Sara Clayer #2

1041 Kata
Pada saat awal melangkah masuk ke dalam gedung semuanya seperti rumah pada umumnya. Atap yang tinggi menjadi pembeda tentu saja. Tembok dengan hiasan piagam, sertifikat, piala penghargaan, peta sekolah dan foto-foto siswa di dalam sekolah ini menggantung dengan cantik nan elegan. Kebanyakan foto pria yang ada disana. Foto perempuan hanya ada dua orang saja yang aku lihat. Sangat cantik menurutku. Lalu pada bagian di ujung lorong itu seperti sudah ada yang menantikan kedatanganku. Dua orang perempuan yang ada di foto tadi tersenyum ramah padaku. Entah apa yang membuat mereka tersenyum padaku. Hanya saja aku merasa aneh dan membalas senyuman mereka dengan tipis dan canggung. "Selamat datang di test masuk sekolah ini. Kami akan mengantarmu ke ruangan test untuk test pertamamu. Jangan tegang ya." kata perempuan berambut panjang bergelombang hitam dengan senyum manis di wajahnya Aku hanya tersenyum. Aku melirik ke perempuan satunya dengan tatapan biasa saja. Tidak tertarik atau mencemooh. Hanya menatapnya sebentar. 'sepertinya akan jadi anak sombong' Astaga, aku sempat terkejut karena pikirannya jahat dan kasar. Aku hanya tersenyum dan dia tersenyum balik walaupun aku tau itu, 'Fake smile.' kataku dalam hati Sebuah bunyi terdengar seperti tanda untukku menjalankan test pertama. Jujur di luar tadi aku tidak gugup tapi kenapa sudah ada di sini aku merasa gugup. Walau hanya sedikit. "Silahkan masuk. Ingat jangan tegang. Santai saja." ucap perempuan tadi yang tersenyum lembut Aku mengangguk kecil dan berjalan masuk di ikuti keduanya dari belakang. Mereka seperti mengawalku untuk pemakaman. Tidak. Tidak. Belum waktunya aku mati bukan? Yang pertama aku lihat adalah ruangan kaca dengan alat canggih yang pernah aku lihat hanya di film-film mata-mata menghiasi dinding kaca tersebut. Mata ku berkeliling menyisir apapun yang terlihat. Benar-benar canggih. Aku sempat mengagumi tempat ini. Kedua perempuan tadi menghadapkanku pada kaca dibagin depanku kali ini. Di bagian depan ku ada beberapa komputer yang membelakangiku. Dan juga seseorang tengah duduk dengan memegang dahinya. Kupikir ia bosan dengan pendaftaran yang tak kunjung selesai sejak dua hari lalu. Dan aku tidak tau apakah dia terus duduk disana sampai pendaftaran ini selesai. Karena setauku, masih banyak yang mengantri dibelakangku. Kedua perempuan tadi memasang alat yang seperti orang yang gagal dari sini bicarakan. Kabel-kabel dipasangkan di kedua pelipisku dan leher belakang di otot besarku. Rasanya dingin dan lembab. Ku kira tidak akan semenyakitkan yang dibicarakan orang-orang. Atau belum? Setelah kedua perempuan itu pergi seorang laki-laki di samping kiriku mengotak-ngatik alat transparan di tangannya. Aku melihatnya tersenyum tipis padaku. Tak lama kemudian rasa sakit menjalar di pelipisku. Tertusuk jarum. Mataku terpejam dan aku ingin sekali berteriak rasanya. "Aaaargh!!" erangku tertahan Pandanganku hitam gelap. Tidak ada cahaya sama sekali. Aku sempat mengerjap seolah mencari pegangan untuk melihat. Tidak lama dari itu satu titik mulai muncul di depan ku. Aku berlari mencapai titik cahaya itu. Mataku mengerjap lagi menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Lalu aku mulai melihat ayah yang sedang tertawa lepas melihatku jatuh di pangkuannya. Aku juga tertawa kecil melihat ayahku belepotan dengan kue tart yang tadi sempat aku oleskan di pipinya. Kami tertawa. Sangat bahagia. Dan hangat. Rasanya benar-benar senang. Melihat ayah tertawa dan melihat aku dipangkuannya. "Ini untuk putri kecil ayah," kata ayah lalu mencium keningku "Ayah menyayangimu." Aku tersenyum sambil memejamkan mataku. Saat mataku terbuka lagi. Apa yang aku lihat tadi itu memudar perlahan-lahan. Wajah ayah yang tersenyum sampai tubuhnya menghilang. Tanganku sendiri. Dan aku serasa di tarik dari sana. Mataku terpejam lagi. Kemudian saat aku membuka mata terlihat lagi ruangan kaca sebelum aku melihat ayah tadi. "Tunda orang yang masuk," suara berat yang berasal di luar ruangan kaca itu terdengar Apakah ada kesalahan sistem? Ruangan kaca terbuka sebelah kanan. Dua orang pria tegap memapah ku keluar dari ruangan kaca itu setelah melepaskan jarum-jarum di pelipis dan leherku. Lalu mendudukan ku di kursi dekat dengan ruangan kaca itu. Dan baru aku sadari, ruangan itu tidak terlihat dari sini. Yang aku lihat hanya bayanganku di cermin dengan muka lesu dan keringat di pelipisku. Menakjubkan. Bukan aku. Fasilitas disini benar-benar menakjubkan. Kupikir tadi Emma juga menunggu disini sebelum keluar dari gedung ini. Karena setelah keluar dari sana, pikiranku kosong dan tubuhku lemas. Mungkin Emma juga merasakan hal yang sama. Dua pria tadi masih menunggu ku. Tidak tau menunggu untuk apa. Salah satu dari mereka memberiku segelas air. Lalu setelah aku menerimanya keduanya pergi. Entahlah, aku tidak bisa mendengar apapun yang mereka katakan dalam fikirannya. Dan sepertinya telingaku akan bermasalah karena tadi sebelum program dihentikan dan hilangnya sosok ayah, telingaku berdengung keras. Ku rasa akan ada luka pada gendang telingaku. Mereka memakai sejenis baju berkerah. Celananya terdapat banyak saku entah untuk meletakkan apa. Mukanya tertutup topi dan masker khusus entah untuk apa. Apa aku terlihat berpenyakit sehingga mereka menggunakan masker dan topi? Lalu setelah kepergian dua pria tadi datanglah pria yang terlihat lebih muda dari mereka berdua. Tidak bermasker dan bertopi. Hanya memakai baju yang sama. Yang membedakan adalah celananya tidak memiliki jumlah kantong yang sama dengan yang tadi. Lebih sedikit. Dan aku rasa lebih ringan. "Sudah baikkan?" Tanyanya dengan suara bass yang membuatku merinding. Entah kenapa. Baru mendengar suara seperti itu menurutku. "Ya," suaraku keluar dengan lemas padahal aku sedang duduk. Aku dan dia sama-sama diam. Aku sudah tidak bisa fokus pada satu hal. Rasanya banyak sekali yang harus dipikirkan tapi aku tidak tau apa itu. "Bolehkan aku menuntun mu sampai keruangan Profesor?" Katanya lagi sambil mengulurkan tangannya Mau tak mau aku mendongkak untuk melihatnya. Ia berdiri dan aku duduk. Bukankah tidak salah aku mendongkak dan melihat wajahnya? Aku menegang di tempat. Wajahnya tampan. Senyumnya manis dan matanya indah. Oh kenapa aku jadi berfikiran seperti ini. Tertarik pada pandangan pertama, huh? "So?" Katanya membuat aku mau tak mau menggelengkan kepala untuk menjauhkan pikiran aneh semacam tadi "Why?" Katanya tak mengerti lalu menurunkan badannya dan berjongkok di depanku. Aku rasa dia salah paham padaku. "Maksudku, ya silahkan." "Untuk?" Ah dia benar-benar salah paham "Menuntunku," dia tak bergeming, "ruangan Profesor?" Lalu dia tersenyum dan menegakkan kembali tubuhnya. Mengulurkan tangan dan mengajakku berdiri. Aku menjawab uluran tangannya. Ia mengenggam tanganku dan menuntunku ke sebuah ruangan di ujung lorong lainnya. Tidak ada pembicaraan apapun. Dia fokus di jalannya. Dan aku memperhatikan sekitar. Lorongnya sama saja seperti lorong yang sudah aku lewati sebelumnya. Hanya saja lorong itu bertembok polos dengan gaya elegan dan menawan. Dan satu lagi yang membedakan, tanganku ada yang menggenggam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN