Ada seberkas cahaya yang mulai mengintip di sela-sela ia membuka kedua matanya. Karena tidak siap dengan silaunya, spontan kedua matanya buru-buru memejam kembali.
"Dia menutup mata?"
"Apakah dia tadi tidur?"
"Bukan kah selama hidupnya dia tidak pernah tidur?"
Di mana dia sekarang?" Pandangan matanya menyisir area di sekitarnya. Barang-barang di sana memang terlihat asing. Akan tetapi, beberapa di antaranya dia masih bisa menyebutkan namanya. Iya dia masih mengingatnya.
Ada sebuah benda yang manusia menyebutnya ranjang dan sekarang ia berada di atasnya, ada meja dengan berbagai tumpukan buku juga di atasnya, ada lemari, televisi, dan sebuah cermin setinggi kira-kira seratus senti meter tepat di sebelah ranjang tempat ia duduk sekarang ini.
Dia sudah belajar sejak kecil tentang kehidupan manusia, tentang barang-barang yang ada di dunia mereka maupun hal apa saja yang dilakukan manusia di dunianya. Bukan karena ia suka, melainkan karena dipaksa oleh keadaan. Dia harus tahu setidaknya hal dasar tentang seluk-beluk manusia, sebelum dia bersinggungan langsung dengan mereka.
Ia sempat mengerjap beberapa kali, sebelum detik berikutnya berteriak histeris saat pandangan matanya tanpa sengaja mengarah pada pantulan dirinya di dalam cermin yang tak jauh dari tempatnya berada.
Berlari ia pun mendekati cermin itu. Meraba-raba punggungnya lalu memutar tubuhnya beberapa kali saat dia tidak menemukan sayap kebanggaannya di sana. Simbol dari segala sumber ketampanannya telah menghilang.
Ini buruk! Benar-benar buruk! Ia menutup mata, menghitung sampai hitungan ketiga, lalu pelan-pelan membukanya kembali dengan tangan yang mulai bergetar.
"Tidaaak!!" teriaknya kembali, saat tetap saja dia tidak dapat melihat kedua sayap ada di punggungnya.
Dengan sekejap ia memasang kuda-kuda begitu pintu di belakangnya mulai bergerak. Ia mendapati dua pasang manusia di sana. Berlari tergopoh-gopoh dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
Mereka bisa melihatnya?
Yang perempuan berlari mendekat dengan wajah panik ke arahnya. Begitu melihat dirinya si wanita itu malah memukulinya dengan sapu yang saat ini dia bawa. Sapu yang lumayan memberikan efek di tubuhnya.
"Kamu ini ngagetin Mama saja. Gak tahu apa kalau orang tua itu gampang sekali jantungan!" omel si wanita yang sesekali masih saja memukulnya.
"Mama? Maksudnya aku anak kamu dan kamu Mamanya? Aduh!" mengaduh saat kembali sapu tadi meluncur tepat di bokongnya.
"Dasar anak kurang ajar!"
Kali ini dia mencoba menghindar dengan cara memundurkan badannya, begitu lagi-lagi sapu itu akan mengenai dirinya. Dengan segera ia mendorong tangan kanannya ke depan agar wanita itu terlempar jauh dari dirinya.
Tapi tunggu, kenapa wanita di depannya ini tidak bergerak? Ia tidak patah arang. Kembali ia mengulangi gerakannya. Akan tetapi tetap saja tidak ada hal yang berubah. Wanita di depannya ini tidak bergerak sama sekali dan bahkan malah melotot ke arahnya.
"Aduh!" Kali ini manusia di depannya itu memukul kepalanya dengan keras.
"Kamu mau ajak Mama berkelahi pagi-pagi gini? Sudah bosan hidup memang kamu!" sungut wanita tadi.
"Sudah-sudah jangan bercanda cepat kamu mandi, ganti baju. Ini sudah siang cepat mandi jangan banyak alasan!" Laki-laki berkaca mata yang dari tadi hanya diam mendekat ke arahnya. "Cepat sebelum penguasa empat elemen di bumi semakin marah." bisik laki-laki tadi sembari menepuk pundaknya setelahnya. Dia menenangkan sang wanita sebelum akhirnya keluar dari ruangan.
"Penguasa empat elemen? Dengan tampilan seperti itu? Dirinya kurang yakin."
Memang ada penguasa empat elemen memakai daster bolong-bolong seperti wanita tadi?
"Cepat Papa tunggu!" teriak laki-laki tadi dari luar. "Jangan sampai mamamu berubah jadi avatar! Aduh!" Bunyi keras terdengar setelahnya, bersamaan dengan laki-laki tadi yang menyebutkan nama avatar. Mungkin b****g laki-laki tadi bernasib sama dengan b****g miliknya barusan. Ia bergidik ngeri.
"Papa?" ucapnya.
Sejak kapan ia memiliki papa?
"Bruuuk!"
"Prang!"
"Gedubrak!"
"Aduh!" Dia seketika menoleh saat bunyi berisik terdengar tepat di belakangnya. Ia menghela napas, begitu melihat cupid bersayap tersungkur di lantai rumah tempat ia sekarang berada.
Dia tidak menyangka jika masih bisa melihat kelakuan absurd dari sahabatnya di tempat asing seperti saat ini.
Sahabatnya itu mengusap b****g sembari cengengesan ke arahnya. Walau tampak konyol, tetapi tidak apa-apa dia masih terlihat keren dengan sayap yang ada di punggungnya. Tidak seperti dia yang sekarang ini.
"Bagaimana sudah menyesal? Kamu benar-benar jadi manusia sekarang." Sahabatnya itu mengitari tubuhnya sambil mengusap-usap dagunya.
"Seratus persen manusia, bahkan kamu juga sudah tidak lagi memiliki sayap sekarang. Minta maaf saja dan akui kesalahan kamu, maka semuanya akan kembali seperti semula."
Dia hendak akan memukul sahabatnya, tetapi tangan miliknya malah menembus tubuh sahabatnya.
"Kamu itu manusia sekarang. Kamu tidak bisa menyentuhku seenaknya jika aku tidak mengizinkannya. Selain kamu, manusia lain bahkan tidak ada yang mampu melihatku. Kamu baru saja menjadi manusia dan kamu sudah lupa hal sekecil ini? Bagaimana sudah mau ikut pulang sekarang? Menyesal"
"Jadi manusia sepertinya bukan ide yang buruk," ujarnya berbohong. Bersikap selalu sok keren di hadapan sahabatnya.
"Ok kalau begitu." Sahabatnya tiba-tiba menepuk kedua tangannya dengan dramatis kemudian muncullah sebuah tulisan di hadapannya.
"Seratus kebaikan?" Pelan dia mencoba membaca tulisan itu.
Sahabatnya mengangguk. "Iya seratus kebaikan. Jika kamu mampu melakukan seratus kebaikan dalam waktu enam bulan maka kamu bisa kembali lagi ke atas, ke dunia kita. Tapi, jika kamu gagal maka kamu akan dikirim ke dunia bawah sebagai kelanjutan atas hukuman kamu."
"Dunia bawah?"
Itu sama saja memenjarakan dirinya seumur hidup. Karena barang siapa saja yang masuk ke sana mereka tidak akan bisa lagi kembali ke dunianya semula. Dunia bawah adalah dunia gelap tempat makhluk yang tidak pernah diterima keberadaannya.
"Aku ikut kamu saja sekarang."
Sahabatnya malah menggelengkan kepala sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya. "Ckckck ... tidak bisa."
"Tadi kamu bilang aku bisa ikut sama kamu?"
"Aku cuma asal bicara saja," balas sang sahabat diselingi tawa.
Sahabatnya tertawa? Apa dia tidak tahu jika sekarang ini dia begitu ingin sekali melemparnya sejauh mungkin jika dia bisa?
"Oh iya ada lagi ... kamu harus memasangkan benang merah kepada tiga manusia yang memiliki benang merah terpotong pada jari kelingking mereka."
"Hah? Mana ada?" Dia tidak pernah sekali pun melihat ada benang merah terputus selama dia menjadi cupid.
Sang sahabat menunjuk sebuah jam tangan yang tiba-tiba sudah terpasang di tangan kanannya. "Jika kamu berhasil melakukan tugas, maka nomor itu akan berkurang. Jika kamu mampu menemukan pasangan mereka yang memiliki benang merah terpotong itu, maka jam itu akan berbunyi."
Dia mengangkat tangan kanannya. Tertulis di sana angka seratus dan angka tiga di bawahnya.
"Ini konyol," ucapnya lirih.
"Lagian, kenapa cari masalah sih?"
"Kamu memang tidak pernah merasakan rasa bosan?"
Sang sahabat mengangkat bahunya. "Bahkan bagaimana rasa bosan pun dia tidak bisa mengetahuinya. Aku juga heran bagaimana kamu bisa merasakan perasaan benci kepada manusia?"
Entah, bagaimana caranya dia bisa merasakan perasaan itu semua. Padahal cupid tidak diciptakan untuk semua itu.
"Ngomong-ngomong dua manusia tadi siapa?" Dia baru ingat tentang dua manusia yang baru saja ia temui. Masih sebal dengan sikap salah satu manusia lainnya yang seenaknya sendiri memukul dirinya.
"Dia orang tua kamu. Manusia menyebutnya ayah, daddy, bapak, papa, papi, mami, bunda terserah kamu memanggilnya apa."
"Hah?"
"Dia punya orang tua?"
"Dia punya keluarga?"
"Apakah mungkin?"
"Sebenarnya anak mereka yang sesungguhnya telah meninggal begitu terlahir di dunia, jadi kamu sekarang yang menggunakan identitas anak mereka. Tenang semua sudah diatur."
Sahabatnya itu menjentikkan jari. Di sana ia dapat melihat foto-foto dirinya. Dari semenjak bayi, pertama kali dilahirkan, balita, dan bahkan sampai remaja seperti saat ini dengan berbagai tulisan di bawahnya.
"Itu profil kamu. Nama kamu Felix Aiden Nathaniel yang berarti anak laki-laki anugerah dari Tuhan yang selalu beruntung dan bersemangat."
"Beruntung? Dia tidak seberuntung itu," gerutunya. Nama yang konyol.
Selanjutnya sahabatnya itu menjelaskan semua tentang dirinya mulai dari tinggi badan, berat badan, kesukaan, hingga size sepatu tak luput dari penjelasan.
"Sekian yang dapat saya sampaikan saya izin untuk undur diri." Setelah menjentikkan jari, sahabatnya itu pun menghilang. Akan tetapi beberapa detik kemudian muncul kembali. "Tentang seratus kebaikan, syarat dan ketentuan tetap berlaku. Jadi kami berhak tidak mencatat kebaikan yang kamu lakukan jika menurut kami kebaikan kamu tidak patut untuk ditambahkan dipenilaian kami. Ingat hanya jika pasangan itu tepat maka benang akan terhubung." Sahabatnya itu kali ini benar-benar menghilang.
"Felix cepat! Papa keburu telat masuk kantor kalau masih saja nunggu kamu! Kamu benar-benar mau lupa sama kami? Sapu mamamu masih ada di dekatnya ini!"
Dia membuang napas. "Ok, namaku Felix sekarang dan aku adalah manusia." Berjalan ia memasuki sebuah ruangan yang manusia menyebutnya adalah kamar mandi. Hebat kan sampai hal seperti ini pun dia masih mengingat dan mengetahuinya.
"Yah ... manusia harus mandi, kan?”
Ia mengamati sebuah benda yang ada di atasnya. Dengan random dia menekan tombol yang ada di bawahnya. Berteriak histeris saat air yang terlalu panas mengenai sebagian tubuhnya. Untung saja dia masih sempat menghindar, jika tidak mungkin dia bisa menjadi manusia panggang saking panasnya.
Dia yang bernama Felix, terkekeh saat melihat pantulan dirinya di dalam cermin sedang menggosok gigi selayaknya manusia yang sering ia lihat sebelumnya. Walau dia juga sebenarnya tidak asing dengan kegiatan seperti ini juga. Karena diam-diam sebenarnya dia pun suka mengamati mereka yang biasa disebut sebagai manusia.
Dia suka dengan manusia? Nooo ... dia hanya sedikit iri.
Keluar dari kamar mandi, ia memakai seragam yang entah siapa yang telah menyiapkannya di sana. Pandangan matanya tidak sengaja melihat berbagai bingkai foto yang tertempel di dinding kamar. Foto-foto saat Felix masih kecil sampai berwajah seperti sekarang ini, benar-benar mirip dengan dirinya.
"Tidak menyangka jika mereka dia atas sana sampai sejauh ini melakukannya," gumamnya lebih kepada dirinya sendiri.
"Feliiiix!"
"Iyaaa!" balasnya sambil teriak. Ia memutar bola matanya. Semoga dia bisa terbiasa dengan suara-suara berisik ini selama dia menjadi manusia.