= = = = = Tiara = = = = =
Aku yakin, pasti tim HRD dan GA ini sengaja menempatkan mesin absen sejauh ini agar kami, para karyawan biasa ini, yang seharusnya tidak telat malah menjadi telat. Masalahnya, kan tidak efektif sekali. Di mana mana, mesin absensi itu terletak di dekat pintu masuk, agar seluruh karyawan yang melintas bisa segera absen di sana. Ini, letaknya malah berada di dekat ruangan HRD. Malah bisa dibilang letaknya cukup tersembunyi, kami serasa di ajak main petak umpet saat baru pertama kali masuk ke kantor ini karena harus mencari letak mesin absensi. Aku yang tidak mau kerepotan mencari cari, ya jelas bertanya saja pada yang ada agar lebih cepat. Beruntung saat masih baru kerja di sini, aku belum bertingkah untuk telat. Aku datang ekstra pagi, pagi sekali malah. Yaa namanya juga hari pertama masuk kerja kan, pasti mencari perhatian lah, biar gak dikira jelek jelek amat.
“Heh, anak setan!” Sebuah suara menggelegar saat aku baru saja memasuki ruangan tercintaku ini, yang seharusnya terasa nyaman karena jauh dari ruangan bos besar.
Aku menoleh, melihat ke meja sebelah, tempat si asal suara yang memanggilku sesuka hatinya. Apa barusan yang ia panggil? Anak setan? Minggu lalu ia memanggilku anak iblis. Aku sampai tidak hafal sebutan apa saja yang sudah disematkan lelaki itu untuk memanggilku sakingnya berubah setiap waktu.
“Apa sih? Gue abis sakit nih, baik baikin kek.” Aku menyahut dengan santai, seraya mengungkin tragedi sakitku minggu lalu.
Devon, rekan kerja sekaligus senior atau dibilang sebenarnya atasanku juga, melotot tajam ke arahku. Aku dapat mengerti apa yang ia pikirkan, yang segera di sambut cengiran olehku.
“Gue traktir marugame udon nanti siang, yuk Pak Devon kerja yuk.” Aku mendorong kursinya untuk mendekat ke arah meja milik Devon, mengembalikan posisi lelaki itu yang tadi sudah mendekat ke mejaku untuk memprotes aksi bolosku itu.
Aku sangat sadar, Devon pasti tau alasanku tidak masuk kemarin, meski aku sudah hide sosial media lelaki itu. Sepertinya trik yang aku sebutkan tadi tidak berlaku untuk Devon, jadi mari tambahkan, jika kalian ingin menerapkan trik tersebut, pastikan senior atau atasan kalian sudah cukup akrab dan mampu di ajak kerja sama. Seperti Devon ini contohnya.
“Gak mau udon, gue mau steak.”
Devan sialan! Dikasih pilihan traktir malah tidak tau diri. Padahal, gajiku sebulan jika dibandingkan lelaki itu sampai beda digit. Tapi jiwa ingin ditraktirnya serasa lebih besar dan tidak tahu diri.
“Tengah bulan, Dev. Kok lo tega sih memeras bawahan yang gak berdaya kayak gue?” Aku memasang wajah melas seolah menjadi warga termiskin di dunia.
Devon hanya menatapku malas. “Laki lo kaya, gak usah sok sok tengah bulan deh. Peras duit laki lo yang kaya raya itu aja dong. Lagi lo ngapain masih kerja sih, kan bisa tinggal selonjoran di rumah dan ngoleksi ART sebanyak banyaknya.”
Lihatlah Devon yang hiperbolis, yang selalu menganggap bahwa aku seperti Nia Ramadhani, yang menikahi lelaki kaya raya tujuh turunan. Padahal, yaa gak salah sih. Tapi gak sekaya keluarga Bakrie juga. Keluarga suamiku memang tergolong orang yang cukup berada, tapi gak sekaya itu juga. Masih dalam tahap wajar lah. Tapi gak tau juga sih, aku gak pernah menghitung jumlah harta Alex dan keluarganya. Ya, nama suamiku adalah Alex.
“Yang kaya kan laki gue, nanti gue dikira wanita gila harta kaya sinetron indosiar.” Aku kembali menyahut dengan sebal, seraya menyalakan komputer untuk memulai pekerjaan. Selagi menunggu, aku melihat sekeliling ruangan yang sudah mulai berdatangan. Lalu aku melihat ada satu meja di depanku yang masih kosong.
Meja tersebut memang kosong, tapi berdasarkan isu yang beredar, ada marketing baru yang akan menempati bangku tersebut. Sepertinya marketing itu masuk sewaktu aku liburan berkedok sakit kemarin. Penasaran, maka aku pun kembali menoleh pada Devon.
“Dev, Dev!” panggilku tanpa embel embel “Pak” atau “Kak” meski umur aku dan Devon terpaut sekitar lima tahun. Ya abis, Devon sendiri dulu yang meminta di panggil begitu, saat dia masih menjadi karyawan senior biasa tanpa jabatan apa apa. Sekarang kan jadi udah kebiasaan, susah juga jika aku memanggilnya dengan embel embel bapak. Yaa meski naik jabatannya tidak tinggi tinggi amat, dan tidak sampai membuatnya memiliki ruangan pribadi dan masih duduk di meja sebelahku.
“Apa, Ra?” Devon menyahut dengan malas, sambil membuka email satu per satu. “Kerjaan gue banyak banget nih gara gara lo bolos seminggu!”
“Sakit, Devon! Gak bolos!” Aku mengoreksi ucapannya.
“Iya iya, gara gara lo katanya sakit.” Devon mengoreksi ucapannya dengan nada masih tidak ikhlas, yang penuturannya pun masih belum menyiratkan bahwa aku benar benar sakit.
“Beneran sakit dong! Nih, surat dokter nih! Cepet acc dulu dong atasanku, yuk siang steak yuk.” Aku menaruh selembar surat dokter yang aku dapatkan file nya dari Devon juga.
Devon hanya meringis melihat file surat dokter darinya yang terus di pergunakan olehku setiap kali beralasan sakit. “Wah, gak sia sia yaa, Ra. Gue rekomendasiin lo ke dokter ini, cocok banget kayaknya, tiap berobat ke sini terus.” Devon mengambil pulpen dari wadah stationary yang terletak di samping komputernya, sambil mengatakan hal hal yang menyindiri diriku. Halah, pintar sekali Devon dalam urusan salty menyalty.
“Iya nih, dokternya hebat ya, Dev. Obatnya juga ampuh banget, gue jadi sakit Cuma seminggu doang, sekarang udah segera.” Aku meladeni ucapannya dengan santai dan tidak kehabisan akal. Yang dibalas Devon dengan bergidik ngeri.
“Iya, seminggu doang kerjaan lo banyak banget, b*****t!”
Aku nyengir lagi saat Devon mulai berkata kasar, karena geram melihat tingkahku.
“Sumpah! Lo berdua berisik banget, gue lagi online tadi. Customer ampe kaget lo nyebut b*****t ya, Dev!” Fitri, bagian keuangan yang ditempatkan untuk divisi ini, yang baru saja selesai online dengan customer, tampak mengeluh dengan keributak yang terjadi antara aku dan Devon yang membahas hal hal tidak penting.
“Heh, diem! Gue pulangin ke genk lo ya!” Devon membalas dengan mencatutkan genk keuangan yang memang menjadi divisi Fitri. “Penumpang gak boleh protes,” ledeknya lagi, seolah candaan tersebut memang sudah terbiasa terjadi di ruangan ini.
Aku hanya terkekeh geli melihat wajah Fitri yang keruh karena ucapan Devon, meski Fitri juga tahu bahwa ucapan Devon tidak serius.
“Tagihan lo yang seabrek gak gue bayar ya!” ancam Fitri, mengingat kepentingan diirnya berada di ruangan ini karena divisi kami yang memerlukan bagian keunagan khusus saking banyaknya invoice yang harus di bayarkan.