9. Dua Garis Merah

2433 Kata
“Kehamilan itu adalah sebuah rezeki yang datang dari Yang Maha Kuasa. Jika nantinya ada yang menghina dan menghujat rezeki atas kehamilan yang tak disangka-sangka sebelumnya, maka tetap kita sambut dengan syukur dan suka cita setiap terjadi kehamilan.” Sebulan Kemudian Pagi-pagi sekali Amara terjaga dari tidur. Tiba-tiba ada yang bergejolak di dalam perut wanita itu hingga ia mual-mual yang berlanjut muntah-muntah di toilet kamarnya. Ia mendesah frustasi karena yang ia ingat semalam tidak makan makanan yang bisa mengakibatkan perut menjadi bergejolak seperti ini. Setelah merasa lebih baik daripada sebelumnya yakni mual-mual dan muntah-muntah berkurang, ia bergegas keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Melangkah perlahan-perlahan dengan kondisi badan mengenakan bathrobe (mantel mandi) untuk bergerak menuju ranjang kamar. Sesampainya di atas ranjang, Amara memilih duduk seraya melirik ke arah kalender duduk yang ada di nakas sebelah tempat tidurnya. Ia melihat tanggal hari ini lalu mengingat-ingat hari terakhir menstruasi terakhir bulan lalu. Seketika wajahnya berubah menjadi agak pucat saat mengetahui jika ia sudah terlambat datang bulan selama sebulan lebih seminggu. Mendadak wajahnya pucat pasi. Ya Tuhan … apakah aku hamil??? Amara bertanya dalam hati. Berusaha meyakinkan diri sendiri untuk tidak mengganggap dirinya tengah hamil. Ia mencoba untuk bersikap optimis dan menebak-nebak jika ia hanya masuk angin semata. Namun saat melihat ke arah kalendar lagi, netra cokelat milik wanita itu menangkap tulisan tanggal yang diberi notes jika ulang tahun Tasya Hermawan telah terjadi satu bulan yang lalu artinya harus mau menerima risiko terburuk yaitu ia hamil di luar nikah. Benarkah aku hamil? Apakah aku mengandung anak Bara Gandawasa? Tanya Amara dalam hati. Tanpa berlama-lama lagi, ia pun berjalan mengendap-endap keluar kamar seraya mengambil dompet dan kunci mobil untuk mencari apotek yang buka 24 jam mengingat ini masih jam 4 pagi. Amara melajukan mobil sedan Honda Accord berwarna hitam miliknya guna hendak membeli alat uji kehamilan atau tespack secara diam-diam. Mengendarai mobil dengan kecepatan sedang sambil berusaha mengenyahkan pikiran kalau ia tengah hamil. Untuk mengatasi rasa panik dan cemas jika ternyata ia benar-benar hamil, Amara pun mencoba lebih rileks dengan memutar radio di dalam mobilnya. Secara acak ia memilih stasiun radio dan bukannya malah bisa menghilangkan rasa cemas, lagu yang diputar secara tak sengaja adalah lagu milik Andien yang berjudul ‘Belahan Jantungku’ yang menceritakan tentang kehamilan penyanyi jazz Indonesia tersebut. Alunan lagu milik Andien tengah menggema di dalam mobil Amara. Wanita itu menjadi frustasi ketika mendengar beberapa kalimat dari lirik lagu tersebut tentang kehamilan Andien. Amara yang tak mampu mendengarkan lagu itu lagi dan langsung mematikan radio. Memilih bergeming dan ingin cepat-cepat sampai di apotek. Tak lama kemudian, ia pun sampai di sebuah apotek sekitar Permata Hijau yang buka 24 jam. “Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?” tanya petugas apotek ketika menyambut kedatangan Amara yang tampak kusut dan terburu-buru. “Berikan saya tespack! Yang paling bagus,” jawab Amara. “Baik Nyonya, mohon tunggu sebentar. Butuh berapa testpack, Nyonya?” tanya petugas apotek itu lagi. Sebelum menjawab pertanyaan petugas apotek yang berjenis kelamin perempuan itu, Amara membatin dalam hati. Nyonya … Nyonya??? Siapa Tuannya? Tak ada …. “Berapa, Nyonya?” tanyanya lagi. Amara tersentak kaget. Lantas segera bersuara. “Eh iya, maaf Kak, saya butuh lima.” “Baiklah, tunggu sebentar,” sahut perempuan itu yang diangguki Amara. Selang beberapa detik berlalu, petugas apotek itu kembali dan membawakan pesanan Amara. “Berapa totalnya, Kak? Saya harus bayar berapa?” “Jumlahnya dua ratus lima puluh ribu, Nyonya. Per bijinya seharga lima puluh ribu rupiah.” Amara lekas mengambil 3 lembar uang pecahan Rp 100.000,- dari dalam dompetnya. Lalu menyerahkan pada perempuan itu. “Ini kak, kembaliannya buat Kakak saja, saya buru-buru. Terima kasih,” ucap Amara yang langsung pergi meninggalkan apotek. Perempuan yang ada di sana pun membalas setengah berteriak. “Terima kasih, Nyonya. Terima kasih banyak. Semoga Tuhan membalas pemberian, Nyonya. Hati-hati di jalan ya, Nyonya cantik!” teriak perempuan itu. Amara hanya menoleh sambil mengangguk. Lalu cepat-cepat mengemudikan mobil agar cepat sampai ke rumah sebelum keluarganya tahu. Wanita berdarah Indonesia – Turki itu tahu betul sifat kedua orang tuanya terumata ayahnya yang lebih terkesan sebagai pria serius dan mudah emosi. Sesampainya di halaman rumah megah milik keluarga Respati di Permata Hijau, Jakarta Selatan, Amara berusaha kembali kamar secara diam-diam namun sialnya malah dipergoki oleh sang ayah yang telah bangun karena sudah menginjak subuh. “Habis darimana kamu?” tanya Rendra yang mengagetkan putri bungsunya itu. Amara sontak terperanjat. Lalu mengangkat dagu untuk menatap ayahnya. “Dari apotek, Pa,” jawab Amara singkat. Rendra mengernyit. “Buat apa subuh-subuh begini ke apotek? Kamu sakit?” Amara mengangguk. “Iya, Pa. Perut Ara sakit.” “Ya sudah kalau begitu cepat masuk. Kalau mau minum obat, jangan lupa untuk makan dulu. Minta siapakan sarapan sama Mbok Sri atau Bik Ria,” ujar Rendra sambil menyesap cerutu kesukaannya. Amara pun bergegas memasuki kamar. Merasa ketahuan karena tak dipergoki oleh sang ayah mengingat bukan obat yang dibeli anak gadisnya melainkan alat uji kehamilan. Ia mendesah lega lalu bergerak menapaki beberapa anak tangga tergesa-gesa agar segera sampai di kamarnya. Saat hendak memasuki kamar, Amara mendadak mual-mual lagi akibat parfum yang disemprot Bik Ria di koridor rumah yang terletak di lantai 2 depan kamar Amara. Hingga membuat Bik Ria menoleh ke putri majikannya. “Nona Amara, Nona kenapa?” tanya Bik Ria yang merasa ada yang tidak beres dengan putri majikannya tersebut. Amara menggelengkan kepala. “Nggak apa-apa, Bik. Aku pusing saja, aku masuk dulu.” “Non, sarapannya mau dibikinkan apa? Kalau Nona merasa pusing biasanya karena telat makan,” ucap asisten rumah tangga yang sempat membuat Amara panik karena takut ditebak kalau ia tengah ‘hamil’. “Terserah saja, Bik. Kayak biasanya juga nggak apa-apa. Aku lagi nggak selera makan sebenarnya.” “Iya, Nona. Ria bilang dulu ke Mbok Sri agar menyiapkan masakan kesukaan Nona,” sahut sang asisten rumah tangga yang langsung pergi ke dapur untuk membantu Mbok Sri menyiapkan sarapan bagi Amara. Sedangkan Amara yang sudah berada di dalam kamar mandi untuk hendak melakukan tes uji kehamilan, mencoba rileks sambil menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Dengan tangan bergetar ia melakukan tes uji kehamilan. Mengeluarkan alat tespack lalu menaruhnya di wadah yang telah disediakan dan berisi urin. Setelah menunggu beberapa detik, Amara segera mengangkat alat uji kehamilan. Dan hasilnya adalah … Ya Tuhan, aku hamil …. Amara terguncang saat melihat ada dua garis merah yang terlihat di alat tespack tersebut. Terlihat jelas hingga ia tak mampu menahan diri untuk tidak menangis. Bulir-bulir air mata bercucuran membasahi pipinya. Ia syok dengan kenyataan harus menanggung hasil dari apa yang telah diperbuat Bara Gandawasa padanya di malam itu. Ia mengandung anak Bara sebelum adanya pernikahan. Apalagi jika mengingat ucapan pria itu yang tak mau menikahinya dan mau menikahi sang kekasih saja. Seketika rasa lega yang ia rasakan selama sebulan ini yang sudah tak berurusan lagi dengan Bara lenyap sudah. Kali ini mau tak mau bayangan sosok pria itu akan hadir dalam hidup Amara karena tengah mengandung anak pria berengsek itu. Amara yang terus-menerus terisak dan meratapi nasib buruk telah terjebak oleh pria yang ia benci saat ini yaitu Bara Gandawasa. Tubuh Amara mendadak lemah dan seketika merosot ke lantai hingga tak sadarkan diri. Wanita cantik itu pingsan seketika dengan tangan masih menggenggam alat uji kehamilan. *** Pingsan yang dialami oleh Amara dipergoki oleh asisten rumah tangga yang bernama Mbok Sri. Wanita tua sengaja datang membawakan sarapan untuk sang putri majikan sesuai perkataan Bik Ria tadi. Mbok Sri langsung terlonjak melihat sang nona yang terkapar di lantai dengan kondisi tak sadarkan diri. Netra gelap milik wanita itu menangkap alat testpack di tangan Amara. Ia pun segera mengambil alat tes kehamilan yang bersifat pribadi itu dan melihat hasilnya. Mbok Sri melotot saat melihat hasil dari alat testpack tersebut. Karena wanita tua itu sadar betul dengan sifat dari Rendra yang bisa sangat disiplin pada anak-anaknya, maka ia pun lekas menyimpan hasil tes tersebut tak diketahui lebih dulu sebelum Amara sendiri yang bercerita jika ia tengah hamil. Mbok Sri memang sangat dekat dengan Amara mengingat sudah 27 tahun ini menjadi asisten rumah tangga keluarga Respati. Dulunya wanita tua itu merupakan pengasuh Amara dari lahir hingga sekolah dasar. Kini hatinya serasa teriris melihat anak yang diasuhnya hamil hingga pingsan. Setelah menyingkirkan alat uji kehamilan beserta wadah dan beberapa barang yang dapat ditebak ke arah sedang hamil, Mbok Sri lekas memberitahu sang majikan jika putrinya tengah pingsan. “Tuan … Tuan Rendra … Nyonya Dian …” panggil Mbok Sri setengah memekik pada Rendra dan Dian yang sedang bersantai di teras untuk meneguk teh pada pagi hari sebelum beranjak ke kantor. Mereka berdua tampak berbincang-bincang serius tentang Amara. Berniat memperkenalkan putrinya itu pada anak sulung seorang konglomerat terkenal di Jakarta Pusat yang memiliki perusahaan minyak yang