Mengantar Pesanan

1032 Kata
Aku menghubungi Ari via inbox media sosial ketika pesanannya sudah ready. Sebenarnya ini merepotkan, akan lebih praktis kalau pesanannya langsung dikirim ke alamat rumahnya saja. Ari tidak langsung membalas pesanku. Padahal aku ingin segera menyelesaikan semuanya. Makin cepat aku mengembalikan uangnya makin baik. "Pesanannya kok nggak dikirim sih, Va?" tanya Bayu saat lagi-lagi melihat barangku masih tersimpan rapi di pojokan ruang tamu. "Iya, customer-nya belum ngasih tau alamatnya," sahutku sembari terus mengutak-atik ponsel. "Kok gitu? Tapi dia udah bayar kan?" tanya Bayu dengan nada heran. "Udah sih, makanya aku jadi kepikiran terus." "Pembeli yang aneh," ujar Bayu sambil masuk ke kamar. Seandainya dia tahu siapa yang memesan baju-baju itu pasti akan ada banyak pertanyaan. Mungkin malah aku akan diinterogasi habis-habisan. Membahas Ari di depan Bayu itu sama saja memancing keributan. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Bayu mendekatiku dan duduk di sebelahku. "Geo udah tidur?" "Udah. Mas, jangan biasakan mandi malam bikin rematik." "Kan nggak sering juga." Kulihat dia merogoh saku celana yang dia kenakan, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari sana. "Aku udah gajian, Va. Tapi, bulan ini banyak libur dan kepotong cuti. Jadi, aku cuma bisa ngasih segini." Dia menyodorkan amplop coklat padaku. Memang ini tanggal berapa? Ah, aku lupa kalau ini sudah akhir bulan. Pantas saja persediaan beras sudah menipis. Kartu SPP Geo pun sudah dibagikan. "Terima kasih, Mas. Kebetulan beras udah mau abis," ucapku tersenyum kecil. Dan, langsung menyimpannya ke dalam buku panjang yang aku bawa. "Loh kamu nggak hitung dulu jumlahnya?" Aku menggeleng. Mengetahui jumlahnya setelah Bayu mengucapkan segala alasan yang mungkin saja membuat gajinya berkurang hanya akan membuatku tidak bersyukur. "Bulan besok, mudah-mudahan bisa lebih. Produksi kembali meningkat. Kemungkinan Minggu aku juga masuk," ucap Bayu. "Alhamdulillah. Kalau kamu lembur paling Geo yang protes karena nggak bisa main sama kamu." Aku terkekeh, membayangkan bibir mungil anak itu maju satu senti. "Enggak apa-apa. Nanti kamu aja yang ajak dia jalan-jalan." Bayu menggapai rambutku dan mengusapnya. "Kita tidur yuk." Aku mengangguk, lalu mengikuti dirinya memasuki kamar. Belum ada sepuluh menit kami merebah di atas kasur, Bayu sudah mengarungi mimpinya. Dadanya naik turun begitu ringan. Dia pasti sangat kelelahan setelah seharian bekerja. Aku baru akan memejamkan mata ketika sebuah notif pesan masuk. Mataku kembali melebar mendapati pesan itu dari Ari. Ari : Sori, Riva. Kamu udah tidur? Kapan kita bertemu? Kalau Minggu besok gimana? Aku menggigit bibir. Minggu besok Bayu bilang akan lembur, mungkin aku bisa bertemu. Tanpa banyak pikir lagi, aku mengiyakan ajakan Ari Minggu nanti. Ari : Boleh aku minta nomor teleponmu? Untuk mempermudah komunikasi kita. Seharusnya aku tidak menghiraukan permintaannya, tapi jariku malah mengetikkan angka-angka nomor ponselku, dan saat pesanku terkirim, aku merasa menyesal. "Kok Minggu Papa kerja sih?" tanya Geo saat kami sedang makan pagi bersama. "Iya, Sayang. Pekerjaan Papa lagi banyak banget makanya Minggu Papa masuk kerja,"sahut Bayu seraya tersenyum. Tapi tidak bagi Geo. Bibir anak itu mencebik. "Padahal aku aku mau main bola sama Papa." "Hari ini kamu main sama Mama kamu dulu ya." Bibir Geo masih saja mencebik bahkan sampai Bayu pamit berangkat anak itu masih saja memasang tampang kecut. "Kamu mau ikut Mama?" tanyaku tersenyum, menghibur anak itu. "Memang Mama mau ke mana?" tanya Geo menatapku dengan matanya yang bulat. "Mama mau mengantar pesanan itu," sahutku menunjuk plastik besar yang ada di pojokan ruang tamu. Geo kembali mencebik dan menunduk. "Cuma nganterin itu doang?" "Pulangnya Mama beliin kamu es krim deh. Mau ya?" Geo tampak menghela napas, lalu mengangguk. Sepanjang perjalanan menuju tempatku janjian dengan Ari, Geo tak hentinya mengoceh. Dia terus saja menanyakan ke mana kami akan pergi. Aku dan Ari janjian di kedai kopinya, yang katanya baru grand opening Minggu lalu. Ari sempat memintaku datang, tapi aku menolaknya. Hari itu Bayu ada di rumah, tak mungkin aku menghadiri acara itu. Aku turun dari angkutan bersama Geo, dan memastikan alamat yang Ari kasih benar. Sebuah kedai kopi, ini bukan kedai biasa. Kedai kopi dalam benakku itu warung pinggir jalan yang menyediakan aneka minuman kopi kemasan, tapi yang aku lihat adalah sebuah bangunan dua lantai dengan desain dan banner yang sangat menarik di depannya. Untuk beberapa saat aku mengerjap melihat penampakan yang Ari sebut kedai. Hingga tak sadar Geo menggoyang-goyangkan tanganku. "Ma, HP Mama bunyi tuh." Eh? Aku langsung merogoh tas dan mengambil benda persegi yang meraung-raung itu. Nama Ari muncul di sana. "Halo, Riva. Kamu di mana?" tanya Ari di sana. Aku mendongak dan menatap banner kedai di hadapanku. "Kayaknya aku di depan kedai kamu," sahutku ragu. "Iya, kah?" Dan, selang beberapa detik pintu kedai itu terbuka. Sosok Ari muncul dari sana. Dia menurunkan ponsel dari telinganya dan tersenyum menatapku. Langkahnya setengah berlari menghampiriku. Mataku mengerjap menyaksikan epiknya Ari berlari menghampiriku. Seolah gerakan slow motion, langkah kaki panjangnya membuatku tertegun sesaat. "Itu Om Ari, Ma!" teriak Geo, tangan mungilnya terangkat menunjuk sosok berbalut kemeja biru berpadu celana kain hitam. Entah memang Ari yang selalu berpenampilan rapi begitu atau bagaimana, setiap kali kami bertemu dia terlihat tampil sempurna. Dan aku otomatis membandingkan penampilan diriku sendiri. Aku selalu saja merasa terintimidasi dengan penampilan Ari yang sangat jauh berbeda dengan Bayu. "Riva, kenapa kamu nggak langsung masuk saja?" tanya Ari begitu sampai di depanku. Aku tersenyum canggung. "Aku takut salah masuk." Dan nyatanya memang kedai kopi Ari sangat jauh dari ekspektasiku yang terlalu sederhana. Ari terkekeh pelan. "Kan udah ada namanya. Kamu nggak lupa kan nama kedai kopiku?" Aku hanya meringis. Lelaki di hadapanku berjongkok dan mengsejajarkan tingginya dengan Geo, lalu menyapa anak itu. "Halo, Boy. Kita ketemu lagi." Dengan lembut Ari mengacak rambut Geo. "Apa kabarmu, Jagoan?" Geo tersenyum lebar. Matanya menyipit saat tersenyum. "Aku baik, Om. Jadi, customer Mama itu Om Ari ya?" Ah, aku memang tidak memberi tahunya terlebih dulu. Bukannya apa, aku takut akan ada banyak pertanyaan dari anak itu. Ari tersenyum lantas mengangguk. "Iya, Sayang. Ayo, kita masuk ke sana. Di sana ada banyak makanan enak. Kamu mau makan apa? Biar Om yang traktir." "Ada es krim enggak, Om?" tanya Geo dengan mata berbinar. "Ada dong. Om punya minuman cokelat yang di atasnya ada es krim-nya." "Mau, Om!" seru Geo girang. "Kalau gitu ayo ikut Om." Sebelah tangan Ari terulur yang langsung diraih oleh Geo. Bersamaan dengan itu Ari meminta tolong petugas parkir untuk mengangkut plastik besar yang aku bawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN