CINTA ATAU KEBODOHAN?

1076 Kata
Vin menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah mansionnya. Tangga itu panjang—lebih panjang daripada biasanya—seolah bangunan megah itu sengaja memisahkan dunia atas yang penuh cahaya dengan dunia gelap yang ia sembunyikan di bawah. Langkah Vin terdengar berat, namun setiap hentakannya memancarkan ketegasan dingin yang sudah melekat dalam tubuh pria itu. Ia memastikan Hana—yang sedang sarapan di lantai atas—tidak menyadari ke mana ia pergi. Hana tidak boleh tahu apa pun tentang ruangan di bawah ini. Tidak boleh tahu siapa yang tinggal di sana. Tidak boleh tahu masa lalu Vin yang ia kubur hidup-hidup. Lorong menuju pintu bawah tanah diterangi oleh lampu-lampu kecil yang temaram. Cahaya kekuningannya memantul di dinding beton, menciptakan bayangan panjang yang bergerak bersama tubuh Vin. Udara di sana dingin, lembab, dan mencekam—seperti ruang yang tak pernah disentuh matahari. “Melelahkan…” gumam Vin sambil mengusap tengkuknya. Ia baru saja meminta izin kepada Hana untuk menambah satu pelayan. Pelayan khusus. Pelayan yang sebenarnya bukan pelayan—melainkan tahanan emosionalnya. Tidak lama kemudian, Vin berhenti di depan sebuah pintu logam berwarna putih gading. Dari dalam, samar-samar terdengar alunan piano. Lagu itu… Jantung Vin berdegup pelan namun keras. Lagu itu adalah lagu pertamanya—lagu yang dikenalkan seorang gadis yang dulu mengisi hari-harinya. Gadis yang dulu ia panggil sahabat. Kini gadis itu hanya nama yang ingin ia hapus dari hidupnya. Ia memutar kenop pintu dan membukanya tanpa mengetuk. Cahaya lembut dari taman kecil bawah tanah menyambutnya. Taman itu adalah ruangan paling indah di mansion ini—atapnya kaca temper tebal yang menahan beban kolam berisi ikan mahal di atasnya. Air kolam berkilau, memantulkan sinar matahari yang menembus masuk hingga menyerupai bintang-bintang kecil yang jatuh ke tanah. Aroma bunga melati mengambang pelan di udara, bercampur dengan aroma tanah basah dan cahaya yang menyeruak ke dalam. Di tengah taman itu, di samping piano putih, duduk seorang wanita. Kinara. Matanya terpejam, jari-jarinya lincah menari di atas tuts piano. Nada demi nada mengalir begitu lembut, seolah ruangan itu adalah satu-satunya dunia yang bersedia mendengar suaranya. Rambut panjangnya jatuh ke bahu, wajahnya tampak damai—damai yang tidak pernah ia rasakan di hadapan Vin. Seulas senyum terbit di bibir Vin. Sebentar saja. Kilatan senyum yang mengingatkannya pada masa lalu. Namun detik berikutnya, wajahnya mengeras. Amarah mengambil alih. “Sial… aku tidak boleh membiarkan dia bebas begitu saja.” Pandangan Vin menjadi gelap. “Ia penyebab semuanya,” bisiknya, suaranya lebih seperti racun. Ia melangkah cepat menuju piano. “BERISIK!” Suaranya meledak, memecah ketenangan ruangan. “Jangan pernah mainkan lagu itu lagi, p*****r!” Kinara tersentak. Jemarinya membeku di atas tuts. Ia membuka mata perlahan, menatap Vin dengan senyum kecil yang dipaksakan—senyum yang berusaha melindungi dirinya dari kehancuran. “Maaf… aku tidak tahu kalau kau akan datang,” ucapnya. Suaranya goyah. Vin mendekat. Wajahnya hanya sejengkal dari wajah Kinara. “Kau akan melayani Hana. Dia istriku. Wanita yang kucintai. Dan satu-satunya orang yang layak mendapatkan hidupku.” Dunia Kinara runtuh. Begitu cepat, begitu hening, begitu mematikan. “H-Hana?” suaranya pecah, hampir tak terdengar. Vin tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia meraih rambut Kinara dan menariknya kasar. “Akh—!!” Kinara menahan teriakannya. Matanya memanas, tubuhnya membungkuk mengikuti tarikan itu. Vin mendekatkan wajahnya ke telinga Kinara. “Dengar baik-baik.” Nafasnya panas. Nadanya dingin. “Hanya kau dan para pelayan yang tahu tentang Hana. Jika keluargaku atau keluargamu sampai tahu… kau selesai.” Kinara menggigit bibir. “Sakit… lepaskan, Vin…” “BERSUMPAHLAH!” bentak Vin. “Bilang kau tidak akan buka mulut!” Kinara memejam erat. Tangannya mengepal. Tubuhnya gemetar. Namun suaranya tetap lembut… karena cintanya bodoh. “Aku… aku berjanji.” Vin melepaskannya. Beberapa helai rambut jatuh ke lantai. Kinara terhuyung, menahan keseimbangan dengan tangan gemetar. Vin memungut helai rambut itu, menyalakan korek. Kesetiaan Kinara terbakar bersama rambut itu. “Menjijikkan. Putri Grup Wijaya tapi tidak punya harga diri.” Bau hangus menyebar. Kinara menunduk dalam. Air mata jatuh satu per satu ke tanah taman yang lembut. “Akan menyenangkan melihatmu mati dibakar,” ucap Vin datar. “Mungkin anjing-anjingku akan menyukai dagingmu.” Kinara menutup mulut, menahan isak. Tubuhnya bergetar tak terkendali. “Mulai hari ini,” lanjut Vin, “kau melayani Hana Mandala. Jika dia tanya siapa namamu, bilang saja kau pelayan baru. Dan cari nama yang pantas untuk… p*****r sepertimu.” Vin berjalan menuju pintu. Ia berhenti sejenak, menoleh dengan senyum paling sinis yang pernah dilihat Kinara. “Sore ini kita pergi ke rumah orang tuaku. Beraktinglah bahagia. Pakai pakaian mahal. Dan jangan mempermalukanku.” Pintu tertutup. Kepergiannya menyisakan keheningan. Kinara jatuh berlutut. Di antara bunga-bunga yang wangi, ia terlihat seperti boneka patah—rapuh, remuk, dan sendirian. --- Hana tersenyum lembut di meja makan. Gaun sederhananya tampak cantik berpadu dengan cahaya matahari yang menembus tirai ruang makan. Para pelayan berdiri rapi di sisi ruangan, tetapi semuanya menunduk hormat begitu Kinara memasuki ruangan. Kinara berhenti di ambang pintu. Pandangannya langsung tertarik ke meja makan. Di sana—Vin. Duduk di samping Hana. Tersenyum. Tertawa kecil. Menyuapi wanita itu dengan hati-hati, seolah takut membuatnya kesulitan. Tangan Kinara langsung gemetar. Itu… cinta. Cinta yang pernah ia harapkan. Cinta yang pernah ia bayangkan Vin miliki untuknya. Dan kini cinta itu ia lihat ada di depan matanya—namun bukan untuk dirinya. “Ah, Hana sayang,” ucap Vin lembut, “pelayan pribadimu sudah datang.” Kinara menahan napas. Tatapan Vin beralih kepadanya—tatapan dingin yang berbeda 180 derajat dari tatapan lembut yang ia berikan pada Hana. “Pelayan baru,” ucap Vin. “Mulai hari ini, kau akan mengurus Nyonya Hana Mandala.” Hana tersenyum. “Apakah dia masih muda, Suamiku?” Vin mengangguk. “Ya, dia masih muda, Sayang. Dia akan menemuimu sepanjang pagi. Dan aku sudah menghubungi Diana dan Jessica. Mereka akan datang.” Lalu tatapannya kembali ke Kinara. Mengejek. Meremehkan. “Aku berangkat kerja,” ucap Vin manis pada Hana. Ia mencondongkan tubuh, mencium kening istrinya—ciuman lembut yang membuat bahu Hana mengendur penuh nyaman. Vin memeluknya sebentar, penuh kasih. Kinara menatap adegan itu dengan mata yang bergetar. Dadanya seperti diremas dari dalam. Napasnya tercekat. “Aku mencintaimu, Hana,” ucap Vin. Hana tersenyum. “Aku juga mencintaimu, Suamiku.” Vin berjalan pergi… tapi sebelum benar-benar keluar, ia sempat menoleh ke arah Kinara. Tatapan dingin. Tatapan menang. Tatapan yang berkata tanpa suara: 'Kau kalah. Selalu kalah.' Kinara berdiri di sana—tanpa suara. Tanpa kekuatan. Hatinya seolah dihancurkan berkali-kali dalam satu napas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN