Enam: Ancaman

1845 Kata
Rana meneguk ludahnya kasar, ketika samar terdengar suara pintu ditutup dengan keras. Ia mencoba bersikap tenang, tetap menatap ke depan meski sempat melirik dari sudut matanya ketika Nata menuruni anak tangga. Diikuti pengawal dan asisten pribadinya. Sudah berbulan-bulan berlalu sejak kematian maharaja terdahulu, itu artinya sudah selama itu juga Aydin memerintah negeri ini. Namun, tak banyak yang tau ketegangan di istana terjadi hampir setiap hari. Kamar Arnita tak begitu jauh dari ruang kerja sang Raja. Itu berarti Rana dan pengawal lain yang berjaga di depan kamar Arnita, selalu melihat ketegangan yang terjadi dari ruang kerja Aydin. Banyak hal yang berubah dari Aydin. Sosok itu masih menurut akan beberapa hal namun keras kepala ketika menyangkut pembuatan keputusan. Kejadian tadi, entah sudah keberapa kalinya. Padahal kalau Rana ingat kembali, saat masih bersekolah Aydin amat sangat menghormati sang kakak. Begitu hormat dan menyayanginya hingga ke tahap tak pernah berani membantah Nata satu kali pun. Namun sekarang, hubungan keduanya bagaikan api dan bensin. Tak ada yang mau mengalah. Rana menghela napas, mengetuk pelan kamar Erika hingga pemilik kamar mengijinkannya masuk. Setelah seruan pelan dari dalam kamar terdengar, Rana membuka pintu kamar sang putri. Mendapati Erika telah selesai mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian yang lebih santai. "Mereka bertengkar lagi?" tanyanya seraya meraih remote televisi yang ada di atas meja. Ia bisa sedikit mendengar suara bantingan pintu tadi. Anggukan dari Rana sukses membuatnya menggeram kesal, "Mereka kenapa sih? Hampir setiap hari berantem. Kak Rana kamu tau mereka kenapa?" "Nona sudah menyelesaikan PR anda?" balas Rana dengan pertanyaan, bermaksud mengalihkan topik pembicaraan. Melirik ke arah meja belajar sang putri, tempat tasnya berada. "Jangan mengalihkan topik pembicaraan, Kak Rana." Arnita mendengkus, menatap layar televisi sembari tersenyum masam. Tau kalau ia tak bisa memaksa Rana untuk memberi tau apa yang sedang terjadi di luar sana. Rana tertawa kecil, melirik ke arah televisi menyadari bahwa Arnita telah menyetel saluran ke saluran berita nasional. Semenjak kakaknya naik menjadi pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, Arnita memiliki kebiasaan baru. Setiap ia berada dalam kamar, televisi akan selalu disetel ke saluran berita nasional. Seolah ia tak ingin ketinggalan berita, perihal apa saja yang dilakukan kedua kakaknya untuk negeri ini. "Oh ya, Kak Rana aku baru ingat. Besok sore aku ada kunjungan kan?" Alih-alih menjawab, Rana mendadak menarik Arnita menyingkir dari sofa. Sepersekian detik kemudian suara kaca pecah dan peluru berdesing terdengar. Tepat di sofa yang Arnita duduki tadi bolong tertembus peluru. Kalau saja Rana tidak cepat-cepat menarik Arnita menyingkir dari sana, bukan tak mungkin jika peluru itu bersarang di tangan, punggung atau bahkan kepalanya sendiri. Suara barusan jelas membuat pengawal lain yang berjaga di luar kamar merangsek masuk. Arnita gemetar, jelas syok akan insiden yang baru saja terjadi. "Bawa tuan putri ke tempat yang aman. Sampaikan ke pengawal lain, kode merah." Rana memberi perintah kepada bawahannya yang mengangguk patuh, membawa Arnita ke tempat yang lebih aman jelas dengan penjagaan lebih ketat. Untung saja jendela yang biasa ditutup dengan gorden kelabu, sedang tidak tertutup. Memberi keuntungan untuk Rana bisa cepat-cepat menyadari apa yang baru saja terjadi. Pantulan cahaya merah terlihat, kali ini bukan menargetkan Arnita. Melainkan langsung mengarah ke bahu Rana. Refleks Rana cukup cepat untuk menghindar, sebelum peluru itu berhasil menembus bahu kanannya. Ia berdecak, mendapati sebuah pergerakan dari bangunan lain yang berada tepat di samping istana. "Tolong periksa gedung keamanan timur, ada pergerakan aneh dari sana." Sadar kalau keberadaannya sudah diketahui, orang itu segera membereskan senjata laras panjang yang ia gunakan. Rana bergegas keluar dari dalam kamar, hendak menyusul rekan-rekannya menangkap terduga pelaku. Namun, langkahnya terhenti ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Aydin yang ikut dievakuasi dari ruang kerjanya. "Apa yang terjadi?" "Ada penyusup, Yang Mulia." Rana menjawab cepat, ia melempar pandang pada Ranu yang tak henti berkomunikasi dengan pasukan pengawalan lain melalui interkom mereka. "Mereka mengincar Arnita." *** Rasanya jantung Aydin jatuh ke perut, ketika ia diberitahu kamar Arnita diserang oleh seseorang. Ia menolak untuk diseret keluar dari ruang kerja, sebelum Ranu memberi tahukan apa yang sedang terjadi. Sayangnya, Ranu tetap bisa menemukan cara untuk menyeret sang Raja keluar dari ruang kerjanya bersama orang-orang lain yang ada di ruangan. Sampai ia bertemu dengan Rana yang terlihat terburu-buru, menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi sebab pengawalnya belum bisa memberitahukan apa-apa sebab sibuk berkomunikasi melalui interkom. Saat itulah Rana memberitahukan apa yang terjadi pada Arnita. Untungnya sang adik dalam keadaan baik, sudah diamankan ke ruangan evakuasi yang ada di lantai dasar. Keadaannya baik tanpa kurang satu apapun, kecuali perasaan syok yang melingkupinya. Sebuah hal wajar untuk seseorang yang baru saja lolos dari kematian. "Kak Aydin!" Aydin baru sadar bahwa ia sedaritadi lebih banyak menahan napas, sampai Arnita masuk ke dalam pelukannya dengan tubuh yang bergetar ketakutan. Tak sadar bahwa sedaritadi ia dilingkupi oleh banyak ketakutan, setelah mendengar penjelasan singkat Rana sebelum perempuan itu berlalu pergi bersama bawahannya. Ia lega bukan main, mendapati Arnita baik-baik saja. "Arnita!" Seruan itu datang dari arah belakang, membuat keduanya melepaskan pelukan. Mendapati sosok sang kakak sulung yang sudah pucat pasi. Kabar penyerangan Arnita nampaknya baru sampai di telinga Nata. Napas kakaknya itu tak beraturan, sukses membuat asisten pribadinya memberi tanda kepada pengawal. Takut-takut kalau sang pangeran pingsan, mengingat kesehatannya yang sudah merosot jauh ditambah perasaan panik yang sedang melanda. "Sudah dapat kabar soal pelakunya?" Aydin melirik ke Ranu yang berdiri beberapa langkah di belakangnya. "Pelaku sudah diamankan oleh pengawal lain, menyusup sebagai staf kebersihan di gedung keamanan," bisik Ranu memberi tau perkembangan terbaru dari kejadian yang menimpa sang tuan putri. "Saat ini sudah diamankan ke penjara yang ada di ruang bawah tanah." "Ibu suri tau?" Gelengan pelan diberikan Ranu. "Belum ada yang melaporkan kabar ini ke beliau." "Jangan beri tau Ibu, sampai dia benar-benar kembali dari Malaysia." Aydin memberi perintah tegas. Ibunya sedang melakukan kunjungan ke Malaysia, mewakili dirinya memberikan pidato dalam pembukaan program pertukaran pelajar untuk semester ini. Ia tak ingin ibunya jadi cemas sehingga kesehatannya menurun. Biarlah Aydin yang memberitahukan soal ini ketika ibunya telah kembali dari kunjungan kenegaraannya. "Termasuk media, jangan biarkan mereka tau." "Baik,Yang Mulia." "Kak Nata." Panggilan Aydin barusan mengalihkan fokus Nata untuk kembali padanya. Kakaknya itu mengerjap, masih menenangkan Arnita yang masih menangis dalam pelukannya. "Untuk sementara tetap tinggal di istana, sampai penyelidikan soal kasus ini selesai." Aydin lantas melirik ke luar pintu, menatap gerombolan orang-orang yang berkumpul di sana. Lebih tepatnya pada laki-laki paru baya yang berdiri paling depan di antara orang-orang itu. "Paman juga." *** Sudah menjadi rahasia umum, siapapun yang ditunjuk sebagai anggota pengawal kerajaan adalah orang-orang yang memiliki prestasi gemilang dalam karirnya. Termasuk Rana. Usianya mungkin baru 27 tahun, namun tak ada yang akan protes akan fakta perempuan ini langsung duduk di posisi kepala pengawal di kali pertama ia dipindahkan ke unit pasukan pengawal keluarga kerajaan. Rana adalah lulusan terbaik, ia bahkan berpidato di acara kelulusan sehingga hampir semua orang yang berada di sekolah militer tau betul siapa dirinya. Intuisi dan pengamatannya selalu tajam, fakta bahwa ia berhasil menyelamatkan sang Putri dari serangan hanya dalam selang waktu beberapa detik tak membuat kesatuan pengawal kerajaan begitu terkejut. Apalagi ketika dia berhasil memberi petunjuk kepada pasukan lain, perihal siapa pelaku penyerangan. Memudahkan mereka menangkap sang pelaku. Aydin mengikuti langkah Ranu yang mengarahkannya ke penjara bawah tanah yang ada di gedung keamanan barat. Ekspresinya suram, memikirkan apa yang harus ia lakukan ketika berhadapan dengan pelaku penyerangan sang adik. Satu sisi mulai membuat analisa perihal kenapa dan siapa yang berani menargetkan Arnita, bahkan menyerangnya langsung di istana. Penyerangan anggota inti keluarga kerajaan di istana, sama saja penyataan perang untuk seluruh negeri. Penjara itu terasa lembab. Biasanya para bangsawan tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Maharaja terdahulu mempercayakan segala hal terkait kriminalitas yang terjadi di istana kepada pasukan pengaman istana, dan hanya akan duduk manis menunggu laporan dari ruang kerjanya. Sayangnya, Aydin berbeda dari maharaja terdahulu. Ia tak keberatan turun beberapa meter ke bawah tanah untuk bisa melihat langsung rupa seseorang yang hampir membunuh adik tercintanya. Tak memperdulikan lembab dan perasaan kumuh yang menyelimuti penjara bawah tanah. "Kenapa wajahnya babak belur?" Aydin mengernyitkan dahi kala mendapati pria yang bersimpuh di tengah-tengah ruangan sudah babak belur. Darah keluar dari mulutnya, mungkin beberapa giginya patah atau rongga mulutnya terluka karena pukulan di wajah. Terlihat kepayahan. "Siapa yang memukul?" "Saya yang melakukannya, Yang Mulia." Jawaban itu datang dari sudut ruangan. Seseorang yang bersembunyi di area tergelap yang ada di area itu. Ia mengambil beberapa langkah ke depan, sehingga Aydin bisa melihat rupa Rana secara sempurna. Raut wajah Rana tidak terlihat menyesal sama sekali. Sarung tangan hitamnya terlihat basah, mungkin sempat terkena cipratan darah dari pelaku di depannya ini. "Dapat informasi?" tanya Aydin sembari menadahkan tangan pada Ranu yang cekatan mengoper sarung tangan hitam ke tangan sang Raja. Ia tersenyum kecil, kala Rana menggeleng. Matanya masih berkilat penuh amarah, seolah belum puas sudah menghajar habis-habisan pelaku penyerangan Arnita. "Lain kali kalau kamu mau menghajarnya habis-habisan, pastikan setelah kamu mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari dia. Sekarang dia babak belur, bagaimana saya menanyakan beberapa hal ketika dia saja kesusahan untuk bernafas." "Baik, Yang Mulia." Tak ada permintaan maaf. Itu artinya Rana tak menyesal telah melayangkan pukulan ke laki-laki itu. Aydin menghela nafas, mengamati pakaian sang pelaku dari atas sampai bawah lantas mengernyitkan dahi ketika melihat sebuah simbol bergambar mawar berduri yang terlilit ular di bagian leher. "Kalian sudah membuat kakak saya tidak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal, sekarang kalian ingin mencelakai adik saya?" Aydin hapal betul simbol tersebut. Sebuah simbol yang sempat diceritakan Nata setelah insiden yang terjadi padanya. Simbol organisasi yang berhasil meneror pesta, sang pelaku utama dari insiden yang terjadi bertahun-tahun lalu. Ia mencengkram dagu laki-laki itu sembari berdesis marah. "10 tahun sudah berlalu, kalian berani menunjukkan diri sekali lagi?" Laki-laki itu berdecih, berniat meludah ke wajah Aydin yang dengan sigap menghindar. Membuat air ludah yang bercampur dengan darah itu hanya terkena kemeja Aydin sebelah kiri. Ia menyeringai, tak takut akan fakta bahwa dia bisa saja mati hari ini akibat dari tindakannya. "Kami tidak akan berhenti sampai dinasti anda hancur, Aydin!" Tak ada panggilan tanda penghormatan. Nama Aydin diucapkan dengan nada penuh remeh. "Negeri ini butuh perubahan. Dan itu dimulai dari memusnahkan dinasti yang anda miliki." "Siapa yang mengirimmu?" "Malaikat mautmu sendiri." Laki-laki itu menyeringai dengan cara yang menyebalkan. Matanya bergerak-gerak ke seluruh penjuru ruangan lantas tertawa kencang. "Kerajaan ini akan hancur di masa pemerintahan anda, Aydin. Kami akan pastikan dinastimu hancur." Setelah mengatakan kalimat yang terkesan seperti sebuah peringatan, mendadak laki-laki itu mengejang. Cengkraman Aydin di dagu laki-laki itu terpaksa dilepas, bersamaan dengan Ranu menariknya mundur. Wajah laki-laki itu berubah pucat, bersamaan dengan tangannya yang bergerak-gerak menggaruk leher sendiri. Matanya hampir berputar ke belakang, menunjukkan ekspresi kesakitan. Seolah-olah seluruh oksigen yang mengisi paru-parunya direngut. Laki-laki itu bergerak tak karuan di tanah, sebelum akhirnya ia terkapar dengan mata membulat. Salah seorang pengawal kerajaan bergerak maju, menyentuhkan jemarinya di area leher lantas menggeleng pelan. "Beliau sudah mati, Yang Mulia." "Bagaimana bisa? Saya tidak-" "Bunuh diri." Gumaman itu datang dari arah Rana yang menatap jasad sang pelaku penyerangan dengan pandangan datar. "Dia pasti sudah mengantisipasi akan kemungkinan tertangkap. Saya yakin, dia menyembunyikan racun di dalam mulutnya sendiri." "Jadi maksudmu kita kehilangan sumber informasi akan apa yang sebenarnya sedang terjadi?" "Sayangnya, itu benar Yang Mulia." TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN