Acara jamuan makan malam yang diikuti oleh Amara dan Tristan berserta keluarga mereka masing-masing pun kurang berjalan lancar akibat keluhan morning sickness yang dialami oleh Amara muncul kembali di sela-sela dinner. Berulang kali ia mual dan hampir memuntahkan makanan yang belum terserap sempurna di perutnya.
Melihat Amara tersiksa dengan rasa sakit yang melanda, membuat Rendra tak senang. Ia mengerutkan kening sangat dalam hingga menjatuhkan pisau dan garpu yang ada di tangannya. Dian yang tahu suaminya dalam keadaan tidak sedang baik-baik saja alias tengah terserang amarah, mencoba mencairkan suasana agar pertemuan keluarga ini tidak semakin terganggu dengan adanya rasa sakit yang dirasakan putri bungsu keluarga Respati tersebut.
“Pa, putri kita tampaknya sedang sakit. Apa tidak lebih baik kita pulang saja sekarang? Biarkan Amara istirahat dan minum obat,” tanya Dian mencoba merayu sang suami.
Eva selaku ibunda Tristan menimpali. “Iya, kayaknya Amara sedang tidak dalam keadaan sehat. Takutnya malah kenapa-kenapa. Acara seperti ini bisa kita ulangi lagi lain waktu. Bagaimana?” saran Eva yang sebagai wanita mulai merasa ada yang aneh dengan Amara.
Rendra masih membisu, namun tatapan menatap lurus ke arah sang putri yang mendadak agak pucat kembali. Tristan yang memang mulai tertarik pada Amara, ikut bersuara.
“Iya nih, kasian Amara kalau dipaksakan seperti ini. Apa aku boleh mengantarkan Amara untuk pulang saja tanpa menganggu acara dinner Papi dan Mami dengan Om dan Tante. Gimana?” tanya Tristan yang sebenarnya ingin mengenal sang wanita yang hendak dijodohkan itu lebih jauh.
Harris langsung angkat bicara. “Baiklah, jika itu permintaanmu dengan senang hati Papi dan Mami akan mengizinkan kalian berdua untuk pulang lebih dulu. Sekalian untuk mengenal satu sama lain. Lebih bagus bukan? Iya kan, Rendra?”
Rendra yang namanya dipanggil lekas menjawab pertanyaan pria yang diharapkan menjadi calon besan itu.
“Tentu saja. Lebih bagus memang seperti itu. Lagian namanya anak muda pasti juga ada keinginan untuk berdua. Aku izinkan Tristan untuk mengantar Amara pulang lebih dulu ke rumah,” ucap Rendra akhirnya. Kerutan di dahinya mendadak mendadak menghilang akibat penawaran yang dilontarkan oleh sosok pria yang diharapkan sebagai calon menantu tersebut.
Harris manggut-manggut, sedangkan Eva pun menuruti kemauan suami dan anaknya tersebut. Sementara itu, Rendra dan Dian lega karena keluhan yang Amara alami tak merusak acara makan malam mereka agar bisa semakin akrab dengan keluarga Hanggara.
“Kalau begitu Tristan antar Amara pulang dulu ya Mi, Pi, Om, Tante,” pinta Tristan yang langsung disambut dengan anggukan mereka semua.
Tanpa berlama-lama lagi Tristan pun meraih tangan sang wanita lalu menggandengnya akrab selayaknya sudah kenal lama. Hal yang dilakukan seorang pria dan berharap wanita itu merasa nyaman.
Saat mereka berdua berjalan menuju pintu keluar restoran, sepasang netra cokelat Amara untuk ke sekian kali menatap pemandangan yang tak ingin dilihat namun tetap terlihat yakni Bara Gandawasa bersama sang kekasih yang tengah berjalan di sana juga. Mereka saling berpapasan di lorong restoran dengan arah berlawanan. Ketika Amara dan Tristan bergerak menuju pintu keluar untuk lekas pulang, Bara dan Nadia bergerak ke arah lift untuk menuju roofbar di lantai paling atas.
Mereka semua berlalu bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan meski Amara dan Bara sempat melihat satu sama lain. Tak ada kalimat yang terlontar dari mulut keduanya. Terutama Bara yang masih menganggap wanita yang tengah mengandung darah dagingnya itu tetap sebagai ‘wanita asing’.
Selama perjalanan, Amara masih merasa mual. Apalagi dengan bau parfum mobil yang menguar semakin membuat wanita itu tidak tahan untuk menahan rasa mual.
“Amara, kamu kenapa? Mual lagi? Aku jadi—“ ucap Tristan yang tak melanjutkan kalimatnya lagi karena Amara mendadak menyela.
“Jadi apa?” tanya Amara yang mulai memasrahkan diri untuk siap mendengar jawaban Tristan jika pria itu menyadari bahwa keluhan yang dialami Amara adalah keluhan untuk wanita yang tengah hamil muda.
Jadi curiga kalau aku hamil ya? Tanya Amara dalam hati.
“Jadi ingin memeriksakanmu ke dokter sekarang. Mau ya, aku antarkan ke dokter?” pinta Tristan yang seketika membuat Amara melotot.
Amara berdeham. “Hmm … nggak usah, kayaknya aku cuma masuk angin aja dan butuh istirahat karena kelelahan. Antarkan aku pulang saja, please.”
“Yakin nggak perlu ke dokter nih? Aku takut kalau tiba-tiba calon istriku kenapa-kenapa,” celetuk Tristan dan sontak membuat Amara terperangah saat mendengar kata ‘calon istri’ yang keluar dari mulutnya.
Calon istri? Memang kamu mau punya calon istri yang sedang mengandung anak pria lain???
Amara bertanya-tanya dalam hati. Ia mendesah lirih sebelum menanggapi kalimat yang diucapkan oleh Tristan.
“Calon istri? Malam ini kan masih perkenalan saja, Tristan. Aku nggak mau memberikanmu harapan lebih jika suatu saat kita ternyata tidak berjodoh,” ucap Amara bijak.
“Iya sih, cuma aku optimis saja jika kita memang berjodoh. Aku ingin mengenalmu lebih dalam. Jujur aku tertarik padamu. Kau tipeku Amara Respati. Tolong jangan tolak rencana perjodohan yang diinginkan oleh kedua orang tua kita ini. Mau ya?”
Deg. Amara hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tak ingin mengiyakan permintaan Tristan. Takut pria itu benar-benar kecewa jika tahu dirinya sudah tidak suci lagi. Sebenarnya ingin terus terang pada Tristan agar pria itu tak terlalu mengharapkannya lagi karena nyatanya ia sedang hamil anak Bara. Namun alangkah baiknya apabila yang wajib tahu lebih dahulu adalah kedua orang tuanya dibanding orang lain yang bukan keluarga Amara. Ia pun memilih tak menjawab permintaan Tristan. Membiarkannya menganggap Amara memang belum siap menjawab.
Tristan yang menyadari Amara tampak kurang nyaman dengan permintaannya mencoba membuat wanita yang mulai ia suka itu untuk tidak diam saja. Tak ingin wanita itu bergeming.
“Amara, nggak usah dijawab dulu. Aku paham kamu butuh waktu untuk memikirkan ini mengingat kita baru saja bertemu hari ini. Tapi memang aku mulai suka padamu. Semoga kamu nantinya yang menjadi jodohku kelak.”
Amara mendadak pusing dan tiba-tiba diserang mual-mual kembali. Tak mampu mendengar rayuan-rayuan Tristan lagi. Ia jadi merasa jika jangan-jangan tanda keluhan seperti ini hadir efek penolakan dari janin yang ia kandung. Apakah calon anak Amara dan Bara tak ingin ibunya menjadi milik pria yang bukan ayahnya?
“Iya, aku tak bisa menjawab sekarang. Aku butuh waktu untuk berpikir,” jelas Amara yang disetujui oleh Tristan.
Tristan yang setuju dengan permintaan Amara, mendadak meraih tangan kanan wanita itu untuk digenggam. Amara yang terkejut dengan sikap Tristan yang serasa melakukan pendekatan dengannya hanya bisa mendesah pasrah. Berharap besok pagi ia berani mengatakan pada kedua orang tuanya jika ia tengah mengandung anak Bara Gandawasa yang merupakan anak dari musuh Rendra Respati.
***
Pagi hari menjadi hari yang mendebarkan bagi Amara. Ia bangun pagi-pagi sekali dan semalaman tak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi dengan mimpi buruk yang sempat ia alami tadi malam yaitu saat mengatakan jika tengah mengandung anak Bara Gandawasa karena sebuah kesalahan di Pulau Komodo.
