Chap 11

1184 Kata
Damian bangun dengan kepala serasa dihantam palu. Matanya mengerjap melihat langit-langit kamar yang terasa asing baginya. Kepalanya berputar ke sisi kanan dan kiri.Sepertinya ini kamar perempuan. Ia mencoba duduk bersandar di ranjang. Menahan kepalanya yang hangover parah. Saat itulah dia menyadari dirinya ... Telanjang? Bagaimana bisa? Aku di mana? Pintu kamar terbuka dan seorang wanita cantik tersenyum padanya. “Guten Morgen.” Damian mengernyit. “Giselle??” “Ya, ini aku. Kau merindukanku?” “Kenapa aku di sini?” Damian tidak mengindahkan pertanyaan Giselle. Bagaimana bisa dia berada di sini? Bersama Giselle dan... telanjang? “Minumlah, kau pasti pusing.” Giselle menyerahkan segelas jus jeruk dan dua butir advil. “Jadi kenapa aku bisa di sini?” tanya Damian lagi setelah meminum advilnya. Giselle mengangkat bahunya enteng. “Kau mabuk. Dan kita bertemu di bar. Lalu kau memaksaku membawamu pulang bersamaku dan...ya...” jawab Giselle enteng sambil dagunya menunjuk badan Damian yang telanjang dan hanya tertutup selimut dari perut kebawah. Shit! Gara-gara minuman itu aku sembarangan menyebar benihku! “Maafkan aku. Aku tidak mengingat apapun.” Giselle tersenyum dan mendekati Damian. Merangsek di pangkuannya. Kedua tangannya merangkul leher Damian. Damian menyingkirkannya dengan tidak nyaman. “Tadi malam luar biasa,” bisiknya sensual sambil mengecup leher Damian. “Giselle, hentikan ...” Namun wanita itu tak berhenti. Bibirnya terus mengecup leher dan d**a Damian. “Giselle! Hentikan kubilang!” bentak Damian marah. Dia menurunkan Giselle dari pangkuannya dan bangkit dari tempat tidur lalu memunguti pakaiannya. “Kau mau ke mana?” “Pulang.” Giselle bangkit dan memeluk pinggang Damian. “Aku merindukanmu.” “Giselle, sudahlah, kita sudah berakhir bertahun-tahun lalu.” Damian melepaskan kedua tangan Giselle dari pinggangnya. “Tetapi aku masih mencintaimu. Aku merindukanmu. Aku tidak bisa melupakanmu.” Cih...dasar jalang! “Tetapi aku tidak merindukanmu!” ucap Damian tegas sambil keluar dari kamar Giselle. Lurus terus keluar dari apartemen. Damian memijit hidungnya dan memejamkan matanya. Kepalanya bersandar di jok taksi yang akan membawanya pulang. Giselle Isabelle Mueller. Dulu, Damian pernah berhubungan dengan perempuan itu. Bertahun lalu saat mereka masih kuliah. Damian sangat mencintainya. Giselle adalah keindahan. Wajahnya sangat cantik dengan mata hijau dan bibir seksinya. Badannya sintal dengan p******a yang penuh. Siapapun akan menelan ludah setiap melihatnya. Tak terkecuali Damian. Dia sudah jatuh cinta padanya sejak pertama kali melihat gadis yang disebut-sebut sebagai gadis tercantik di kampusnya itu. Beruntung Damian tampan dan kaya hingga bukan hal sulit mendekati Giselle yang memang hanya mau dekat dengan pria kaya. Ketiga sahabatnya sudah mengingatkannya jika Giselle bukan gadis baik-baik. Gadis itu hanya memanfaatkannya, tetapi Damian tidak peduli. Cinta itu buta kan? Dan orang buta tak bisa melihat kan? Itulah Damian saat itu. Menjadi orang buta. Dan bodoh. Damian mengembuskan napas keras dan membuka matanya. “Herr, kita sudah sampai.” Dia menyerahkan uang dan keluar dari taksi. “Selamat pagi, Herr.” Damian mengangguk. “Suruh Helmer mengambil mobilku ke tempat Juan,” perintahnya pada Carlo sebelum masuk ke mansionnya. Dia memutuskan pulang ke sini, ke rumahnya. Bukan rumah orang tuanya. Dia belum siap bertemu Kimmy. “Ah, Damian... pagi-pagi sekali kau ke sini, Nak,” sapa wanita tua itu pada Damian. Damian tersenyum dan mencium pipinya. “Aku rindu Kartoffelsuppe buatanmu, Eva,” pintanya manja. Wanita tua itu tersenyum, tahu ada sesuatu yang mengganggu anak itu. Itu kebiasaannya jika ada masalah. Meminta Eva untuk membuatkan sup itu. Eva adalah pengasuh Damian sejak kecil. Sekarang Eva ditempatkan Damian di rumahnya ini. Tujuannya hanya agar Eva tidak terlalu lelah. Eva sudah tua. Damian tidak tega melihatnya bekerja. Namun, Eva juga tidak mau hanya disuruh duduk diam seperti seorang jompo. Karena itulah Damian membawa Eva dan Lucas, suaminya ke sini. Rumah ini jarang dia tinggali jadi Eva tidak akan terlalu lelah di sini. Helmer adalah anak mereka. Damian menuju kamarnya di lantai dua dan langsung menuju balkonnya. Menghirup udara segar di sekitarnya. Berharap udara itu juga bisa menyegarkan pikirannya. Ponsel Damian bergetar di sakunya. “Ya, An.” “Kau di mana? Abby mencarimu.” “Maafkan aku. Aku di rumah. Bilang padanya siang ini aku pulang.” “Ada apa?” Devandra memang yang paling mengenalnya. Bahkan tanpa bertemu pun, dia tahu Damian ada masalah. Damian hanya menghela napas lela tanpa menjawab pertanyaan itu. “Aku ke sana sekarang!” Ketukan di pintu menyadarkan Damian. Ia membuka pintu dan menemukan Hera, pengurus rumah tangganya. “Sarapan Anda sudah siap, Herr.” Damian mengangguk. Dia kembali masuk ke kamarnya dan mandi. Sebenarnya dia tidak ingin makan, tetapi hanya sup kentang Eva yang selalu bisa membuatnya rileks. Entah kenapa. Damian menikmati sarapannya dengan tenang. Kadang, kesunyian seperti ini terasa lebih baik. Membuatnya rileks. “Ada apa?” tiba-tiba saja Devandra sudah ada di depannya. “Kau sendirian?” “Dengan Bernard, tetapi sudah aku suruh pulang.” “Abs tidak ikut?” “Tidak. Dia belum bisa ke mana-mana, dia agak demam setelah terapi kemarin.” “Apa dia baik-baik saja?” tanya Damian khawatir. Dia merasa bersalah tidak menemani adiknya itu kemarin. Andra mengangguk. “Kata Kimmy itu tidak apa-apa.” Kimmy ... Damian memejamkan matanya. Kata-kata Kimmy kemarin kembali berputar dikepalanya. “Kalian ada masalah?” “Siapa?” dahi Damian berkerut. “Kau dan Kimmy, bodoh! Siapa lagi.” Damian mengangkat bahunya. “Kau tidak bisa bilang, kau baik-baik saja. Tidak dengan makanan ini di hadapanmu.” Devandra menunjuk sup kentang itu di hadapannya. “Kimmy sudah bertunangan.” “Serius, man?” Damian mengangguk. “Dengan siapa?” “Aku tidak tahu. Javier sedang menyelidikinya. Tampaknya tunanganya bukan orang sembarangan.” “Lalu kenapa dia menjadi perawat Abby kalau tunangannya orang kaya?” Damian mengangkat bahunya. “Jadi kau patah hati?” Damian tersedak, sedangkan Devandra terkikik geli. “Aku tidak patah hati!” tegas Damian setelah dia meminum jus jeruknya. “Lalu apa artinya ini? Tidak pulang. Minta sup kentang? Taruhan pasti tadi malam kau mabuk kan?” Damian tidak membantah karena semua yang dikatakan Devandra memang benar. “Aku hanya... tidak suka dengan kenyataan itu... kenyataan bahwa ada pria lain yang memilikinya.” “Itu namanya cemburu, bodoh!” “Tadi malam aku bertemu Giselle.” “Giselle nenek sihir itu??” Devandra terkejut. Dia dulu yang paling menentang hubungan mereka. Damian mengangguk. “Bagaimana bisa?” Damian mengangkat bahu. “Aku sedang di bar. Dan tiba-tiba saja tadi pagi aku terbangun di apartemennya.” “Naked?” Damian mengangguk. “Holy s**t! Berdoa saja nenek sihir itu tidak hamil, Man!” Ya sebenarnya itu juga yang sejak tadi menganggu pikiran Damian. Dia sangat yakin tidak menggunakan pengaman tadi malam. Mereka berdua terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Kesunyian itu dipecahkan oleh getar ponsel Damian yang ada di atas meja makan. “Javier ...” Damian mendengarkan penjelasan Javier ujung sana. Matanya melebar mendengar setiap kata yang diucapkan Javier. Dia menutup teleponnya beberapa menit kemudian dan menarik rambutnya kesal. “Ada apa?” “Tunangan Kimmy, Franz Luidwig Mueller. Pemilik Mueller Cargo Company. Dan dia, saudara sepupu Giselle.” Mata Devandra melebar seperti Damian tadi. “Apa ini ada hubungannya dengan pertemuanmu dan Giselle tadi malam?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN