Bab 8. Bertemu Sir Aldric

1086 Kata
"Bi-sakah kau mundur?" Elena mendorong d**a Adam dengan jari telunjuknya. Ia bahkan menahan napas gara-gara tingkah pria itu. "Kau membuatku merasa tidak nyaman." Seraut senyum tipis tersungging di bibir Adam tepat sebelum ia menarik diri dan kembali duduk tegak di kursinya. Elena menghela napas lega setelah pria itu menjaga jarak darinya. Ia juga tanpa sadar menggigit bibirnya, sama sekali tidak tahu jika Adam memperhatikan apa yang sedang ia lakukan itu. Di balik topengnya, dekik senyum yang tak terlihat oleh Elena, menghiasi pipi Adam. Membuat dua cerukan dalam muncul di sana. Ia dan Elena tidak lagi berbicara setelah itu, hanya menghabiskan waktu dengan menikmati suara langkah kuda dan roda kereta yang bersentuhan dengan kerikil. Atau ... ketika kereta yang mereka tumpangi melewati jalan yang lebih rata. Cukup lama kesunyian itu mengisi ruang kecil di dalam kereta hingga kereta berhenti di depan gerbang besar rumah keluarga Light. Lampu-lampu minyak di sepanjang jalan bergoyang tertiup angin, menyoroti taman yang baru saja disiram embun malam. Adam turun lebih dulu, menunggu hingga Elena melangkah keluar dari kereta. Wajahnya terlihat sangat cantik di bawah cahaya rembulan, meski bentuk tubuhnya tertutupi oleh jubah panjang berwarna putih bersih. Tanpa mengatakan apapun, ia membuka sarung tangannya, lalu mengulurkan tangannya pada Elena untuk membantunya turun. Awalnya Elena hanya menatap tangan itu, lalu beralih ke wajah Adam yang tertutupi oleh topeng besi. Setelah itu, dengan sedikit canggung, ia mengulurkan tangannya. Meletakkannya ke atas telapak tangan pria itu. Telapak tangan itu terasa lembut, meski ada beberapa bagian yang sedikit kasar. Mungkin hal itu terjadi karena Adam sering menggunakan pedangnya, baik untuk berlatih ataupun bertanding di Arena. Kasar itu bisa ia pahami, tapi darimana kelembutan itu berasal? Bukankah Adam seorang b***k? Hidupnya pasti sangat keras, 'kan? "Terima kasih," ujarnya sungkan saat pria itu membiarkannya menginjak pahanya untuk turun dari kereta. "Anda tidak perlu berterima kasih pada pria kasar sepertiku, My Lady." Sambutan Adam terasa sangat dingin. Entah apa salahnya pada pria ini hingga pria ini selalu bersikap seenaknya padanya. Tidak hanya padanya, Adam juga melotot pada penjaga gerbang rumahnya. Membuat kedua pria yang berdiri menyambut kedatangannya—sontak mundur dengan wajah takut. "Jangan menatap mereka seperti itu," tegur Elena pelan, meski suaranya nyaris bergetar karena menahan kesal. Adam melirik sekilas. "Aku tidak melakukan apapun," katanya datar, tetap berjalan santai di samping Elena menuju pintu utama. Begitu mereka masuk, suasana rumah terasa berbeda. Hangat—seakan menggambarkan setiap orang yang tinggal di dalamnya. Beberapa pelayan yang belum beristirahat menunduk hormat pada Elena, lalu memperhatikan Adam dengan rasa ingin tahu yang bercampur waspada. "Dengar! Ayahku tidak suka kejutan." Elena berbicara setengah berbisik saat mereka melewati koridor panjang yang dindingnya dipenuhi lukisan leluhur keluarga Light. "Jadi ... tolong jangan banyak bicara nanti. Biar aku saja yang akan menjelaskan padanya tentang mengapa aku membawamu pulang bersamaku." Adam hanya berdehem pelan, berhenti sejenak di depan salah satu lukisan besar yang terdapat di dinding yang mereka lewati—lukisan seorang perempuan dengan mata biru lembut dan rambut pirang panjang. "Dia ... Ibumu?" tanyanya datar. Elena menganggukkan kepalanya. "Benar. Untuk seorang b***k, kau terlalu banyak ingin tahu," sungutnya. "Aku hanya menebak, lagipula wajah kalian sangat mirip." Elena menoleh pada Adam, tapi tidak mengatakan apapun. Lebih memilih melanjutkan lagi langkahnya sampai mereka tiba di depan pintu ruang kerja ayahnya yang terbuka. Ayahnya berdiri di tengah ruangan itu dengan memegang lentera di salah satu tangannya, dan perkamen di tangannya yang lain. Mantel panjang menutupi tubuh ramping ayahnya itu. "Mengapa Ayah belum tidur?" sembari bertanya, Elena melangkah ke arah ayahnya yang langsung memutar tubuhnya saat mendengar suaranya. Dengan matanya, Sir Aldric memperhatikan putrinya. Juga pria kasar yang berdiri tak jauh dari putrinya itu. "Apa ini, Elena? Mengapa kau membawa pulang seorang pria di tengah malam buta? Dari mana saja kau? Dan siapa dia!" tunjuk Sir Aldric gusar pada Adam. Elena menghentikan langkahnya, menelan ludah dengan sulit. Ia tahu hal ini pasti akan terjadi, ia sempat memikirkannya di dalam kereta saat di perjalanan pulang tadi. Ketika ia dan Adam sudah tak lagi berbicara. "Ayah, izinkan aku memperkenalkannya padamu." Elena menjeda kalimatnya sejenak, lalu berpaling pada Adam. "Ini Adam, Yah. Mulai malam ini, dia adalah Ksatria pertama keluarga Light." Ruangan itu sontak menjadi hening. Hanya terdengar bunyi detik jam besar yang berada di samping lemari buku. "Ksatria?!" mata Sir Aldric membelalak, menatap putrinya dengan wajah tak percaya. "Untuk apa keluarga kita membutuhkan seorang Ksatria? Oh, jangan katakan kau ingin seperti Ibumu. Tidak, tidak," gerutunya seraya menggelengkan kepalanya. "Ayah tidak ingin lagi melihat ada kematian di rumah ini." "Yah!" Elena mendekati ayahnya. Setibanya di hadapan Sir Aldric, ia langsung meraih tangan ayahnya itu yang sedang memegang perkamen. "Tolong dengarkan aku dulu. Aku menemukannya atas petunjuk dari Ibu," ujarnya setengah berbisik. Sir Aldric membeku. Tatapannya menelusuri wajah putrinya, dan sialnya, ia menemukan kejujuran di sana. Ia tahu, darah istimewa istrinya mengalir di diri Elena—darah penyembuh, dan juga darah seorang penyihir agung. Dan kini, hal yang ia takutkan dulu tampaknya akan terulang kembali. "Ibumu ... berbicara padamu?" Elena menganggukkan kepalanya, "melalui cermin. Aku juga sudah membuka buku milik Ibu." Wajah Sir Aldric seketika menegang. Ia tentu tahu apa arti ucapan putrinya itu. Dulu, istrinya memiliki tujuh ksatria cahaya, prajurit yang bersumpah melindungi sang penyihir agung. Tapi kekuatan itu pula yang membuat keluarganya diburu, rumah mereka dihancurkan, dan terakhir merenggut nyawa istrinya. Tatapannya lalu beralih pada Adam. "Dari mana putriku mendapatkanmu?" "Dia membeliku," jawab Adam singkat, "dari Colosseum." Elena menoleh pada pria itu, sementara Sir Aldric berdehem pelan sebelum menghembuskan napas kasar. "Colosseum?" ulangnya, kemudian berpaling pada putrinya. "Apa kau belum tahu kalau tempat itu bukan untuk wanita?" Elena menunduk malu. "Aku tahu, Yah. Tapi Ibu yang memintaku ke sana, dan aku melakukannya demi keluarga kita. Demi melindungimu." Suasana tegang memenuhi ruangan kerja Sir Aldric, hingga akhirnya sang empunya ruangan itu berpaling lagi pada Adam. "Baiklah," ujarnya pasrah, merasakan bahwa kemungkinan mendiang istrinya sudah memberikan pertanda melalui putrinya. "Kalau begitu, mulai sekarang kau akan bekerja pada keluargaku untuk melindungi putriku. Tapi satu yang harus kau ingat, b***k atau bukan, siapa pun yang berani menyentuh atau menyakiti putriku akan menanggung akibatnya!" Adam menunduk hormat dengan salah satu tangannya ia letakkan di dadanya. "Aku tidak akan pernah menyakitinya, My Lord." Namun, di balik kata-kata Adam yang tenang itu, menyisakan nada ambigu. Elena memejamkan matanya, menahan diri untuk tidak melempar pria itu dengan sepatunya. Dalam pikirannya, suara hatinya merutuk, 'untuk mengubah pria seperti itu, hanya cinta seorang wanita yang bisa melakukannya.' Lalu pikirannya menjawab sendiri dengan getir—jadi ... haruskah aku menggoda b***k sepertinya agar dia bersedia mematuhiku? Tidak akan! ia membuka matanya dengan sebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN