Duda

869 Kata
Malamnya aku kesulitan memejamkan mata. Masih mengingat ajakan Ari kemarin, untuk menemuinya. Haruskah aku menemuinya lagi? Ada hal penting apa yang ingin ia sampaikan? Ada suatu dorongan agar aku mengabaikannya saja. Namun, ada hal lain yang membuatku merasa penasaran. "Ma, kamu belum tidur?" suara Bayu terdengar serak di tengah lelapnya. "Ini sudah malam, Ma. Tidur, besok telat." Aku mencoba menutup mata tanpa membalas ucapan Bayu. Di kamar yang sengaja minim penerangan, kurasakan napas Bayu begitu teratur dalam lelapnya. Masih bisa kulihat samar wajah lelahnya, sebelum mata ini benar-benar terpejam. *** Aku berjalan menyusuri trotoar bersama Geo. Harusnya aku menemui Ari di kafe. Mungkin dia sedang menungguku. Namun, aku memutuskan tidak akan menemuinya semalam sebelum terlelap. Ada banyak pertimbangan yang aku buat. Salah satunya karena Bayu. Aku sama sekali tak ingin menyembunyikan sesuatu darinya. Perasaan bahagia yang kadang ikut bercokol mencoba merusak tatanan hatiku bilamana bersitatap dengan Ari. Aku tidak ingin itu terus terjadi. Aku dan Geo menghampiri penjual es krim yang tak jauh dari bangunan sekolah Geo. Anak itu merengek minta dibelikan es krim. Padahal aku sudah tak ingin berlama-lama lagi di sini. "Om Ari!" seru Geo tiba-tiba. Dan itu membuatku agak sedikit terkesiap. Mataku mengerjap, itu beneran Ari. Masih berpenampilan sangat rapi, kulihat dia melambaikan tangannya menuju ke arah kami. Aduh, bagaimana ini? Sedang si kecil Geo tampak berbinar dengan kedatangan lelaki itu. "Om Ari kok di sini? Mau beli es krim juga?" tanya Geo dengan polosnya saat Ari sudah sampai di hadapannya. "Enggak, Sayang. Om ke sini mau ketemu kamu dan ..." Ari melirik padaku. "Mamamu," lanjutnya. Aku segera menundukkan kepala. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran lelaki itu? "Bagaimana Geo, apa kita bisa pergi bersama makan di kafe sebentar?" tanya Arii menunduk, mensejajarkan matanya dengan mata kecil anakku. "Makan? Di kafe?" "Iya, kamu nanti bisa makan es krim dan kue pisang yang enak di sana." Mata kecil Geo berbinar. "Mau, Om!" Anak ini tidak tahu kalau perasaanku sedang tidak jelas seperti ini. Otakku terus berputar, mencari alasan agar bisa menolak ajakan Ari. Apa yang harus aku lakukan? "Bagaimana Rivana? Jagoanmu udah setuju sepertinya," tanya Ari berganti memandangku. Aku mengigit bibirku ragu. "Mas, aku nggak bisa. Aku harus mengantar Geo les," alasanku. "Oh ya?" "Mama, Geo kan les nanti sore." Well. Anakku sendiri yang berhasil menggagalkan penolakanku. Ari memandangku dengan senyum yang sulit aku artikan. "Hanya sebentar, Riva." *** Di sini aku sekarang. Di sebuah kafe yang kemarin Ari minta aku untuk datang. Sesekali aku menyeka mulut Geo yang belepotan es krim dengan tisu. Aku tak berniat memesan makanan apa pun saat Ari menawarkan. Hanya jus mangga yang akhirnya aku setujui sebagai tawaran Ari. "Ada apa, Mas? Kemarin kamu memintaku ke sini." Yang ditanya bukannya menjawab. Malah menatapku lekat. Apa ada yang salah? Aku rasa penampilanku tidak sekucel pas pertemuan pertama itu. "Mas?" Ari agak sedikit tersentak. Apa dia melamun? Rasanya aku buang-buang waktu saja duduk di sini. "Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan, aku dan Geo pulang saja." Ari menggeleng cepat. Mungkin sekarang dia baru sadar. "Nggak, Riva. Maaf. Aku mengganggu waktumu. Begini...." Aku masih mendengar ucapannya yang menggantung itu. Matanya seolah memikirkan sesuatu. Aku masih menunggu dia melanjutkan ucapannya. "Riva," lirihnya. Aku menyipitkan mataku, sebelum akhirnya membukanya lebar. Ari mengenggam tanganku. Refleks aku menarik tangan cepat. "Maaf, aku... Riva, aku nggak tau. Aku terlalu senang bisa menemukanmu kembali. Dan itu membuatku lebih semangat." Aku tidak tahu maksud ucapannya. "Apa maksudmu, Mas?" tanyaku bingung. "Riva, aku sampai sekarang tidak benar-benar bisa melupakanmu." Aku hampir bengong karenanya. "Aku belum bisa cari penggantimu. Aku nggak tau. Selama ini yang kupikirkan adalah sukses-sukses dan mencari kamu. Riva kamu tau, aku bisa seperti ini karena kamu. Memikirkanmu saja aku bisa menjadi seperti sekarang, bagaimana kalau kita hidup bersama. Please, Riva. Kali ini jangan tolak aku. Kembalilah padaku." Tahukah seperti apa perasaanku sekarang? Blank. Mataku masih sempat melirik keberadaan Geo di sampingku yang tidak peduli apa yang Ari katakan. Dia masih asyik menyantap kue coklat dan es krimnya. "Ka-kamu bicara apa, Mas?" tanyaku berusaha tenang. "Iya, aku ingin kamu kembali padaku lagi seperti dulu." "Kamu sadar apa yang kamu katakan?" "Aku sangat sadar, Riva." Matanya lurus menatapku. "Aku masih mencintaimu hingga detik ini." "Cukup, Mas. Semua udah berlalu. Aku sekarang sudah punya keluarga. Dan–" "Harusnya aku yang memiliki keluarga bersamamu. Bukan lelaki itu. Dia sudah merebut kamu dariku." "Nggak, Mas. Aku yang ninggalin kamu." "Tapi bahkan sekarang aku masih melihat sinar yang sama di matamu. Kamu masih mencintaiku 'kan?" "Nggak. Aku sudah lama melupakanmu. Aku sudah memiliki kehidupanku." Kupalingkan mukaku menghindari kontak mata dengannya. Aku tidak mau Ari melihat sesuatu yang lain di sana. "Apa kamu bahagia?" "Aku bahagia." Mataku jatuh ke Geo, anak itulah bukti kebahagiaanku. Ari mengangguk, dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Napasnya terhela panjang. Sejenak dia menundukkan pandang. Hanya sejenak sebelum dia menatapku kembali. "Tapi aku nggak bahagia." Dia menggeleng. "Bagaimana bisa? Kamu sudah punya anak istri, Mas. Ingat mereka." Lagi-lagi Ari menggeleng. "Aku memang menyayangi putriku. Tapi tidak dengan istriku. Setahun lalu kami bercerai." Aku sedikit terkejut. Cerai? Kenapa? Bukan kah pernikahan itu terjadi karena adanya cinta. Bahkan mereka sudah memiliki buah hati. Lalu bagaimana bisa Ari melakukan itu? Aku yakin, menjadi duda itu bukan pilihan yang tepat mengingat anaknya yang masih kecil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN