Aku mendengus pelan melihat Nata sedang memilih-milih kemeja di salah satu outlet Mall besar di Jakarta ini. Ini pertama kali lagi kami bertemu setelah makan malam di malam minggu itu, sudah seminggu tidak bertemu karena Nata ada proyek di Kalimantan sedangkan aku harus ikut shooting ke Lombok untuk program I Love Indonesia.
Senin besok ada acara gala dinner untuk komisaris perusahaan Nata, entah untuk merayakan apa. Sebenarnya tidak ada dresscode sih, tapi laki-laki itu mengatakan dia tidak punya baju untuk dipakainya disana. Seharusnya akulah yang sekarang ditemani belanja.
Aku melipat tangan di depan d**a sambil melihat-lihat baju-baju laki-laki yang ada disini. Dia masih memilih padahal menurut mataku, semua modelnya sama saja. Aku akhirnya tertarik untuk menuju ke rak dasi yang tak jauh dari kemeja-kemeja itu. Mengamatinya satu persatu.
Aku meraih dasi berwarna merah dan biru sangat muda –nyaris terlihat silver dan menimbang-nimbang untuk membelinya. Aku melihat Nata yang telah memilih beberapa kemeja. Aku kemudian menghela nafas dalam dan menghampirinya.
Dia terlihat kaget menyadari kehadiranku –padahal dia sendiri yang mengajakku setelah kami makan siang bersama- aku memperhatikan kemeja-kemeja yang ada ditangannya.
"Pegangin ini dulu, Nat" ujarku langsung dan menyuruhnya untuk mengambil dasi yang ada di tanganku. Dia tumben tidak protes saat aku menyuruhnya, aku langsung meraih kemeja-kemeja itu dan memperhatikannya.
"Bedanya apa sih?" tanyaku heran memperhatikan kemeja berwarna putih tersebut satu persatu, aku kemudian mengangkat satu kemeja tersebut satu persatu ke badan tegap Nata. menimbang-nimbang mana yang lebih bagus.
"Nat, ini cocok sama dasi ini. Yang ini aja ya?" ujarku cepat dan mengambil dasi yang tadi ada ditangannya. Merasa dia tidak mengubrisku, aku mengangkat kepala dan menatapnya. Nata hanya melihatku dengan pandangan tidak yakin.
"Selera kamu buruk"
Aku langsung memelototkan mataku padanya. Selera buruk katanya? Dia tidak tau aku berada di bagian wardrobe saat berada di tim produksi saat awal bergabung di Stasiun TV itu? aku jelas tau bedanya yang bagus dan mana yang tidak! Benar-benar membuat masalah jika berbicara dengannya.
Aku meraih kasar dasi yang ada di tangannya. "Kalau kamu nggak suka, aku bisa beli ini buat papi" sungutku cepat. Aku menjauhinya dan memilih untuk kembali ke bagian rak dasi. Kesal sekali sampai ke ubun-ubun perasaanku sekarang.
"Saras" panggilnya, aku tidak menoleh sama sekali.
"Kamu nggak berharap saya mohon-mohon supaya kamu nggak marah kan?"
Aku membalikkan badan dan menatapnya sengit. Tidak tau kenapa, Nata akhir-akhir ini sangat menyebalkan. Di chat saja dia sangat menyebalkan apalagi di kenyataan, "Aku baru tau kamu nyebelin banget! Kalau gitu, aku lebih suka kamu diam kayak patung seperti dua tahun terakhir"
"Kamu suka saya?" tanyanya sambil meraih dasi yang ada ditanganku tadi.
Pipiku memerah. "Jangan mimpi kamu" elakku dan membalikkan badan. Tidak peduli lagi dengan apa yang dilakukannya saat ini. Saat merasa wajahku sudah tidak memerah lagi aku membalikkan badan dan melihat Nata sudah membayar kemejanya itu.
Kemana dasi yang diambilnya tadi?
"Saya sudah selesai" ujarnya. Aku meraih kantong belanja dan membawanya. Nata tidak protes ketika aku melakukannya dan memilih untuk berjalan di depanku.
Aku melihat kantong belanjaannya, "Kadinya kamu ambil dasinya?" aku tersenyum lebar dan mempercepat jalanku hingga berada di sampingnya. Jangan tanya tujuan kami kemana karena aku sama sekali tidak tau.
"Modelnya bagus"
"Ugh. Itu yang kamu ledek selera buruk?"
Nata hanya diam disampingku. Aku memperhatikannya dari samping. Wajah tegas dengan kulit kuning langsat nyaris putih itu benar-benar maskulin. Aku sekarang membuktikan teori orang makin tampan ketika kita sudah lama tidak bertemu. Wajahku kembali memanas, memikirkan tadi dia membeli dasi yang kupilihkan. Tidak apa dia belum menyayangiku seperti Tania, tidak apa-apa. Mungkin seperti inilah caranya mendekat kepadaku.
"Kamu nggak belanja? Saya nggak mau hutang budi"
Aku menggelengkan kepala cepat. Tidak berniat berbelanja saat ini. Bukan karena tidak mau, tapi minggu kemarin aku kalap belanja banyak karena kekesalanku pada Papi. Jadi barang-barang yang kubeli kemarin belum dipakai semuanya.
"Mau makan lagi?"
Tumben sekali dia banyak bertanya hari ini. Baru aku akan menjawab sebuah panggilan menginterupsiku. Aku sedikit kaget melihat siapa yang menghubungiku, tidak biasanya saat weekend seperti ini Janeta menelpon.
"Halo Jan?"
"Ras. Fatih keserempet motor pas nyebrang tadi. Kelempar gitu, kayaknya ada yang patah deh. Gue panik. Ini lagi di UGD"
Jantungku langsung berdetak cepat mendengarnya. "Kok lo bisa lepas pengawasan gitu?" tanyaku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.
"Gue lagi ngurus yang lain, Ras. Lo kesini deh. Ini yang bawa motornya juga masih disini"
"Dimana?"
"Hermina"
Aku mematikan dengan cepat sambungan itu dan membalikkan badan. Melihat Nata masih memperhatikanku dengan dahi berkerut. Aku cepat-cepat menghampirinya, tidak sadar saat menelpon aku berjalan bergitu jauh di depannya.
Kuberikan kantong belanjaan itu pada Nata. "Nat, aku harus pergi sekarang, ada yang urgent" jelasku padanya.
"Kemana? Biar saya antar, kamu kan nggak bawa kendaraan"
Aku menggelengkan kepala cepat. "Aku naik taksi aja, kasian kamu bolak-balik ntar. See you" aku berlari meninggalkannya begitu saja. Pikiranku mendadak kacau karena panggilan Janeta itu, tidak biasanya anak-anak Rumah Kita terkena musibah seperti ini. Tentu saja aku khawatir.
Aku menyetop taksi pertama ketika keluar dari mall, bukannya aku tidak mau membawa Nata. Tapi belum saatnya dia mengetahui hal ini. Toh dia juga akan menjadi bagian dalam hidupku cepat atau lambat. Dia pasti akan tau pekerjaan sampinganku ini. Aku tidak mau dia berasumsi macam-macam dulu melihat aku ternyata lebih sibuk dari ibu presiden seperti ini. Bisa-bisa dia mundur dan memilih membatalkan pertunangan kami.
*
Aku mendapati Janeta di UGD dengan cepat, ada Danu dan Syarif di samping Janeta. Aku menghela nafas dalam melihat Fatih yang tiduran di ranjang UGD itu, kaki-kakinya masih di perban. Dan juga sedikit luka di pelipis.
"Kamu nggak apa-apa? Ada yang sakit? Bilang sama Tante" ujarku cepat mengusap-ngusap kepala Fatih. Aku cemas sekali, tidak berhenti memanjatkan doa di dalam taksi.
"Nggak apa-apa tante. Fatih cuma keseleo kata dokternya" jawab Danu dengan cepat. Aku tersenyum kepadanya dan gentian mengusap kepalanya. Merasakan hatiku melega karena jawabannya.
"Kalian janji sama tante jangan keluyuran sampai keserempet motor begini ya?" ingatku pada mereka, anak-anak itu patuh dan menganggukkan kepalanya.
"Ras.. ini ada orang yang mau ngomong sama lo" aku membalikkan badan, bersiap untuk menumpahkan emosiku pada orang yang berani-beraninya menabrak Fatih itu. Saat aku membalikkan badan dan menatapnya, aku tertegun pelan.
"Kamu.." tunjukku padanya.
"Jadi benar, Saras yang dimaksud itu lo?" ujarnya. Aku bisa mengingat wajah teman Titania itu dengan jelas sekarang. Ingatanku memang tidak usah diragukan, berada dua jam di meja yang sama dan sempat berkenalan membuatku tanpa sadar mengenalnya.
"Lo yang bawa motor nggak bener?" tanyaku cepat, kali ini menampilkan wajah kesal.
"Sorry. Gue bener-bener nggak liat ada Fatih di pinggir saat gue mau nyelip lewat kiri. Administrasinya udah gue urus kok"
"bukan masalah administrasi!" sanggahku cepat.
Dia mengangguk-angguk cepat. "Gue tau, gue minta maaf udah jadi pengendara yang buruk. Yang penting Fatih cuma keseleo dan nggak apa-apa kan? Sekarang gue mau antar Fatih juga ke rumahnya. Rumahnya dimana?" jelasnya lagi. Sial aku lupa lagi siapa namanya. Fa.. fa... aku mengingat wajahnya tapi lupa sama sekali dengan namanya.
"Farhan udah minta maaf, Ras" ujar Janeta menengahi kami. Ha Benar! Farhan namanya! Aku benar-benar lupa. Aku menganggukkan kepalaku dengan enggan. Aku berinisiatif untuk menggendong Fatih, akan tetapi Farhan lebih dulu melakukan itu, kami mengekorinya keluar dari UGD. Saat akan dia akan berjalan ke tempat parkir, aku langsung menahannya.
"Pakai taksi aja" tolakku menahan laki-laki itu.
"Taksi nggak bisa masuk gang kita, Ras" ingat Janeta. Aku langsung menghela nafas dalam dan membiarkan Farhan mendekat ke parkir motornya. Baru beberapa langkah, dia kembali membalikkan badan.
"Salah satu dari kalian ikut gue juga, biar ada yang nyangga Fatih dibelakang. Dia masih lemes gini" dia menunjuk Fatih yang ada digendongannya.
"Hah? Lo gila? Bonceng tiga?" protesku cepat, entah apa yang lucu dari ucapanku Farhan terkekeh pelan. Aku semakin menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Deket ini, nggak akan ada polisi" ujarnya, memperbaiki posisi gendongan fatih cepat, seperti agak keberatan.
"Gue ogah"
"Yaudah gue aja" akhirnya Janeta mengalah, aku menahan Janeta dengan tatapanku. Janeta sudah terlalu repot selama ini mengurusi 27 anak, meskipun tidak semuanya masih kecil-kecil seperti ini.
"Fine. Gue aja" aku mengikuti Farhan hingga keparkiran. Dia mendudukkan Fatih terlebih dahulu. Setelah dia menegakkan motornya. Aku naik pelan-pelan di belakangnya. Untung saja motor ini seperti motor matic, tapi agak lebih besar, aku tidak tau namanya.
*
Farhan sedikit terkaget ketika aku mengintruksikan untuk berhenti di Rumah Kita, mungkin dia kaget ketika melihat nama Panti Asuhan yang terpampang jelas-jelas disana. Dia memarkirkan motornya di halaman dan menggendong Fatih hingga ke kamarnya.
Aku menyapa anak-anak yang sedang bermain di ruang tamu sebelum menyusul Farhan di belakangnya. Mereka kaget sekali mendapati Fatih seperti itu. Sesaat aku melihat Raia yang mematung melihat temannya. Aku jadi ingat pertemuanku dengan calon orang tua asuhnya beberapa waktu lalu.
"Raia kenapa sedih?" tanyaku, berjongkok di depannya.
'Tante, Raia mau pindah ya?" tanyanya polos, membuat jantungku terasa di remas mendengarnya.
Aku mengusap rambutnya pelan. "Iya, nanti Raia punya kamar sendiri, punya Ibu punya Ayah. Raia mau kan punya itu semua?" Raia mengangguk pelan. "Nanti Raia juga bisa les nyanyi, nggak perlu diledekin sama temen-temen yang lain. Raia pasti senang"
"Raia nggak mau pisah sama Tante sama Fatih sama temen-temen sama Bunda Janet dan Om Haris"
Aku terlarut dalam ucapannya, kupeluk anak itu dengan cepat. Menumpahkan perasaanku lewat pelukanku. "Raia, Raia harus tau ini buat kebahagiaan Raia. Kami akan tetap sayang sama Raia, tapi dengan Raia tinggal sama mama papa baru, kasih sayang buat Raia akan bertambah, makin banyak orang yang sayang Raia"
"Raia nggak ngerti"
Aku tersenyum pelan dan memeluknya lagi, sampai menyadari Farhan sudah berada di depanku. Sepertinya sudah selesai mengantar Fatih.
Aku segera berdiri dan membiarkan Raia berlari ke kamar Fatih menyusul anak-anak yang lain.
"Rame banget. Gue sampe bilang jangan diganggu dulu Fatihnya, mereka tetep tiduran di kasur si Fatih" lapornya membuatku terkekeh pelan.
"Ya emang gitu. Yang gede-gede lagi sekolah. Yang kecil-kecil yang masih rame" jawabku santai, kami terdiam ketika melihat Janeta masuk bersama Danu dan Syarif.
"Mas Farhan mau minum apa? Biar saya bikin"
"Nggak perlu repot, Jan. gue mau pergi ini"
Janeta langsung masuk ke dalam tanpa mempedulikan jawaban itu. "Nggak repot kok" jawabku, aku jalan terlebih dahulu ke teras dan diikuti oleh Farhan, kami duduk di kursi tamu di sana.
"Lo pengurus panti ini?" Tanya lelaki itu hati-hati, aku menolehkan kepalaku.
"Santai aja kali. Iya gue emang pengurus disini" jawabku sambil terkekeh pelan. "sorry, tadi gue agak kesel sama lo. Itu karena gue lagi panik aja"
"Lo keliatan banget khawatirnya tadi"
"Mereka semua saudara gue. Ya wajar gue khawatir" jawabku sekenanya.
"Lo masih ingat gue?" tanyanya lagi, mengubah topik pembicaraan kami menjadi lebih santai. Saat bertemu di restoran itu dulu, aku hanya makan dengan cepat dan menanggapi pertanyaan Titania dan teman perempuannya, Jessi. Sedangkan Farhan saat itu memilih diam dan memperhatikan.
"Lo pikir gue nenek-nenek sampe lupa sama lo" aku tertawa pelan. "Mbak Tania apa kabar? Lo sahabatnya kan?" tanyaku basa-basi.
"Baik. Kayaknya udah isi deh. Gue sebenarnya bukan sahabat Tita, tapi sahabat lakinya"
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku. Tidak tau lagi membahas apa. Ini terlalu canggung. Aku tanpa sadar membahas sainganku sendiri, dan apabila Farhan teman dekat Titania sudah pasti dia mengetahui apapun tentangku, Nata dan Tania.
"Ras, kalau mau jadi donatur disini, gimana? Kebetulan perusahaan gue lagi cari-cari tempat buat donasiin penghasilannya. Yaa, nggak seberapa sih"
"Serius?" ujarku antusias.
Farhan mengangguk. "Anaknya banyak banget. Dan gue yakin banget bisa membantu pemasukan disini. Potensial juga karena pengurusnya juga gue kenal"
Aku menganggukkan kepalaku cepat. "Boleh-boleh" Janeta keluar dari rumah dan memberikan Farhan minum. Dia duduk di kursi sebelahku.
"Tapi gue nggak bisa bahasnya sekarang, karena gue buru-buru. Bisa kasih contact lo atau Janeta?" tanyanya menyambar minuman yang diberikan.
Janeta menatapku bingung.
"Urusnya sama gue aja. Lo bisa kok datang kapan aja ke tempat kerja gue" aku menyebutkan nama stasiun TV tempatku bekerja pada Farhan, membuatnya tiba-tiba terbatuk.
"Lo kerja di stasiun TV?" tanyanya dengan mengerutkan dahi.
Aku merasa tersinggung. "Kenapa emang?"
Dia menggeleng cepat. "Nggak. Gue kerja di advertising, senin ada meeting kesana buat konsep iklan rokok baru. Jangan-jangan gue bakalan ketemu sama lo lagi"
"Oh." Aku mengingat jadwalku. "Bukan ketemu sama gue, sama temen gue. Sip deh kalau gitu, lebih gampang ketemuannya"
"Gosh. Dunia sempit banget ya ternyata" ujar Farhan lagi dan aku mengamininya. Ada-ada saja hal-hal yang kembali mengingatkanku pada Tania.
*
Nata : Jangan lupa datang di Gala dinner nanti
Aku mengerutkan dahi. Untuk apa aku datang kesana, aku tidak mengenal sama sekali dari orang-orang itu. Nata juga dari kemarin tidak mengatakan apa-apa padaku. Selain itu aku ada meeting juga hingga malam, tidak mungkin aku tinggalkan karena terus kuundur-undur dari kemarin.
Aku memutuskan untuk menelpon Nata.
"Halo" ujarnya.
"Hai. Aku boleh nggak pergi? Kamu kenapa nggak bilang dari kemarin sih? Aku ada meeting nanti, nggak bisa kutinggal"
Nata terdiam beberapa saat. "Yasudah. Kamu kan memang manusia super sibuk"
Aku mengerinyitkan dahi. "Kenapa jadi marah-marah? Lagipula tumben banget kamu ajak-ajak aku ke acara kantor kamu, biasanya juga kamu pergi sendiri"
"Saya punya tunangan sekarang Saras, dan orang-orang membawa pasangannya"
Aku menahan debaran jantungku yang menggila karena ucapannya saat ini. "Jadi aku pasangan kamu sekarang?"
"Hanya agar saya nggak ditanya kemana tunangan saya"
"Ras" panggil Farhan yang ternyata baru selesai meeting, aku langsung menggerakkan tangan untuk mengode aku tengah menelpon saat ini. Kami berada di kantin tempat kerjaku, aku terus melanjutkan percakapanku.
"Sama siapa kamu?"
"client" bohongku cepat. eh tapi Farhan memang client untuk Rumah Kita, kan? "Yaudah kalau emang aku harus pergi, jemput jam tujuh di kantor. Jam tujuh, karena aku belum keluar ruangan meeting sebelum jam tujuh" aku harus mengatur jadwal meeting ini lebih dahulu dengan tim produksi. Kalau saja Nata mengatakannya dari kemarin-kemarin aku harus ikut, aku tidak perlu kerepotan seperti ini kan. Kenapa menjalani hubungan dengan Nata harus menjadi ribet sekali seperti ini.
Sesaat aku merindukan kebebasanku sebelum kami serius menjalani hubungan ini.
"Nata ya?" tebak Farhan cepat.
"Lo kenal?" aku membalikkan pertanyaan dengan antusias. Kemudian aku merutuki ucapanku.
"Tau dong, dia sempat jadi gossip hangat diantara kami" tentu saja Farhan tau akan Nata, mana mungkin dia melewatkan begitu saja apa-apa yang terjadi pada temannya. Aku benar-benar bodoh menanyakan dia mengenal Nata atau tidak.
"Nggak kenal kok Ras. Jangan kepikiran gitu lah" farhan terkekeh pelan di depanku, kemudian dia mengeluarkan sesuatu di dalam tasnya.
"Ada beberapa hal juga yang harus lo pertimbangin sebelum iyain perusahaan gue" ujarnya, aku turut mengeluarkan berkas-berkas yang kubawa tadi. Menyusunnya dengan berurutan.
Kami kemudian membahas hal-hal berkaitan dengan donasi dengan cepat, untung saja farhan orang yang dapat menjelaskan dengan baik dan dapat mencerna ucapanku dengan baik. Kami tidak perlu berselisih paham akan beberapa poin, membuatku merasa nyambung seketika dengannya.
"Ras, boleh jujur nggak?" ujarnya membuatku menghentikan gerakan untuk menuliskan namaku dan tanda tangan.
"Apa?"
"Gue kaget lo kerja di sini"
Aku terkekeh pelan. "Kenapa? Lo ngebayangin hidup gue kayak princess ya?" tanyaku sedikit bercanda. Namun tak sepenuhnya bercanda, orang-orang yang tau profesiku juga sering menanyakan hal yang sama.
"Kenapa nggak lo kerja di perusahaan bokap lo? Cukup besar dan juga bukannya lo penerusnya?" Tanya farhan.
Aku terkekeh pelan. "Jangan lah, nggak semua orang tertarik dengan bisnis" jawabku jujur. "lagian kerja dibagian creative menyenangkan kok, lo juga ngerasainnya kan?"
"Bener banget! Pekerjaan kita bisa bikin stress dan ngurangin stress sekaligus"
"Apalagi pas lagi deadline" sambung kami bersamaan. Seketika aku tertawa keras dan farhan juga melakukan hal yang sama. Baru kali ini aku merasa ada orang yang benar-benar nyambung dan tidak canggung berbicara denganku.