Dari mimpi yang ia alami tadi malam, Rendra marah besar hingga mencambuk punggung anak perempuannya satu-satunya itu sebanyak tiga kali. Ingin mencambuk wanita itu sebanyak tujuh kali namun dilarang oleh Dian yang tak tega jika Amara dihukum seperti itu meski telah hamil di luar nikah. Hingga mimpi Amara tersebut berakhir dengan Rendra yang akhirnya menerima kenyataan jika putrinya tengah hamil keturunan Gandawasa yang sangat ia benci. Memaksa Bara Gandawasa untuk mau bertanggung jawab dengan segera menikahi Amara Respati.
Tak ingin memikirkan mimpi itu lagi, Amara mencoba untuk rileks. Kemudian menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia mencoba untuk tenang sebelum bergegas menemui orang tuanya saat sarapan. Berencana setelah menghabiskan sarapan untuk berkata jujur di depan kedua orang tuanya.
Dengan mengucap ‘bismillah’, Amara memberanikan diri untuk melangkahkan kaki menuju ruang makan. Perasaan campur aduk melanda dirinya. Antara gelisah, takut, berani, sedih, suka cita atas kehadiran titipan atau anugerah dari Tuhan yang tengah tumbu di rahimnya adalah yang dirasakan oleh wanita itu. Namun, ia yakin jika ia jujur itu lebih baik sebelum terlambat.
“Pagi Ara,” sapa Dian yang menyaksikan sang puteri cantiknya telah hadir untuk breakfast bersama.
“Pagi, Ma,” sahut Amara yang kemudian meneguk air putih yang telah disiapkan Mbok Sri di atas meja makan.
“Eh, keadaanmu bagaimana, Ara? Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya sang ibu sembari mengoleskan selai kacang di atas roti.
Amara mengangguk. “Ya, Mama. Sudah mendingan,” jawabnya singkat.
“Baguslah kalau begitu. Kau mau Mama siapkan roti juga sama seperti Papa?”
“Iya, Mama. Ara mau jika tidak merepotkan Mama.”
Dian tersenyum kecil. “Ya nggaklah, Sayang. Kamu kan putri kesayangan Mama. Apalagi sebentar lagi mau jadi istri orang. Nanti Mama nggak bisa menyiapkan sarapanmu lagi.”
Istri orang? Akankah benar aku akan jadi istri orang? Apa aku tidak hamil sendirian?
Amara hanya bisa membatin. Lalu membalas ucapan sang ibu.
“Ya, Mama.”
“Kamu mau selai apa? Ada selai cokelat, kacang, nanas, dan stroberi. Selai nanas mau nggak?” tanya Dian yang seketika tercengang mendengar kata ‘selai nanas’
Amara melanjutkan membatin lagi.
Katanya selai nanas bisa menggugurkan kandungan. Apa aku tega untuk makan nanas yang bisa membuatku keguguran? Keguguran yang seharusnya lebih baik untuk wanita yang hamil di luar nikah sepertiku. Tapi … aku jahat jika sampai seperti itu. Aku sayang pada calon anakku. Aku ingin dia tetap hidup apapun alasannya.
Naluri seorang ibu mulai hadir pada diri Amara. Dengan tegas ia menjawab. “Mau selai kacang saja, Ma. Sama seperti Papa.”
“Baiklah, tunggu sebentar ya, Ara,” sahut Dian yang diangguki Amara.
Amara dan kedua orang tuanya pun melahap sarapan mereka seraya berbincang-bincang santai sebelum waktu yang ditunggu-tunggu oleh putri bungsu mereka tiba. Amara menghela napas sejenak dan kemudian memutuskan untuk berkata apa yang telah dialaminya akhir-akhir ini. Sudah saatnya untuk berkata jujur.
“Ma … Pa … Amara mau bilang sesuatu,” celetuk Amara seraya meremas-remas jemari tangan akibat gugup.
“Mau bilang apa?” Dian bertanya sambil menatap ke arah sang putri sedangkan Rendra hanya berdeham dan sibuk membaca koran.
“A-Ara … Ara … hamil …” ujar Amara akhirnya berani berkata jujur sambil meneteskan air mata.
“APAAA???” pekik Dian dan Rendra bersamaan.
Air mata Amara semakin mengalir deras saat melihat ekspresi terkejut dari kedua orang tuanya.
“Kau bercanda. Nggak mungkin. Selama ini kau selalu tidur di rumah. Nggak pernah itu Mama lihat kamu keluar malam-malam. Katakan pada Mama jika itu hanya candaanmu saja. Kamu mau mengetes Mama dan Papa, ya?” cerocos Dian berusaha menyangkal ucapan sang anak.
Mengetahui sang ibu yang tak percaya ucapannya, Amara pun lekas merogoh lembar USG yang telah dicetak dokter kandungan untuknya.
“I-ini lembar USG yang diberikan oleh dokter pada Amara. Amara sedang mengandung cucu Papa dan Mama,” ucap Amara tergugu dan langsung membuat tangis wanita itu pecah. Ia berkata dengan sekujur tubuh bergetar hebat.
Mendengar ucapan sang anak, Rendra berang. Mata pria paruh baya itu berkilat sempurna yang menandakan jika ia benar-benar marah pada Amara. Dengan tegas, ia bangkit dari tempat duduk lalu menghampiri sang putri terakhir dengan memberinya tamparan yang sangat keras hingga menyebabkan Amara terjatuh dari tempat duduk.
“KAU BENAR-BENAR ANAK KURANG AJAR!” jerit Rendra lalu mulai memaki-maki anaknya tanpa ampun. “Anak macam apa kau itu? Bisanya membawa aib keluarga. Bagaimana kalau sampai Tristan dan keluarganya tahu? Kau mempermalukan keluargamu saja!”
Rendra memaki-maki sang anak sembari memberi anaknya tamparan-tamparan keras lagi seolah-olah ingin menghajar Amara habis-habisan saking marahnya. Amara hanya bisa menangis saat menerima tamparan-tamparan keras sang ayah hingga membuat wajahnya babak belur. Dian yang tak tega pada putrinya lantas bersuara sambil menarik-narik baju Rendra agar berhenti menyiksa Amara.
“Pa, cukup, Pa. Cukup. Jangan siksa Amara! Dia putri kita, Pa. Kesayangan kita. Jangan terbawa emosi berlebihan! Kita dengarkan penjelasannya dulu,” rengek Dian yang tak digubris oleh suaminya.
“Anak nggak tahu diuntung! Kau sengaja ya, mau membuat orang tuamu malu. Dasar anak nggak tahu aturan!” bentak Rendra yang langsung menjambak sang putri untuk diseret ke taman rumah yang terdapat kolam renang di sana. Amara hanya bisa pasran dan menangis sesenggukan tanpa memberi perlawanan sedikit pun. Hanya bisa pasrah diadili oleh sang ayah.
Dian yang terlonjak melihat Rendra yang begitu kejam pada anaknya, mencoba untuk membujuk sang suami.
“Pa, Ara mau dibawa kemana? Kita interogasi dia saja dulu. Amara anak kita itu anak baik-baik, Pa. Jangan disiksa, Mama mohon.” Dian meminta Rendra mengampuni anaknya berkali-kali.
“Baiklah, sekarang aku tanya padamu, siapa yang sudah berani menghamilimu? Siapa yang sudah merusak rencana perjodohanmu dengan Tristan? Siapa???” tanya Rendra kalut.
Amara hanya berlinang air mata. Masih takut menyebut nama Bara Gandawasa.
“Ara Sayang, jawab pertanyaan Papa, ya. Jangan takut, meski kau bersalah tapi kami tetap orang tuamu,” bujuk Dian yang kemudian merangkul sayang Amara sambil meneteskan air mata.
Bibir Amara bergetar. Sampai akhirnya keluar jawaban dari mulutnya.
“Bara Gandawasa …” sahut Amara yang seketika membuat Rendra makin kalut karena nama ‘Gandawasa’ sebagai musuh bebuyutan Rendra disebut.
Tanpa berlama-lama lagi dan sama seperti mimpi Amara semalam, Rendra pun melepaskan ikat pinggangnya untuk mencambuk punggung Amara sebanyak tiga kali hingga wanita itu kesakitan dan pasrah dengan hukuman yang diberikan oleh sang ayah.
Dian yang tahu anak mereka sendiri disiksa sang ayah, cepat-cepat bersimpuh di atas kaki Rendra. Berharap menghentikan aksi tidak manusiawi tersebut saat itu juga. Amara yang lemah pun akhirnya ambruk juga. Saat itu Rendra baru sadar jika ulahnya benar-benar telah menyakiti anaknya sendiri. Kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya?