Bab.2 Mendadak Papa

1739 Kata
Yang Shera tidak sangka, saat dibawa ke rumah sakit dokter justru bilang anaknya terkena tipes. Mau tidak mau dia pun terpaksa menurut ketika disarankan supaya Ganesh diopname, karena demamnya yang terlalu tinggi. Shera mengelus kepala anaknya yang mulai terlelap, setelah tadi sempat menangis kejer saat dipasang impus tangannya. Pandangannya beralih ke dua pria muda yang tadi menolong mengantarnya kesini. Bukan, tapi yang namanya Liam dan sempat dikira papa oleh Ganesh itu juga telah menyelamatkan anaknya dari hantaman sepeda motor. Mereka berdua tampak bicara serius dengan dokter jaga. Anehnya, sikap dokter itu seperti segan dan sopan. “Anaknya kami pindah ke kamar rawat sekarang, Bu,” ucap suster jaga UGD. Shera sempat bingung karena belum mengucapkan terima kasih ke pria penolongnya. Terlebih kopernya juga masih di mobil mereka. Untung saja dua pria itu kemudian melangkah menghampirinya. “Biar saya gendong, jangan didudukkan di kursi roda! Kasihan dia sedang tidur,” ucap Liam mengangkat tubuh Ganesh dan menggendongnya. Sempat cengo akan sikap spontan pria itu, Shera buru-buru mengikuti langkah mereka ke arah lift. Dia mulai ketar-ketir, karena tahu disini rumah sakit elite yang sudah pasti tarifnya mahal. “Kopermu nanti diantar ke kamar rawat,” ujar teman Liam yang berkacamata dan berwajah ganteng itu. “Iya, terima kasih atas bantuan kalian.” Shera mengangguk paham. Masuk ke lift, mereka semua diam tidak ada yang bersuara. d**a Shera sesak bukan main melihat anaknya yang meringkuk nyaman memeluk leher pria itu. Pantas tadi Ganesh sempat mengira papanya, karena perawakan dan potongan rambut Liam mirip mendiang suaminya. “Sebelah sini!” tunjuk perawat ke arah kanan setelah lift berhenti di lantai sepuluh. Shera meringis, dia benar-benar dibawa ke lantai khusus ruang rawat VIP. Uang darimana untuk membayar nanti, sedang dia tahu tarif per malamnya saja di atas jutaan. “Tunggu sebentar!” seru Shera terpaksa menghentikan langkah mereka. Biarpun malu, lebih baik dia berterus terang daripada nanti pontang-panting cari uang buat bayar tagihan biaya rumah sakit. “Anak saya dirawat di ruang inap yang biasa saja, tidak perlu VIP room.” “Pak Cello yang tadi minta kami menyiapkan VIP room,” sahut perawat itu menoleh ke pria di samping Liam. Shera meringis sungkan menatap pria yang berdiri dengan wajah tenangnya itu. Kalau saja harta mendiang suaminya tidak dirampas, dia tentu tidak masalah anaknya dirawat di ruang semahal ini. “Maaf, tapi saya ambil kamar rawat yang biasa saja.” “Kenapa? Disini perawatannya lebih terjamin dan anakmu bisa istirahat tenang tanpa terganggu pasien lain,” ucap Liam. Menghela nafas, Shera menelan rasa malunya. Dia menggeleng menolak anaknya dirawat disini. “Tidak apa-apa, anakku dirawat di kamar yang biasa saja.” “Kalau karena soal biaya kamu tidak perlu khawatir. Mama dia pimpinan dan pemilik rumah sakit ini!” ujar Liam mengedikkan dagu ke temannya, lalu berbalik meneruskan langkah. “Tunggu dulu!” seru Shera panik. “Anakmu biar dirawat disini. Aku jamin akan dihitung sesuai tarif kamar biasa,” tegas pria yang dipanggil Cello dan katanya anak pemilik rumah sakit itu. “Tapi ….” “Apa tampang kami seperti pembohong?” Kicep, Shera diam menggeleng. Terpaksa menurut mengikuti langkah pria itu menyusul mereka yang berbelok masuk ke salah satu ruang rawat. Untuk saat ini dia memang tidak punya pilihan lain. Ganesh dibaringkan di ranjang pasien. Shera menatap trenyuh anaknya yang tergolek lemah dengan wajah pucat dan mata sayu. Cobaan datang bertubi-tubi seakan tidak memberinya kesempatan untuk sekedar bernafas. Membuatnya semakin tercekik rasa sakit. “Terima kasih sudah menolong kami,” ucap Shera ke pria yang masih berdiri di samping ranjang itu. “Hm,” angguknya. “Ayo pulang!” ajak temannya yang satu lagi. Mungkin rikuh karena mereka tidak saling kenal. Baru saja hendak beranjak, Ganesh mencengkram tangan pria itu dan mulai menangis. “Jangan pergi lagi, Pa! Ganesh ikut, tidak mau ditinggal lagi. Mereka jahat, mama dibentak-bentak dan disuruh pergi. Papa pulang, Pa!" “Om ini bukan papanya Ganesh. Jangan begini, Nak!” Shera meraih tangan anaknya, berusaha melepas cengkraman jari-jari kecilnya. Sedang pria itu berdiri mematung tanpa tahu harus berbuat apa. “Mimpi apa kamu semalam, bisa mendadak jadi papa?” gurau Cello melihat sahabatnya yang kebingungan. Shera mulai kewalahan begitu anaknya meronta dan menangis semakin keras memanggil Liam papa. “Nesh mau ikut papa!” teriaknya meraung. “Itu bukan papanya Ganesh,” bujuk Shera menahan air matanya. Tiba-tiba bocah itu mengamuk menarik kasar selang infusnya. Mereka tersentak kaget bukan main melihat darah dan cairan infus mengalir keluar karena dicabut paksa. “Ganesh ….” Liam buru-buru menekan tangan bekas jarum, lalu duduk di tepi tempat tidur membiarkan bocah itu menghambur memeluknya. Shera berpaling menyembunyikan tangisnya. Sakit, rasanya luar biasa sakit melihat anaknya bertingkah seperti itu karena saking kangen ke mendiang papanya. “Sebentar! Nanti dokter jaga kesini membetulkan infusnya,” ucap Cello setelah menekan tombol panggilan. “Papa nggak boleh pergi! Ganesh jangan ditinggal lagi, Pa!” rengeknya meringkuk di pelukan Liam. “Nggak, Om nggak pergi!” sahut Liam menatap kasihan mama Ganesh yang mati-matian menyembunyikan tangisnya. Matanya kemudian beralih ke temannya yang hanya bisa mengedikkan bahunya “Maaf,” ucap Shera dengan suara serak dan mata memerah basah. “Tidak apa-apa,” sahut Liam menunduk memeluk bocah itu. Jantungnya seperti diremas mendapati tubuh kecil Ganesh yang masih panas sedang gemetar menggigil. Entah apa yang terjadi pada mereka, sampai melihatnya membuat bocah ini mengira dia papanya. Dokter jaga datang bersama perawat, namun bocah itu kembali meronta tidak mau dipegang oleh siapa pun. Bahkan Shera sendiri tidak bisa membujuknya. “Om nggak akan kemana-mana, tapi infusnya dibenerin dulu. Ya?” bisik Liam mengusap kepala Ganesh lembut. Melihatnya berhenti meronta dokter membersihkan darah di tangan Ganesh, lalu menutup bekasnya dengan perban kecil supaya darah berhenti mengalir. Masalahnya saat akan memasang jarum infus di tangan satunya lagi, Ganesh kembali menangis ketakutan. “Sakit! Ganesh nggak mau disuntik lagi, Pa! Ganesh mau pulang ke rumah, nggak mau disini! Sakit, Pa!” teriak bocah itu meraung meronta di pelukan Liam hingga terpaksa Cello dan perawat memegangi tangannya. “Iya, sabar dulu! Nanti kalau sudah sembuh Ganesh boleh pulang,” bujuk Liam mengeratkan pelukannya. “Sakit, Pa!” Hancur hati Shera melihat anaknya menangis merintih di pelukan pria asing yang terus dipanggilnya papa itu. Apalagi tangan kecilnya yang harus ditusuk jarum lagi. “Sabar dulu ya, Nak!” gumamnya dengan air mata berderai menenangkan tangis anaknya. “Sudah kok, nggak sakit lagi kan?” bujuk Liam berdiri menggendong bocah itu setelah infusnya selesai dipasang. Membiarkan suster membereskan selimutnya yang kotor terkena bercak darah dan cairan infus. “Terima kasih, Dok,” ucap Shera ke dokter yang melangkah keluar dari sana. Tidak ada yang bersuara. Liam duduk menyandar di tepi tempat tidur masih dengan memangku bocah yang sesenggukan di pelukannya itu. Menepuk-nepuk punggungnya pelan untuk membuatnya tertidur. “Nesh mau pulang, Pa.” “Iya, tapi tunggu Nesh sembuh dulu.” Nesh, panggilan itu justru mengingatkan Liam pada keponakannya yang juga dipanggil Nesh. Lebih kebetulan lagi mereka sepertinya juga seumuran. “Maaf, jadi makin merepotkan kalian,” ucap Shera sungkan. Apalagi anaknya terus memanggil pria ini papa. Liam tidak menyahut, karena sejak tadi mama bocah ini sudah berkali-kali mengucapkan hal yang sama. “Terus ini gimana?” tanya Cello yang duduk bertopang dagu. “Tunggu dia tidur dulu,” jawab Liam. “Aku telpon mama dulu,” pamit Cello beranjak menjauh. Hening, Shera mundur dan duduk di kursi belakangnya. Sedikit canggung karena tidak tahu harus ngomong apa dengan pria itu. Pikirannya menerawang mengingat mendiang suaminya, hingga tanpa sadar air matanya meleleh tak terbendung. “Papanya kemana?” tanya Liam lirih setelah Ganesh mulai tertidur. “Sudah meninggal sebulan lalu karena kecelakaan,” jawab Shera. Liam sempat menoleh ke Shera yang menunduk dengan helaan nafas panjangnya. Wajah lelah dan sisa air matanya wanita itu membuat hatinya tersentil rasa iba. “Dia belum bisa menerima kepergian papanya, jadi sebulan ini terus diam tidak mau bicara.” Dari sini Liam mulai paham kenapa tiba-tiba Ganesh syok dan ngotot memanggilnya papa. Nasib mereka hampir mirip, hanya saja dulu saat kecil Liam dan adiknya kehilangan mama. Tangannya terulur mengelus wajah pucat bocah itu. Mendengar ocehannya tadi sepertinya hidup mereka juga sedang tidak baik-baik saja. Perlahan dia mengangkat tubuh kecilnya, lalu dengan hati-hati membaringkan di tempat tidur. Shera mendekat menyelimuti anaknya. Tapi, bagaimana Liam mau pergi sedang tangan bocah itu masih mencengkram jaket yang dikenakannya. “Sebentar!” Shera meraih tangan anaknya, namun baru mau dilepas Ganesh langsung menggeliat membuka matanya. “Papa ….” “Iya …,” sahut Liam. “Jangan pergi! Nesh mau tidur dipeluk Papa,” gumamnya dengan mata memohon. “Ganesh,” tegur Shera, tapi Liam malah melepas sepatunya dan benar-benar berbaring miring di samping bocah itu. “Tidur, yuk!” ucap Liam memeluknya. Shera menggigit bibir, melangkah menjauh membawa air matanya yang jatuh melihat anaknya mendusel di pelukan pria itu. Sebulan berlalu, dan entah butuh waktu berapa lama lagi anaknya bisa legowo menerima kepergian papanya. “Namanya Ganesh?” tanya Cello yang duduk di sofa. “Iya, Ganesh Caturangga.” Shera mengangguk mengusap air matanya, lalu menyusul duduk disana. “Sama seperti nama adikku,” ucap Cello. Shera menoleh, pria dengan wajah tampan berbingkai kaca mata itu sudah pasti jauh lebih muda darinya. Pantas saja dokter dan suster disini terlihat segan, ternyata dia anak yang punya rumah sakit. Tak lama Liam turun dari tempat tidur, melangkah pelan setelah membetulkan selimut bocah itu. Cello nyengir, telinganya masih geli mendengar sahabatnya yang dipanggil papa oleh Ganesh. “Terima kasih, sekali lagi maaf anakku sudah merepotkan,” ucap Shera begitu Liam mendekat. “Tidak apa, kalau begitu kami pamit dulu!” sahutnya menarik Cello bangun dari duduk. “Kamu fokus saja merawatnya. Aku sudah bicara ke mamaku, jadi tidak perlu mengkhawatirkan soal lainnya,” lontar Cello. “Terima kasih,” angguk Shera menahan malu. Baru beberapa langkah, Shera kembali menghentikan dua orang yang sudah berbaik hati menolongnya itu. “Kalau boleh tanya, nama kalian siapa? Mungkin lain kali aku masih berkesempatan membalas kebaikan kalian.” “Aku Marcello Abimanyu Nugroho, dan ini temanku Liam Narapati. Semoga Ganesh cepat sembuh,” ucap Cello sebelum merangkul temannya beranjak keluar dari sana. Shera melangkah ke samping ranjang pasien, menunduk mencium kening anaknya yang terbalut perban. “Yang kuat, Nak! Maaf, sudah membuatmu merasakan pahit seperti ini,” gumam Shera lirih mengusap kepala anaknya. Mimpi pun tidak pernah Shera bayangkan, kebahagian keluarga kecilnya akan berakhir tragis seperti ini. Mirisnya, justru mertua dan iparnya sendiri yang tega merampas semuanya dengan cara kotor.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN