Bab 14

1294 Kata
“Gimana keadaannya?” tanya Dani menghampiri seorang wanita yang baru keluar dari ruang rawat inap bersama seorang anak dalam gendongan. Selang infus masih terpasang di satu tangan bocah itu. “Lukanya cukup dalem jadi harus dijahit,” balas Tata dengan raut penuh penyesalan. Beberapa puluh menit lalu Regan luput dari perhatian Tata saat wanita itu tengah melakukan panggilan telepon. Regan jatuh dari ranjang dan dagunya membentur lantai hingga menimbulkan luka dalam dan harus menjalani operasi kecil untuk menutup luka itu. “Kamu teledor banget, sih!” sungut Dani. Apa susahnya menjaga seorang anak? Pikirnya. Lagi pula Regan sedang dalam mode kalem karena panas tinggi yang anak itu alami sebelumnya. Terasa aneh jika tiba-tiba jatuh dari ranjang. “Mana aku tahu dia mau jatuh! Lagian aku ‘kan nggak cuma jagain Regan. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Tata membela diri. Memang benar, ia adalah pekerja paruh waktu yang dilakukan dalam jaringan alias online. “Salah, salah aja. Nggak usah cari-cari alesan.” Menurutnya Tata terlalu menyepelekan keadaan sang putra. Regan masih berusia dua tahun kurang tiga bulan. Seharusnya tidak ditinggal sendiri dalam ruangan. “Ya gimana? Aku lagi angkat telepon tadi. Nggak tahu, dong dia mau jatuh.” “Bikin masalah aja!” kesal Dani. Setiap kali diberi teguran wanita itu akan selalu mengelak. Merasa tidak bersalah. Kekesalan Dani belum hilang perkara Senja mengabaikannya ditambah sang istri tidak menjaga putranya dengan baik membuat kemarahan pria itu memuncak. “Kamu kenapa, sih, marah-marah terus?” “Kenapa?” Dani menggeleng tak percaya. “Gara-gara kamu aku jadi harus ninggalin kerjaan. Kamu pikir gimana penilaian majikanku jika aku nggak bisa profesional dalam bekerja?” “Majikan?” ejek Tata. “Majikan yang mana, Mas. Majikan yang kamu tiduri itu?” “Aku nggak suka kamu ngomong sembarangan tentang Senja.” “Ya elah, Mas, gitu aja marah. Salahnya di mana? Kan emang gitu kenyataannya.” Tata memang paling suka berdebat apalagi jika menyangkut Senja. “Lagian ini tuh udah malem, bukan lagi waktu bekerja. Kamu ‘kan bisa ijin karena Regan sakit. Masa, sih teman ranjangmu itu nggak kasih ijin.” “TATA!” teriak Dani. Ia tak terima dengan segala peringkat yang Tata berikan untuk Senja. “APA?” Dani menyentak nafas kasar. Tidak ingin berbicara lebih banyak pada wanita yang selalu membantah ucapannya. Meraih sang putra yang kini membuka mata karena perdebatan mereka, Dani membawanya dalam gendongan. Rasanya tak mungkin ia terus mengungkapkan kekesalan di hadapan bocah kecil itu. “Mana yang sakit?” tanyanya mengusap lembut pipi gembul Regan. Sementara Tata memperhatikan interaksi itu dengan sudut bibir mengembang. Tak apa Dani selalu bersikap acuh tak acuh terhadapnya yang penting perhatian pria itu untuk sang putra tidak pernah surut. “Ayah ke mana aja?” tanya bocah itu menggemaskan. Suara khas bangun tidur semakin membuat siapa pun yang mendengar ingin segera menciumnya. Gemas. “Ayah kerja, Sayang.” “Bukan kerja, ayah lagi nyari mama baru buat Regan,” bisik wanita itu mengundang reaksi lucu sang anak. “Mama baru?” tanyanya dengan wajah berbinar. Percayalah jika kamu dalam posisi Regan akan memberikan reaksi yang sama. Anak kecil akan selalu senang jika mendapatkan hal baru, tak terkecuali sosok ibu. Baginya pemberian adalah hal yang menyenangkan. “TATA!” Dani berdesis namun tegas. Pelajaran macam apa itu? Hanya orang tidak waras yang mengajak anak kecil membicarakan hal gila. “Regan belum pantes ngomongin hal seperti itu.” “Serius amat si, Sayang hidup kamu. Regan juga nggak ngerti, kok. Tenang aja.” “Aku cuma nggak suka kamu racunin pikiran dia yang masih bersih.” Tata mengedikkan bahu, detik kemudian meraih tangan Dani yang bebas. Membawanya dalam genggaman. “Aku rindu masa-masa kita dulu. Nggak ada amarah, yang ada cuma sayang, sayang, dan sayang,” ungkapnya menyunggingkan sudut bibir. Tidak ada yang menyadari di antara ruangan bercat putih itu seseorang memperhatikan dengan wajah sendu. Terlihat olehnya kebahagiaan yang terpancar melalui senyum mereka. Tanpa tahu ekspresi sebaliknya justru ditampakkan Dani. Senja iri. Kenapa itu tidak terjadi padanya? Kenapa Dani bersikap tidak adil padanya? Sedangkan dalam rahimnya bertumbuh benih dari pria itu. Benih yang akan dirinya sembunyikan demi membuat keluarga kecil itu tetap bahagia. Senja mengusap perut yang masih rata. Tanpa sadar lelehan bening mengalir melewati pipi. Mengingat sesaat sebelum nekat menyusul Dani ke kampung halaman ia mendapati dua garis merah pada alat tes kehamilan. Bahagianya kala itu. Besar harapnya bisa segera bertemu dan membagi pria itu kebahagiaan yang sama. Namun yang ia dapat justru sebaliknya. Bayangan kebahagiaan yang sempat mampir dalam angan sirna seketika. Harapan yang baru saja dilambungkan hancur begitu saja. Padahal Senja berencana memberitahu kedua orang tuanya tentang hubungan mereka. Kini yang tinggal hanya penyesalan. Tidak ingin ketahuan menguntit, Senja berbalik. Berjalan cepat menuju mobilnya terparkir. Duduk sejenak di kursi kemudi hanya untuk menikmati pertunjukkan selanjutnya yang terasa menyakitkan. Walau jarak mereka cukup jauh namun dari tempatnya duduk jelas sekali terlihat genggaman tangan mereka begitu erat. Seolah menunjukkan bahwa tidak ada yang sanggup memisahkan keduanya. Senja mengusap d**a yang terasa berpacu kencang. Detik berikutnya tangan itu membentuk kepalan dan memukul pelan dadanya. Berharap bisa mengurangi denyut yang semakin kencang dan menghimpit, menimbulkan sesak tak terkira. “Kenapa rasanya sesakit ini?” lirihnya mengantar kepergian keluarga kecil yang terlihat bahagia itu masuk dalam ruangan. “Jangan dipukul, sakit.” “Astaghfirullah!” Senja menoleh terkejut pada pria yang menyandarkan dagu di jendela samping kemudi. Salahkan dirinya yang lupa menutup jendela. Dipukulnya pelan kepala itu membuat si empunya mengaduh. “Heran, muncul di mana pun!” gerutunya kesal. “Lagian malem-malem bukan tidur malah keluyuran.” Morgan juga heran. Di mana kakinya melangkah di situ ada Senja. “Lo sendiri? Nggak ada kerjaan bolak-balik rumah sakit mulu? Atau jangan-jangan lo mau nginep lagi? Pingin di sini terus, gitu?” Luka tembak itu bahkan belum kering dan masih dalam balutan kasa pasca operasi. Namun seolah tak merasakan sakit pria itu beraktifitas seperti biasa. “Ck. Sepupu gue pemilik rumah sakit ini.” Tanpa rasa bersalah, Morgan memaksa masuk dan meminta Senja bergeser ke kursi sebelah. “Minggir!” “Apaan, deh? Aku mau pulang.” Senja menepis tangan yang hampir menyentuh pintu mobil. “Aku anterin.” Morgan berhasil masuk dan mendaratkan tubuh di kursi kemudi. Senja menggeleng. “Kamu baru aja bawa mobil aku, Morgan.” “Nggak masalah, paling ni mobil aku bawa lagi. Ngamuk, ngamuk si Langit.” Morgan meraih kunci bersiap menyalakan mesin mobil sebelum berseru, “Nggak baik buat hati lo ngintilin Dani mulu.” “Apaan? Siapa? Aku ... ngintilin Dani?” tunjuknya pada diri sendiri. “Ck, yang bener aja.” Senja menyembunyikan pandangan agar tak tertangkap tengah berbohong. Lagi pula dari mana makhluk menyebalkan itu tahu dirinya mengikuti Dani? Senja menatap penuh curiga. “Jangan bilang kamu nguntit aku.” “Iyyaaaah, nggak ada kerjaan banget.” Morgan memutar bola mata. “Motor gue tinggal ‘kan tadi? Nah, sebenernya gue mau ambil motor sekalian belanja, nggak ada apapun yang bisa dimakan di rumah. Maklumlah ... bujang. Eh, ada yang menarik perhatian,” kekehnya. Morgan urung menaiki motor sport-nya saat melihat Senja berdiri memperhatikan Dani. “Terus mobil aku mana?” “Di rumah, lah, gimana bawanya cobak?” “Aneh! Tahu gitu mending pake taxol aja tadi bis nganter aku.” Senja tak memprotes kata bujang yang terdengar menggelikan karena akan berbuntut panjang. Semua orang tahu Morgan adalah duda dari sahabat alias kakak iparnya, Rindu. Rumit, bukan? Morgan tak lagi menghiraukan ocehan Senja. “Saran aja, sih, jangan pernah lakukan sesuatu yang kamu sendiri tahu akan memberikan luka buat hati kamu.” Senja menggeleng tak ingin melanjutkan pembahasan. Seketika hening memeluk ruang. “Kamu ... nggak berniat jadiin aku kambing hitam, ‘kan?” tanya Morgan setelah beberapa saat diam, menodong sang gadis dengan sorot tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN