepedulian dan cinta di mata Endrea. “Maafkan aku. Rea” Ucapnya lagi di penuhi oleh penyesalan karena kini Endrea lagi yang mengurus semua kekacauan yang di buatnya. “Pergilah” usir Endrea. “Tidak, aku..” “Jika kau tidak pergi, aku akan membencimu selamanya Helian” geram Endrea penuh amarah, gadis itu langsung masuk meninggalkan Helian yang masih tertegun di tempatnya melihat punggung kecil Endrea. Endrea meletakan lembaran kertas dari saku jaketnya di lantai dan menjatuhkan lencana kerajaan sebagai bukti jika dia yang memberikan tanda tangan resmi di perjanjian konyol yang berakhir dengan kekacauan di pulau ayahnya. Helian mengusap air matanya lagi dan berusaha bangkit dengan cepat, dia bergeser dan bersembunyi di balik dinding ketika mendengarkan keributan yang langsung terjadi lagi secara cepat. Helian menahan napasnya dan berdiri di balik dinding mendengarkan suara orang-orang yang di kenalinya datang ke dalam kamar. Endrea duduk tertunduk melihat tangannya yang masih memegang senapan, pintu di depannya terbuka dengan cepat, suara derapan sepatu terdengar jelas. Kepala Endrea terangkat dan melihat sekumpulan pengawal berpakaian seragam bersama Julian. Pandangan Julian mengedar begitu dia memasuki kamar, dia tidak menunjukan kemarahan dan rasa khawatirnya sedikitpun melihat dua orang terkapar di  di ranjang bersimbah darah. Dengan langkah tenangnya Julian mendekati Endrea dan meraih dagunya agar mengangkat wajahnya. “Apa yang terjadi?” Tanya Julian dengan lembut penuh ketenangan. “Maafkan aku Ayah, aku menyesal” sesal Endrea dengan mata nanar, senapan di tangannya terjatuh ke lantai saat Julian menarik tubuhnya kedalam pelukannya. “Aku tidak bisa menahan diri, maafkan aku. Mereka menjebakku membuat kekacauan di lautan. Aku benar-benar meminta maaf karena sudah berbuat konyol dan membuat keributan kepada semua orang.” “Tenanglah” jawab Julian masih dengan ketenangan yang luar biasa. Julian tidak pernah marah kepada anaknya, pria itu adalah orang yang sangat terbuka dan mendengarkan apa yang ingin di katakan anaknya, baru setelah itu dia mengambil keputusan. “Kau tahu kan, ibumu sangat mencintai lautan itu, aku menjaganya hampir dua puluh tahun lamanya agar semuanya baik-baik saja.” Cerit Julian masih dengan ketenangan yang luar biasa. Helian yang mendengarkan di luar tertegun kaget, pria itu terlihat sangat bersedih dan menyesal karena sudah menghancurkan air di lautan dalam satu malam. Pria itu tertunduk sedih dan menghapus air mata yang berhasil lolos melalui sudut matanya. Helian melangkah ke sisi, dengan perasaan tidak menentu dia melompati pagar dan segera pergi meninggalkan tempat. “Aku sungguh menyesal Ayah. Aku bersumpah tidak akan melakukannya lagi” kata Endrea.  “Pergilah ke istana malam ini dan renungkan kesalahanmu selama satu bulan. Belajarlah di sana, habiskan masa musim panasmu di sana. Apa kau mengerti?” Endrea mengangguk kecil segera melepaskan pelukan Julian. “Aku akan merenungkannya Ayah.” Endrea segera beranjak, gadis itu membungkuk memberi hormat dan segera pergi di antar empat pengawal. “Bawa mereka ke rumah sakit, pastikan tetap hidup namun menderita selamanya” perintah Julian dengan tegas setelah kepergian Endrea. Beberapa pengawal langsung bergerak dengan cepat membawa Hito dan Camila, beberapa di antaranya lagi membereskan kekacauan di ruangan dan mengelap setiap inch benda apapun maupun dinding hingga kaca, lantai dan seluruh penjuru ruangan untuk menghapus sidik jari. “Tuan, malam ini tuan Helian mengadakan pesta dengan Hito. Menurut beberapa saksi mereka melakukan taruhan. Kekacauan di laut, mereka orang-orang Hito, kapal Anda sudah rusak parah tidak bisa di perbaiki lagi. Apa langkah Anda untuk membuat perhitungan?” Tanya Reri sambil membaca laporan di tabletnya. “Tidak perlu” jawab Julian dengan seringai gelinya melihat kaca di depan balkon yang masih terbuka. “Aku ingin melihat sejauh mana anak-anakku saling melindungi.” Julian tahu jika semua kekacauan, Helian yang membuatnya, dan Julian tahu Endrea sedang melindungi adiknya yang masih kekanak-kanakan dan haus akan kebebasan dan pengakuan. Julian berpura-pura seolah tidak tahu hanya karena dia penasaran, sejauh mana kedua anaknya saling bekerjasama dan melindungi. To Be Continue....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN