Kimmy membuka pintu flat dan segera menghempaskan diri ke sofa hitamnya yang sudah usang. Dia memejamkan mata sekilas dan wajah tampan itu kembali datang di angannya membuatnya mengembuskan napas keras.
Pria tampan, kaya. Sukses, dan sempurna. Dan pria seperti itu jelas bukan untukku.
Kimmy mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. “Aku pasti sudah gila karena si tampan itu.” Ia bangkit dari duduknya dan akan ke kamar saat ponselnya berbunyi.
Sial! Kenapa hari ini aku melupakan fakta ini?
“Ya, Franz,” jawabnya dengan suara yang dibuat selelah mungkin.
“Liebling, kau di mana? Kenapa belum sampai di rumahku?”
“Maaf, aku… aku lembur malam ini. Aku tidak bisa ke sana.”
“Aku jemput ke rumah sakit ya?”
“Eh... Tidak usah. Aku ada operasi, mungkin tidak pulang.”
“Ya sudah. Aku merindukanmu. Segera ke sini begitu kau bisa ya. Aku mencintaimu.”
“Ya, Franz.”
Kimmy kembali menghempaskan tubuhnya ke sofa dan memejamkan mata.
Franz...
Ia sempat lupa ada laki-laki itu. Laki-laki yang terikat dengannya karena kesalahan. Andai waktu bisa dia putar kembali, dia tidak akan sudi mengenal Franz, pria psikopat gila yang telah menghancurkan hidupnya. Setetes air mata mengalir dari mata birunya yang terpejam. Kimmy menghapusnya kasar dan menghela napas. b******k ...
Dia bangkit dari sofa mungilnya menuju kamar mandi. Sudah cukup dia menyesali hidupnya. Ia hanya harus menjalani takdirnya. Dia kuat untuk menanggung semua ini.
Saat keluar dari kamar mandi, ponselnya kembali bordering dan nama Abigail berkedip-kedip di layarnya. “Ya, Abs?”
“Kim, boleh aku minta tolong padamu?”
“Ada apa? Katakan saja?”
“Kau... kau... maukah kau menginap di sini malam ini?”
“Ada apa?”
“Ngg... tidak... tidak apa-apa kalau tidak bisa. Maafkan aku.” Abby langsung menutup teleponnya sebelum Kimmy sempat bersuara.
Keningnya berkerut. Sebagai seorang perawat yang sudah cukup berpengalaman, Kimmy tahu Abby sedang dalam fase di ambang depresi karena keadaannya. Abby pasti butuh teman.
Aku akan ke sana setengah jam lagi, Abs. Siapkan selimut double untukku ya :-)
Tidak sampai dua menit, ponselnya kembali berbunyi.
Terima kasih, Kim. Aku mencintaimu :P Kau tunggu saja di apartemenmu. Kakakku akan menjemputmu.
Apa? Kakaknya akan menjemputku? Sial.
Kimmy melemparkan diri ke kasur kecilnya dan mengerang. Bagaimana dia bisa menghadapi seorang Damian Schiffer sendirian. Dan pria itu akan datang ke sini? Ke flatnya yang kecil ini? Kimmy bangkit dengan terburu-buru dan mempersiapkan diri. Dia tahu Damian bukan orang yang suka menunggu.
**********
Damian sedang mengerjakan tugas kantornya saat pintu ruang kerjanya diketuk.
Dahinya berkerut. Dia paling tidak suka diganggu saat bekerja.
“Siapa?”
“Aku, Kak,” jawab suara dari luar.
Bibir Damian terangkat mendengar suara adiknya itu. Segera dilepasnya kacamatanya dan bergegas bangkit dan membuka pintu. “Ada apa, Sayang?” Damian berlutut di depan Abby setelah mendorong kursi roda itu masuk.
Abby meremas selimutnya dengan gugup. Damian tahu gadisnya itu ingin minta sesuatu, tetapi takut mengatakannya.
“Kau ingin apa?” Damian meremas kedua tangan Abby dengan lembut.
“Kase-brezel.”
Damian tertawa. “Hanya ingin roti saja kau harus takut bilang padaku, Sugar?”
“Ada satu lagi,” bisiknya sambil menunduk.
“Apa? Kau minta apapun pasti aku kabulkan.”
“Benarkah??” mata coklat itu bercahaya begitu mendengar ucapan Damian.
“Sure, Sugar.”
“Mmm... sebelum membelinya, maukah kau menjemput Kimmy terlebih dahulu?”
Mata biru itu melotot tajam mendengar ucapan adik yang sangat ia cintai itu. “Yang benar saja!”
“Please ...”
Damian mengacak rambutnya kesal. Dia merasa kesal dengan permintaan adiknya itu, tetapi tahu bahwa dia tidak akan bisa menolaknya. Bahkan jika Abby memintanya terjun ke Samudra Atlantik pun akan dia lakukan.
“Kau sengaja ya? Dengar, Abigail Nathania Carter! Apapun yang kau rencanakan untukku dan gadis ceroboh itu, itu tidak akan berhasil.”
“Kak, please... Aku butuh teman mengobrol malam ini.”
“Ada aku, kau bisa mengobrol denganku semalaman.”
“Tetapi aku ingin ada yang menemaniku tidur.”
“Mom?”
Dia menggeleng.
“Mommy-mu?”
Dia menggeleng lagi.
Damian bangkit dengan cemberut sambil mencium kening Abby. “Okay, fine! Kau menang! Di mana rumah gadis ceroboh itu?”
“Terima kasih banyak, kakakku Sayang! Aku mencintaimu!” teriak Abby ceria sambil mencium pipi Damian.
Damian mengembuskan napas keras dan mengantar adiknya itu kembali ke kamar. Andai Andrew di sini, dia pasti akan menyuruh adiknya itu menjemput gadis ceroboh itu. Akan tetapi kemudian, saat ia melihat senyum ceria di wajah Abby, seluruh rasa kesalnya menguap. Dia akan melakukan apapun untuk membuat gadis itu tetap tersenyum.
“Aku pergi dulu, Sayang. Jangan tidur sebelum aku pulang.”
“Aye, Captain. Aku akan mengirim alamat rumah Kimmy ke ponsel kakak.”
Damian tidak tahan untuk tidak mengacak rambut gadis itu dan mencium keningnya. Segera dia keluarkan mobilnya dan melesat meninggalkan mansion. Tidak sampai tiga puluh menit, dia sudah sampai di apartemen gadis itu.
Tidak. Itu bukan apartemen. Itu hanya sebuah flat kecil yang Damian yakin tidak lebih besar daripada kamar mandi pribadinya.
Apa kehidupan gadis itu sedemikian sulitnya?
Damian menggelengkan kepala mengusir pikiran itu. Itu sama sekali bukan urusannya. Ia mengetuk pintu nomor 1029 itu dengan pelan.
Dalam sekejap pintu terbuka, dan lagi, mata sebiru lautan itu memandangnya dengan penuh kekaguman. Gadis itu menggerai rambut coklatnya. Sekilas, Damian mencium wangi shampoo beraroma strawberry. Sedikit memabukkan, tetapi dia segera memasang ekspresi datarnya pada gadis itu.
“Sudah siap? Ayo berangkat. Aku tidak mau adikku terlalu lama menunggumu.”
Kimmy mengangguk dan berlari mengambil tasnya. Namun karena terlalu terburu-buru, dia tidak sengaja menginjak tali sepatu yang belum disimpulkan dan terhuyung. Damian menangkap tubuh Kimmy sesaat sebelum gadis itu mencium lantai flatnya.
“Kenapa kau selalu terjatuh di depanku, gadis ceroboh?” ucap Damian dengan kesal.
“Maafkan saya, Herr Schiffer,” ucapnya takut-takut.
Damian berdecak dan segera meninggalkan gadis itu. “Ungeschickte Mädchen.”
(gadis ceroboh)
***
Kimmy cemberut mendengar ucapan Damian dan setengah berlari mengikuti langkahnya yang panjang-panjang itu. Ia melongo melihat mobil yang ada di depannya. Seumur hidupnya, dia tidak akan berani membayangkan menaiki mobil semewah ini. Mulutnya semakin terbuka lebar begitu Damian membuka pintu mobil itu untuknya. Mobil itu harum tentu saja. Wangi pengharum ruangan bercampur wangi parfum Damian begitu memabukkan indra penciumannya. Joknya begitu halus dan dingin.
Damian tetap diam selama perjalanan membuat Kimmy menahan napasnya. Ia takut bunyi napasnya mengganggu keheningan itu.
“Kau tinggal dengan siapa?” suara Damian yang seksi itu memecah keheningan.
“Sendirian, Herr.”
“Orang tuamu?”
“Ibu saya meninggal saat melahirkan saya. Ayah saya meninggal satu tahun lalu.”
“Oh... Maaf.”
“Tidak apa-apa.”
“Bagaimana kau bisa menjadi perawat Abby?”
“Saya perawat di rumah sakit. Kami berkenalan dan menjadi akrab. Saat keluarga Anda memutuskan untuk merawatnya di rumah, Abby meminta saya menjadi perawatnya di rumah. Dia tidak mau perawat lain. Gadis keras kepala,” Kimmy tersenyum sayang membayangkan Abby.
“Ya, dia adalah gadis paling keras kepala yang pernah ada,” Damian ikut tersenyum.
Kimmy terpana melihat senyum itu. “Anda pasti sangat mencintainya.”
“Sangat. Dia adalah orang terpenting di hidupku saat ini.” Damian berbisik lebih untuk dirinya sendiri.
Kimmy menangkap luka dari bisikan itu. Dahinya berkerut menatap Damian yang tetap tenang menyetir tanpa memandangnya. Ada apa? Ada sesuatukah di antara mereka berdua?
“Tolong kau belikan Kase-brezel untuk adikku. Kau juga boleh membelinya kalau kau mau.” Damian menyerahkan kartu kreditnya pada Kimmy.
Kimmy mengangguk kaku. Saking asyiknya menatap Damian dia tidak sadar mereka sudah berhenti di depan toko roti. Ia bergegas membeli roti itu dan kembali ke mobil. Damian melanjutkan perjalanan tanpa bicara lagi hingga mereka sampai di mansion.
“Terima kasih Anda sudah mau menjemput saya,” ucap Kimmy sebelum dia keluar dari mobil. Damian tersenyum menatapnya membuat napas Kimmy terasa sesak. Astaga, senyum itu akan membunuhnya. Ia yakin itu.