berkembang pesat di Balikpapan, Kalimantan Timur. “Iya, mereka harus berkenalan. Aku bisa mengatur pertemuan antara dia dan anak gadis kita, Amara. Putri kita kan cantik dan kaya pasti mampu menarik minatnya. Jika mereka berdua cocok, akan semakin menguntungkan keluarga kita. Perusahaan kita akan semakin besar,” ucap Rendra antusias yang memang berambisi menjodohkan putrinya dengan pria yang berasal dari keluarga yang lebih kaya dari keluarganya. Dian manggut-manggut. “Terserah Papa saja. Semoga saja mereka cocok. Kalau tidak ya kita nggak boleh memaksakan kehendak pada Amara,” balas wanita paruh baya itu bijak. Pembicaraan mereka harus terhenti ketika Mbok Sri datang tergopoh-gopoh dan hendak memberi kabar jika Amara tengah pingsan. “Maaf, Tuan, Nyonya, Non Amara jatuh pingsan di kamar. Mohon Tuan dan Nyonya segera menolong Non Amara,” rengek Mbok Sri yang mendadak berurai air mata. Ia tak tega melihat Amara yang sudah diasuh puluhan tahun itu tergeletak tak berdaya di atas lantai kamar. Mendengar ucapan Mbok Sri, seketika mata Rendra melebar. “APAAA???” pekik Rendra yang terlonjak beserta istrinya juga. “Maksud Mbok Sri, Amara mendadak pingsan begitu?” tanya Dian yang tampak cemas. “Iya, Nyonya. Mohon cepat diselamatkan. Takut kenapa-kenapa,” pinta Mbok Sri yang diangguki oleh kedua majikannya. Rendra dan Dian pun bergegas menghampiri Amara yang masih pingsan. Berusaha menyelamatkan anak perempuan mereka agar lekas siuman. Rendra pun melakukan pertolongan pertama dengan membaringkan sang putri terlentang di atas ranjang. Lalu menaruh bantal di atas kakinya agar berada lebih tinggi dari d**a dengan tujuan agar aliran darah kembali ke otak. Selanjutnya melonggarkan pakaian agar lebih mudah dan nyaman untuk bernapas. “Mbok, cepat ambilkan minyak kayu putih di meja rias Amara,” pinta Rendra. Wanita tua itu pun lekas mengambil minyak kayu putih di sana lalu memberikannya pada sang majikan. “Ini, Tuan,” sahut Mbok Sri yang kemudian dibuka tutup botolnya untuk didekatkan pada hidung Amara agar dapat dihirup hingga dapat siuman. Beberapa menit kemudian, Amara tersadar dari pingsan. Ia membuka mata perlahan-lahan lalu memandangi kedua orang tuanya yang terlihat lega ketika putri mereka bangun. “Syukurlah, kau sudah bangun, Ara,” celetuk Dian yang lalu memeluk putri bungsunya itu. Rendra kali ini angkat bicara. “Kenapa kau bisa sampai pingsan? Ada masalah apa?” tanya pria itu curiga. Amara tertegun sejenak. Perasaan campur aduk melanda dirinya. Ingin berkata jujur tentang hasil ‘dua garis merah’ di alat uji kehamilan atau tidak. Wanita itu merasa bimbang. Karena ini masih tes uji kehamilan pertama, ia ingin memastikan lagi besok hingga seminggu kemudian untuk meyakinkan kehamilan yang membuatnya frustasi ini. Ia pun memilih untuk merahasiakan hal ini lebih dulu. Apalagi jika tahu bahwa ayahnya adalah seorang pria berwatak keras dan disiplin. Bisa-bisa ia akan dihukum berat saat sang ayah tahu kalau Amara hamil di luar nikah. Wanita itu masih tak sanggup mengatakan hal ini terlebih dahulu. “Kenapa diam saja? Ada apa denganmu?” tanya Rendra lagi. Amara mendesah pelan lalu menjawab pertanyaan ayahnya. “Tadi kan, Papa tahu jika Ara dari apotek