CINTAMU, KALAH BESAR

1056 Kata
'Apa yang lebih menyakitkan daripada sakit hati? Dibahagiakan oleh sebuah dusta.' Pagi itu Jakarta bersinar cerah, cahaya matahari menembus jendela besar mansion Vin, menari di lantai marmer yang mengilap. Tapi kehangatan itu terasa hambar, seakan udara sendiri menahan napas, menunggu sesuatu yang salah terjadi. Dami menuruni tangga dengan langkah tergesa, gaun panjangnya bergerak mengikuti irama langkah, rambutnya tersapu cahaya pagi. Mata para pelayan menatapnya dengan heran, bisikan kecil terdengar di udara—seolah mereka menebak sesuatu, tapi takut untuk bertanya. "Kakak, kenapa kau terburu-buru?" tanya Vin, suara tenang sambil menggenggam cangkir kopi hangat. Ujung bibirnya bergetar, nada ketegangan samar terasa, menahan sesuatu yang tidak ingin ia akui. "Astaga! Aku harus segera terbang ke Paris! Kau tahu betapa sibuknya aku. Di mana Kinara? Aku belum sempat menemuinya sama sekali. Jangan bilang kau mengurung istrimu, Vin Mandala!" bentak Dami, matanya menatap tajam menembus d**a Vin, seperti menuntut jawaban yang tak bisa ia hindari. "Diam… Kinara tentu saja kelelahan. Bukankah kalian selalu menagih seorang bayi dariku?" cibir Vin, nada dingin mengiris udara. Kata-katanya seperti pedang, tapi tidak mampu menenangkan hati yang tercekik. PLETAK!!! Tangan Dami mendarat keras di kepala Vin, rambutnya terhambur ke samping. "Astaga! Kau kasar sekali," keluh Vin, tapi Dami hanya tersenyum penuh kemenangan, seperti ratu yang menang atas ksatria yang kalah tanpa perlawanan. "Astaga, kau masih saja manis, Vin," ucap Dami, kata-kata itu menempel di telinga Vin seperti racun. Hatinya berdentum kencang, darahnya panas. Dami tertawa kecil, puas. Sebuah kemenangan sederhana, namun menusuk lebih dalam daripada apa pun. "Sudahlah, sampaikan salamku pada Kinara, Vin. Dan ingat… jaga istrimu dengan baik!" lanjut Dami, mengacak rambut adiknya sekali lagi sebelum melangkah ke ruang depan, meninggalkan Vin yang masih terpaku, menelan kehangatan yang ia benci sekaligus rindukan. Vin duduk perlahan di kursi berlapis kulit, menempelkan punggung ke sandaran. Matanya menatap cangkir kopi yang kini terasa hambar, aroma pahitnya menyerap ke seluruh indera, tapi tak mampu mengusir bayangan Hana, rahasia pernikahannya, dan Kinara yang seharusnya ada di sisinya. Bayangan demi bayangan masa lalu menari di kepalanya—tawa Kinara, senyum Hana, kata-kata yang tak pernah sempat ia ucapkan. Rasa bersalah menekan d**a, seperti batu besar menahan napasnya sendiri. Vin menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan rasa bersalah dan penyesalan itu. Ia menutup mata sesaat, membiarkan sunyi menyelimuti diri, lalu bangkit perlahan dari kursi. Langkahnya menapaki lantai marmer, suara sepatu bergema di koridor, tapi rasa sakit itu tetap tinggal, membayangi setiap detik pagi yang cerah itu—pagi yang seharusnya hangat, namun kini dingin dan menusuk. --- Satu jam setelah kepergian Dami, Vin berdiri di sudut kamar tidur mereka, menatap lama foto dirinya dan Hana yang tergantung rapi di dinding. Cahaya menyelinap melalui jendela, memantul samar di permukaan bingkai, seolah menyoroti senyum Hana yang lembut. Vin menatap foto itu dengan wajah datar, tanpa ekspresi, namun di dalam hatinya bergemuruh ribuan perasaan. Rindu, bersalah, dan penyesalan bercampur menjadi satu, membeku dalam diam. Tatapannya kosong, tetapi matanya menahan badai yang tak bisa ia lepaskan. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan semua yang terasa—hanya kesunyian yang menemani. [‘Kakak Ipar! Apa yang kau lakukan di sini! Bukankah…’ Vin terhenti, kata-katanya menggantung di udara ketika matanya bertemu dengan pandangan Rasya yang penuh permohonan dan kesedihan. ‘Aku mohon, maafkan aku, Vin. Tapi bisakah kau melakukan sesuatu untukku?’ suara Rasya bergetar, membuat Vin menatapnya lebih lama, saat ia masih memeluk seorang wanita dalam pelukannya. ‘Jaga dia untukku, jaga dia untukku… cintai dia seperti aku mencintai kakakmu. Maafkan aku… maaf aku tak bisa memenuhi harapanmu, atau keluargamu. Maafkan aku yang menghancurkan kakakmu begitu dalam. Vin… aku mencintai wanita lain, tapi aku memilih bersama kakakmu karena pria yang dicintai Hana bukanlah aku… melainkan Julian… Julian Perez.’ Ucapan Rasya menusuk Vin seperti pisau, ia mengepalkan tangannya sampai urat-urat di lengannya menegang. ‘Kau boleh membunuhku, kau boleh menghancurkanku… tapi berjanjilah, berjanjilah kau akan menjaga Hana untukku,’ lanjut Rasya, matanya memohon dengan hati yang hancur. ‘KAU!’ Vin baru saja ingin melangkah, tapi tubuhnya terhenti—Julian berdiri di belakang Rasya, wajahnya datar, dingin, tanpa ampun. ‘Kau pernah berjanji padaku, Rasya Pangestu! Jika kau akan memperlakukan Dami dengan baik, dan sekarang kau mengingkari janjimu… Pergilah… pergilah ke neraka!’ Suara Julian tajam, lalu ia mengangkat pisau dan menusukkannya tepat di kepala Rasya. Jeritan terakhir Rasya terhenti seketika, darah memercik, tangan Julian ternodai, dan matanya menatap Vin tanpa sedikit pun empati. ‘Apa kau akan menjaga wanita itu, Vin? Atau kau akan melenyapkannya sama seperti b******n yang meninggalkan kakakmu? Lihat… aku hanya memancingnya keluar dari sarangnya, untuk melihat siapa yang dia pilih: Dami atau wanita itu.’ Julian menunjuk Hana yang terbaring pingsan, beberapa jam lalu diselamatkan Rasya dari rencana lelang mengerikan Julian. Vin terdiam, hatinya hancur berkeping-keping. Rasya telah menyelamatkan kakaknya… dan kini, permintaan terakhirnya menekan Vin dari segala sisi. Dia harus menjaga Hana… namun, di sisi lain, wanita itu adalah sumber semua kekacauan, alasan penderitaan kakaknya. ‘Julian! Seharusnya kau tak melakukan ini pada Rasya!’ bentak Vin, suaranya pecah antara marah dan putus asa. ‘Lalu bagaimana kau akan melihat kakakmu hidup bersama pria yang tak mencintainya? Raganya dimiliki Dami, tapi hatinya milik wanita lain. Kau tentu tahu, aku mencintai Dami, dan aku tak bisa melihat wanita yang kucintai terluka karena b******n tengik itu!’ Julian meluapkan amarahnya, matanya menyala dengan obsesi dan rasa kepemilikan yang mematikan. ‘Tapi Hana mencintaimu!’ teriak Vin, hampir memecahkan kesunyian yang menegangkan. ‘Cinta? Kau pikir itu nyata? Cinta yang dimiliki Hana padaku hanyalah fatamorgana. Dia menjadikanku obsesi, bukan pria yang dicintainya. Jika dia mencintaiku, dia tak akan mengejar dengan cara murahan… tapi dengan cara berkelas.’ Kata-kata Julian membuat Vin berhenti, kebenaran pahit mengenai Hana menempel di hatinya. ‘Jika kau ingin menikahi wanita itu, silakan… bukankah kau ingin melupakan Kinara? Jangan munafik, Vin Mandala. Kau menjadikan dirimu bodoh. Kau mencintai Kinara, tapi tak bisa memaafkannya. Kau tak mencintai Kinara sebanyak Kinara mencintaimu,’ lanjut Julian, menatap Vin dengan tajam, menusuk ego dan rasa bersalahnya. ‘Julian!’ Vin melangkah maju, ingin menghentikan pria itu dengan tangannya sendiri, tapi Julian hanya menggeleng, dingin, penuh kendali. Vin menggendong Hana dalam pelukannya, meninggalkan Julian yang berdiri terpaku. ‘Vin… jangan sesali keputusanmu nanti. Apa yang pergi pasti memiliki alasan. Kau akan mengerti. Dan ketika saat itu tiba… jangan pernah bilang kau menyesal.’ Setelah itu, Julian memerintahkan anak buahnya membuang mayat Rasya ke jurang. Kuasa dan kekejaman Julian terlihat jelas; ia mampu menutup semua jejaknya dengan mudah.]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN