Aku melirik hal yang tidak ingin kulirik hari ini, tetapi mataku mengarah pada tanggal yang tertera di kalender yang berada di atas mejaku setiap detik, membuatku kesal setengah mati. Tidak ada yang spesial dari hari jumat! Kecuali bagi kaum-kaum adam yang menunaikan ibadah sholat jumatnya. Kemudian aku membuang nafas kasar, merasa menjadi sangat marah pada diriku sendiri-yang tidak bisa mengendalikan diri.
Aku menatap naskah yang sudah selesai kureview, tinggal revisi dan akan diserahkan ke bagian produksi untuk bisa melakukan proses shooting. Aku menatap Allen yang sedang berdiskusi dengan beberapa rekan kami. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima, seharusnya aku sudah pulang, aku harus mempersiapkan stamina untuk hunting foto dengan Farhan besok.
Saat bekerja aku memang jarang mengecek ponsel, satu hal karena aku mewajibkan segala urusan kantor dilakukan melalui telepon, yang kedua adalah karena aku tidak mau konsentrasiku terganggu. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Nata jika dia tak memberiku kabar, aku selalu penasaran dengan aktivitasnya. Tapi sayangnya, dia hanya menganggapku merecoki urusannya.
"Mau pulang Bu?" tanya Allen ketika melihatku bersiap.
Aku mengangguk singkat. "Allen, besok nggak ada meeting kan?" aku kembali mengingat-ngingat jadwalku, tetapi kurasa aku tidak memiliki janji penting untuk besok.
"Nggak ada Bu"
"Kalau ada panggilan dadakan, tolong gantikan saya ya" pintaku, aku memang sangat formal jika masih berada di lingkungan kantor. Padahal orang-orang yang memiliki profesi seperti kami tidak perlu melakukannya.Aku hanya ingin menciptakan iklim profesional.
Allen mengangguk ringan membuatku tersenyum singkat. Sampai ada sebuah pesan masuk mengganggu aktivitasku.
Nata : Saya di lobby kantor kamu.
SHIT!
Aku tidak bisa tidak mengumpat saat ini. aku langsung membereskan barang-barangku dengan cepat dan setengah berlari keluar, aku bahkan lupa pamit dengan rekan-rekanku dan terus berjalan menuju lift. Sial. Kenapa aku tidak membaca pesan-pesan singkat Nata dari tadi?
Nata : Saya mau ke kantor kamu.
Nata : Saras, saya serius mau ke kantor kamu.
Nata : Saya di lobby kantor kamu
Aku langsung masuk lift dan memasukkan ponsel ke dalam tas tanganku, berharap lift yang membawaku ini bisa cepat sampai ke lobby hingga aku bisa menyeret Nata darisana, tanpa mengakibatkan banyak tanda tanya dari orang-orang.
Nata dan keluarganya sering di sorot media, itu benar, aku tidak mau kecipratan sorotan media padahal aku juga orang yang bekerja di balik layarnya. Aku sudah berkali-kali meminta Nata jika akan menjemputku tolong hubungi aku dulu, tapi sepertinya dia tidak mengubrisnya sama sekali. Atau lupa?
Aku segera keluar ketika lift sampai di lobby, kakiku langsung mengarah ke ruang santai yang berada di sisi kiri resepsionis. Mendapati orang yang menungguku itu sudah duduk disana, memainkan ponselnya.
Kemudian, ponselku bergetar.
"Nata" panggilku cepat, dia yang hanya mengenakan kemeja putih dan celana bahan menoleh kepadaku. Maish, tampan. Dia mematikan sambungan teleponnya dan segera berdiri, aku mengambil kesempatan itu untuk menariknya keluar dari kantorku.
Dia tidak tau apa kalau kantorku sarang wartawan?
Aku benar-benar kesal dengan tingkahnya. Aku bukannya tidak mau memproklamasikan hubungan kami, tapi itu hanya akan membuat semuanya runyam, sekali berita tersebar, seluruh kehidupanku tidak akan lagi jadi privasi. Mengalahkan artis.
Dan orang-orang akan mengetahui sampai ke sisi-sisi gelap kehidupanku.
"Dimana mobil kamu?" tanyaku cepat, tanpa menoleh kepadanya. Dia hanya pasrah saat tanganku terus menariknya keparkiran.
"Saras!" dia memanggilku namun aku tetap mengubrisnya, terus melangkahkan kaki hingga parkiran tamu, yang berada di depan gedung, bukan parkir pegawai yang ada di basement.
Setelah merasa cukup aman, aku melepaskan genggaman tanganku di tangannya, baru membalikkan badan. Nata tampak tidak suka dengan perlakuanku kepadanya, membuatku mengalihkan wajah.
"Dimana mobil kamu?" tanyaku sekali lagi.
Untuk kali ini, Nata membalikkan badannya dan berjalan mendahuluiku. Kupikir, urusan ini akan selesai sampai disini. Namun setelah kami di dalam mobil, dia langsung mencecarku.
"Apa-apaan kamu tadi? Kamu nggak suka saya ada di kantor kamu?" itu bukan pertanyaan, nadanya sangat menuduh sekali.
Aku menatapnya nyalang. "aku selalu bilang sama kamu untuk menghubungiku dulu. Jangan lagi kamu datang-datang seperti itu ke kantorku. Kalau ada wartawan yang tau, rumit semuanya Nata!" aku tak kalah membalasnya berdebat.
"Kamu nggak suka orang-orang mengetahui hubungan kita"
Aku ingin berdecih mendengar itu, hubungan seperti apa yang dia maksud? Dua tahun ini, pernah dia menganggapku sebagai pasangannya? Pernah dia memperlakukanku adil? Pernah dia menghargaiku?
Tapi aku tetap menahan diri untuk tak mengeluarkan kata-kata itu, aku akan menyimpannya dan meledakkannya suatu hari nanti. Aku benar-benar tidak menyukai sikap Nata yang seenaknya seperti ini kepadaku.
Bagaimanapun, meskipun pasangan, harus menghargai privasi masing-masing.
"Bukannya aku nggak suka, aku nggak mau di sorot media. Kamu tau kamu selalu di sorot kan? Aku cuma nggak mau hidupku terganggu" aku tetap membela diri, entah kenapa aku masih enggan mengatakan beberapa hal kepada Nata. Aku tidak merasa kami sedekat itu hingga harus membeberkan rahasia masing-masing. Semua butuh proses, jika dia belum terbuka kepadaku kenapa aku harus terbuka kepadanya?
Aku bukannya tidak mau hubungan ini berhasil. Aku sangat mau, aku sangat ingin hidup dengan Nata. tapi keadaan kami berbeda dengan pasangan kebanyakan. Karir Nata sedang bagus-bagusnya, dia incaran majalah dan berita bisnis, apalagi dengan nama belakang keluarganya, tentu saja itu juga akan membuat media menyoroti kehidupan cintanya.
Aku hanya tidak mau situasi menjadi tidak terkendali. Setidaknya untuk saat ini. karena akupun masih meragukan bagaimana kelanjutan hubungan ini. dia selalu bersikap menolakku, tidak salah kan aku ragu?
"jadi kamu mau menyelematkan diri kamu sendiri?"
"Fine! Iya! Kenapa? Bisa nggak kita berhenti berdebat dan kamu bilang apa maksud kamu menjemputku?" aku gerah terus-terusan berdebat dengannya, menghabiskan tenaga, membuat emosiku tidak stabil.
"Papi kamu mengajak kita makan malam"
Aku memelototkan mata. "aku nggak mau, aku sibuk"
Nata menatapku lagi tidak percaya. "Saya udah bilang iya"
"Dua tahun ini aku selalu berusaha untuk menolak ajakan makan malam papi yang menajak kita, Nata. kenapa kamu tiba-tiba menerima? Aku nggak mau! Aku sibuk" ujarku cepat.
"sampai kapan kamu terus-terusan keras kepala! Saya nggak bisa terus menerus menghadapi sikap kamu ini"
Aku menghela nafas dalam dan membiarkan nata melajukan mobilnya. Aku tidak mau lagi berdebat. Aku mengisi kekosongan kami itu dengan berpikir. Berpikir bagaimana caranya aku bisa kabur dari semua ini, tapi ketika melihat wajah Nata yang tegas dan sepertinya tidak bisa lagi di tolak.
Aku bimbang.
Sampai di apartemen Nata menatapku tepat di manik mataku, membuat sekujur tubuhku lemas seketika. "Ganti baju kamu, saya akan ketuk pintu kamu pukul tujuh"
Aku hanya diam, tenggelam dalam matanya yang menenangkan.
"Saras?" panggilnya, entah aku yang berhalusinasi, tapi panggilannya melembut,
Aku menganggukkan kepala.
Lemah. Sepertinya aku akan selalu lemah jika dia terus-terusan baik kepadaku seperti ini.
*
Tepat pukul tujuh, aku mendengar pintu apartemenku di ketuk. Aku menghela nafas dalam dan membukanya, memperlihatkan penampilanku yang biasa saja padanya. Ini makan malam dengan Papi, aku tidak punya kewajiban untuk rapi-rapi sekali.
"kamu pakai jeans?" tanyanya melihatku kakiku.
Aku mengangguk cepat. "kamu udah tanya ke papi alamatnya?"
Nata menepuk jidatnya cepat. "astaga. Saya lupa"
Aku mendengus kepadanya dan menutup pintu apartemennya. Ketika dia mengeluarkan ponselnya dan sepertinya menghubungi Papi aku segera mengambil ponselnya.
"Nggak perlu" ujarku cepat. "aku tau alamatnya"
Aku berusaha mengubah mimik wajahku menjadi santai ketika Nata lagi-lagi menatapku tepat di irisku. Aku menelan ludah berkali-kali, berusaha membayangkan apa saja yang menyenangkan, hingga tidak membuat aura kegelapanku keluar.
Tidak mungkin aku melupakan tanggal ini. tidak mungkin sama sekali aku melupakannya.
Aku tidak membangun percakapan apapun kepada Nata setelah memberikannya ponselku yang menyetel aplikasi waze, membiarkan Nata sibuk dengan petunjuk jalan itu sedangkan aku menatap jalanan dengan muram.
Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihku sekarang. Mobil ini akan melaju ke tempat yang tidak mau kudatangi sama sekali. Aku benar-benar ingin pergi, namun melihat Nata disampingku, aku rasa, dia sudah boleh tau akan hal ini.
Saat masuk ke dalam perumahan elit itu, Nata benar-benar menatapku, memaksaku untuk menoleh kepadanya dengan menyentuh bahuku. "Ini dimana?" jelas! ini bukan rumahku.
Aku menghembuskan nafas kasar. "Kamu bakalan tau" jawabku pelan, kemudian kembali memalingkan wajah.
Aku segera keluar saat mobil Nata benar-benar berhenti di depan rumah itu. Nata tidak banyak bicara ketika aku berjalan ke teras dan salah asisten rumah tangga membukakan pintu untuk kami.
Sesaat perasaanku tercebik, sakit sekali rasanya. Aku tidak bisa menghentikan sumpah serapahku saat masuk ke dalam rumah ini. Pandanganku terarah pada foto keluarga yang terpajang di ruang tamu, membuat mataku menyipit sesaat.
Aku menolehkan kepala pada Nata yang terdiam dibelakangku, juga turut memperhatikan foto keluarga itu. Mungkin dia bertanya-tanya kenapa aku tidak ada disana, atau bertanya sejak kapan Papi memiliki keluarga baru.
Biarkan saja dia berspekulasi.
"Nat" panggilku pelan, rasa kaget tidak bisa dibendungnya saat menatapku.
"Diam dan turuti suasananya, jangan nanya apapun ke aku sebelum aku mengizinkan" aku benar-benar mengatakannya penuh penekanan. Air wajahku tidak santai lagi, mungkin dia bingung mendapati sisiku yang seperti ini.
Setelahnya seorang anak berusia empat belas tahun langsung menghampiri kami.
"Kak Saras" panggilnya cepat, aku berusaha untuk tersenyum tetapi wajahku sangat kaku sekali. Namanya Elsa, putri kedua papi, adikku, adik tiriku.
Papi dan sialan –istrinya muncul di belakang Elsa, membuatku menegang sepenuhnya. Aku langsung terdiam ditempatku, wajahku sudah tidak benar-benar berkompromi lagi saat melihat mereka. Demi kesopanan yang selalu diagung-agungkan Papi, aku menyalami keduanya, Nata turut melakukan hal yang sama.
"Jadi ini Nata, Ras? Kamu baru pertama kali ngajak Nata kesini" ujarnya ramah, tapi aku bisa langsung tersenyum miris padanya. Ingin tertawa sangat keras.
Sejak kapan kami akrab?
Namanya Stella, enam tahun lebih tua dariku. Istri kedua papi. Dibandingkan tante atau mama, aku lebih cocok memanggilnya kakak. Demi Tuhan! Entah apa yang dia lakukan hingga bisa membuat tua Bangka seperti Papi jatuh cinta padanya. Dia masih muda, dan dia masih punya banyak pilihan hidup, tapi dia memilih untuk bersama Papi.
Aku kesal memikirkannya.
"Aku nggak bisa lama-lama. Kita mulai aja makan malamnya" aku segera berlalu menuju ruang makan, dalam empat belas tahun terakhir, tentu saja aku pernah bolak-balik ke rumah ini. apalagi jika papi sedang sakit.
Aku memang tidak mau mereka tinggal dirumahku dan mami, dan mengizinkan papi untuk membagi dirinya dalam seminggu untuk berada di pihakku atau dipihak mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, papi menurutinya, sekarang aku sudah bebas dari tanggung jawabnya, papi sepertinya sudah sepenuhnya tinggal disini.
"Oh ya, selamat buat pernikahan ke empat belasnya" aku langsung mendudukkan diri di kyrsi dengan santai. melihat sesaat pada hidangan-hidangan yang seharusnya membuatku bernafsu makan. tapi sayang, datang ke rumah ini hanya membakar perasaanku.
aku menolehkan kepala dan mendapati papi berdiri di dekatku. Kubiarkan saja Papi menatapku nyalang. Sepertinya pertengkaran akan terjadi lagi.
"Saras! Bisa kamu lebih sopan kepada Stella"
"ini sudah paling sopan Papi" jawabku ketus, aku menantang mata Papi, tidak bisa kuragukan, ada guratan kecewa yang terpancar disana. Aku memilih mengabaikannya, rasa sakit karena dikhianati lebih bisa mengendalikan diriku sekarang, daripada sisi simpatikku.
"Papi nggak mau melihat calon menantu papi shock karena keluarga kita yang berantakan kan? Sekarang, mulai makan malamnya, aku udah nggak tahan ada disini" aku langsung membalikkan piring dan mengambil makanan pembuka.
"Oh ya Nat, kenalin itu Mama tiriku, Stella. Nggak usah panggil tante, dia tiga tahun lebih tua dari kamu. Panggil nama aja"
"Saras!"
Didepan semua orang aku memang anak perempuan yang mampu menuruti segala kemauan Papi. mereka tidak pernah tau, aku sebenarnya adalah sosok pembangkang yang bisa merusak segala momen kebahagiaan. Termasuk hari ini.
Kelakuanku ini tentu saja menurun dari Papi. Buah tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya. So am I.
Seperti papi yang masih menyembunyikan status pernikahannya hingga saat ini, membiarkan orang-orang mengetahui bahwa papi masih setia kepada mami yang sudah berada di bawah tanah sana. Aku juga membiarkan orang-orang berspekulasi seperti itu.
Termasuk keluarga Nata.
*
Wajahku berubah menjadi singa yang tidak bisa menangkap mangsa ketika selesai makan malam itu. Nata benar-benar menuruti permintaanku untuk mengikuti situasi dan tidak mengajakku berbicara hingga detik ini. Mungkin dia juga masih terkejut.
Setengah diriku malu, bukan karena kelakuanku, tapi karena fakta yang harus diketahuinya dibalik semua ini. mungkin dia mengira bahwa selama ini hidupku selalu dipenuhi kasih sayang papi dan tak pernah merasa dikhianati seperti itu.
"Ras. Mau makan malam lagi? Aku masih lapar" aku menatap Nata perlahan dan menggelengkan kepala.
"tapi aku masih lapar" kekeuhnya.
Aku menghembuskan nafas kasar. "yaudah, delivery aja. Makan di apartemen. Aku lagi nggak dalam mood yang baik sekarang untuk makan, Nat"
"Oke. Aku delivery nanti" setelah itu, benar-benar diisi kekosongan. Aku mati-matian untuk mengendalikan diriku. Berusaha untuk tidak meruntuhkan diriku sekarang di depan Nata. dia belum saatnya tau, dia belum saatnya mengetahui diriku lebih dalam.
Tiba di apartemen, Nata tidak langsung membiarkanku sendiri. Aku langsung mengusirnya, namun dia memaksa untuk masuk ke apartemenku. Jadi kubiarkan dia berbuat sesukanya sedangkan aku membersihkan badan kemudian pergi ke ruang kerjaku untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Untung saja ada beberapa file yang sempat ku copy untuk berjaga-jaga kuselesaikan di rumah. Aku tidak mengunci pintu ruang kerjaku, membiarkan layar menayangkan beberapa konsep iklan baru yang ingin masuk ke stasiun TV kami.
Kepalaku penuh sekali rasanya, aku tidak bisa berpikir sama sekali, kubiarkan mataku menatap layar itu dengan nanar. Kilasan pertengkaran hebatku dengan papi mulai menghantuiku pikiranku, aku tidak ingin memikirkannya aku sama sekali tidak ingin memikirkannya.
Tapi otakku juga turut mengkhianatiku, tidak bisakah dia membantuku untuk mengendalikan diri sekali ini saja?
Tiba-tiba saja aku mendengar suara ketukan pintu, Nata membuka pintu ruang kerjaku dan aku menatap nyalang ke arahnya.
"Aku pesan dua box pizza. Nggak bisa ngabisin sendiri, kamu mau kan?" tanyanya dengan hati-hati. Aku tau sekali daritadi Nata berusaha membangun percakapan denganku, atau entah berusaha membuat suasana hatiku menjadi lebih baik, aku bahkan bisa mendengar panggilan saya yang dia gunakan dulu sudah berubah menjadi aku.
Tapi aku tidak bisa merasakan getaran jatuh cinta itu sekarang, aku benar-benar tidak bisa, hati dan kepalaku penuh. Bukan saatnya aku berbunga-bunga sekarang.
"Ras, kamu mau ini mubazir?"
"Cerewet banget sih!" celaku langsung. Kesal. Aku segera berdiri dan mematikan layar di depanku dan keluar,mendapati apa yang dikatakan nata tadi terhidang di sofa ruang tengah di depan televisi.
Aku langsung mengambil satu potong pizza dengan tenang dan memakannya. Mungkin aku memang membutuhkan ini sekarang.
Nata hanya diam menatapku sedangkan aku hanya meliriknya sekali-kali.
"Nggak usah komentar dulu, Nat" ujarku saat menyadari diriku sudah lebih baik. "kamu udah tau betapa hancurnya keluargaku, masih banyak hal-hal yang belum kamu ketahui"
"Itu yang membuat aku nggak mau di sorot media. Menjadi anak Wiradana Ardika hanya membuat orang-orang itu menyelami kehidupanku lebih dalam. Aku nggak mau aib ini keluar dimana-mana. They don't have to know this"
Nata tetap diam menatapku, dia mengambil satu potong pizza dan memakannya dengan cepat.
"Kamu juga seharusnya, You don't have to know this. Seenggaknya belum, sampai aku yakin aku harus membagi rahasia ini sama kamu. Aku memang nggak mau mereka datang di acara-acaraku selama ini, makanya kamu nggak kenal. Papi setuju, dulu, tapi karena ini papi sendiri yang meminta kamu, aku tau posisi kamu gimana, nggak bisa menolaknya"
"Ras" dia menyelaku.
"Kamu nggak perlu kasihan sama aku. Kamu nggak perlu terlalu baik begini sama aku, Nat. jujur ini aneh. Aku terbiasa sama penolakan kamu, jadi menerima perlakuan manis kamu membuatku merasa, aneh. Juga tersinggung, kamu nggak harus begini"
"Saras!"
Aku tersenyum lemah. "Habis ini bisa kamu keluar? Aku benar-benar butuh waktu sendiri, aku nggak mau kamu terlalu banyak shock mengetahui sisi-sisi lemahku yang lain. Tetap anggap aku Saras yang keras kepala ya?"
Aku benar-benar tidak ingin tau apa yang dipikirkan Nata sekarang. entah dia terlalu miris mengetahui kenyataan hidupku selama ini, keluarga yang mencampakkanku dan mendapatka tunangan yang mengabaikanku dua tahun penuh.
benar-benar tidak bisa dipercaya.