karena perut Ara sakit. Mungkin gara-gara itu Amara sampai pingsan,” jawab Amara berusaha memikirkan hal logis. Dian menyela ucapan putrinya. “Perutmu sakit? Sakit perut mulas atau menstruasi???” Deg. Mama tanya ini. Aku bukan mulas atau menstruasi, Ma. Kayaknya aku hamil … Keluh Amara dalam hati. Karena masih ketakutan dan belum siap untuk jujur, Amara pun terpaksa berbohong. “Mungkin menjelang menstruasi, Ma. Jadi sakit,” sahut Amara akhirnya memutuskan untuk menjawab seperti itu agar kedua orang tuanya tidak curiga. “Oh iya, kalau menjelang haid atau sedang haid memang perut sakit,” celetuk Dian. Rendra bersuara kembali. “Apa perlu Papa panggilkan Dokter untuk periksa kamu?” Amara langsung menggeleng. “Nggak usah, Pa. Ini sudah mendingan kok. Nggak perlu,” tolak wanita muda itu. “Ya sudah, kalau begitu. Kamu istirahat saja. Dan satu lagi, kamu harus siap-siap,” lanjut Rendra dengan raut muka antusias. Amara mengerutkan kening. “Siap-siap kenapa, Pa?” tanya Amara penasaran. “Beberapa hari lagi, Papa akan mengundang putra sulung teman Papa yang baru pulang dari Amerika. Namanya Tristan. Papa dan teman Papa ingin kalian berkenalan. Siapa tahu kalian cocok terus berjodoh,” ucap Rendra yang seketika membuat Amara tersedak ketika meminum teh hangat yang telah dibuatkan oleh Mbok Sri. Apa aku tidak salah dengar? Aku mau disuruh berkenalan dengan pria pilihan Papa? Apa jadinya jika mereka tahu kalau aku yang mau dijodohkan tapi sekarang sedang mengandung anak Bara Gandawasa??? Amara bertanya dalam hati. Kejadian hari ini sungguh mengagetkan dirinya. Pertama fakta yang menunjukkan dua garis merah dan kini rencana perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya dengan pria lain. Amara benar-benar tak mampu berkata apa-apa lagi. Jika menolak perintah sang ayah, ia bisa dimusuhi dan dianggap sebagai anak durhaka. Ia pun hanya bisa mendesah pasrah. Sementara itu di tempat lain, Bara tengah melajukan mobil untuk bergerak ke arah Apartemen Kalibata guna menjemput kekasihnya, Nadia. Hari ini mereka akan berangkat ke kantor bersama-sama. Dan seperti biasanya, pria itu rajin mengantar-jemput Nadia untuk sama-sama berangkat kerja mengingat wanita itu adalah sekretarisnya. Ia melakukan itu pun secara terang-terangan dan diketahui oleh kedua orang tua Bara yang selalu tak merestui hubungan keduanya. Namun Bara masih membantah sampai mendapat restu. “Maaf, Baby, sudah menunggu aku lama, ya?” tanya Nadia setelah masuk ke dalam mobil mewah Bara berjenis BMW 3 Series yang berwarna putih. Bara menggeleng. “Nggak kok, belum ada setengah jam. Wajar saja sih kan kamu itu wanita, jadi kalau dandan itu butuh waktu extra.” “Wah, Baby, kamu selalu mengerti aku,” sahut Nadia yang langsung memberi kecupan sekilas di bibir Bara. “Sekarang sudah siap kan, Sayang?” tanya Bara. Nadia manggut-manggut. Sepasang kekasih itu pun pergi meninggalkan Kalibata dengan menaiki mobil yang dikendarai oleh Bara. Mungkin kali ini mereka berdua masih bisa bersama-sama. Namun apakah setelah tahu jika Amara hamil anaknya dan meminta pertanggungjawaban dari Bara, akankah masih seperti itu? Hanya bisa menunggu reaksi Bara nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN