Nathan - 9

1402 Kata
Napas Nathan bagai tersangkut di tenggorokan. Wajahnya seketika membeku, pucat dan mata hijaunya terbelalak dengan beberapa lembar buah foto yang tergeletak diatas meja. Foto Anya. Gadis yang baru saja masuk dalam hidupnya. Gadis yang membuat perasaannya menjadi berbeda. “Anya,” desis Nathan dengan wajah membeku. Mata hijaunya membaca sederet informasi yang tertulis di dalam lembar-lembar kertas yang ada di hadapannya. Wajah Anya berkelebat di dalam ingatan Nathan. Bagaimana wajahnya memerah saat perkenalan mereka, kepolosan Anya saat mereka makan siang. “Anya Thomson dan Anya Platas gadis yang sama,” gumam Nathan. Ia langsung beranjak dari kursinya, berjalan meninggalkan ruang kerjanya di restoran, bergegas menuju ke dalam mobil. “Aku sedang dalam perjalanan menemui gadis itu, Paman.” Isi pesan Nathan sebelum ia masuk ke dalam mobil miliknya. Dengan perasaan yang tak menentu Nathan memacu mobilnya, melintasi malam yang telah gelap. Kenyataan itu di depan mata, lembar-lembar itu menjelaskan segalanya. “Kenapa? Kenapa?” desis Nathan di balik kemudi. Hatinya kacau seketika. Bayangan beberapa tahun silam, malam nahas itu masih segar dalam ingatannya. Teriakan histeris gadis yang meratapi kematian ayahnya. Nathan merasa jiwanya melayang.   ***   “Pa,” panggil Casey saat mendapati Jacob yang sibuk dengan ponsel ditangannya. Ia berbalik untuk menatap Casey yang tampak mengamatinya. “Cas, Papa sedang menghubungi Nathan, Nak.” Tampak ponsel masih menempel pada pipi kanan Jacob. Untuk kesekian kalinya Jacob mencoba untuk menghubungi Nathan, namun sia-sia. Tak ada jawaban apa pun. Pesan yang dikirimnya juga belum ada balasan. “Papa hanya mengkhawatirkannya, Nak.” Jacob mengatakannya dengan perasaan cemas. Ia menurunkan ponselnya, berjalan menghampiri Casey yang duduk di salah satu sofa dalam ruang keluarga mereka. Casey merasa bingung dengan sikap Jacob yang begitu mengkhawatirkan Nathan. Seingat Casey, pertemuannya dengan Nathan siang menjelang sore tampak menyenangkan. Jelas Nathan sedang mengincar sahabatnya, Anya. Dan Casey berencana untuk menjodohkan keduanya. Namun apa yang dilihat Casey pada mimik wajah Jacob seakan menyiratkan yang berbeda seratus delapan puluh derajat. “Pa, aku rasa Nathan sedang bersama seseorang,” ujar Casey yang membuat Jacob menoleh. Menatap dengan heran. “Iya, tadi siang aku mampir ke La Faye.” “Lantas?” “Sepertinya dia sedang bahagia.” Jacob memperbaiki posisi duduknya, menghadap kearah Casey berada. “Dia berkenalan dengan seseorang. Lebih tepatnya seorang gadis.” Wajah Casey tampak bahagia saat mengatakan hal itu. Ia membayangkan wajah Nathan dan Anya dalam waktu yang bersamaan. Sebelah alis Jacob naik. “Siapa gadis itu?” tanya Jacob penasaran. Senyum kembali mengembang di wajah cantik Casey. “Aku tidak bisa mengatakannya. Aku sudah berjanji padanya,” ucap Casey teringat akan janjinya pada Nathan tadi siang. Jacob mendengus kesal. Ia kembali membuka ponselnya, membaca ulang pesan terakhir yang dikirim Nathan.  Jacob menuliskan pesan untuk Nathan, meski pesan sebelumnya belum dijawab juga hingga saat ini. Jacob teringat akan alamat yang ia berikan pada Nathan dalam salah satu lembar dokumen dalam amplop coklat itu. “Tidak salah lagi,” gumam Jacob sambil beranjak dari sofa dan bergegas pergi dengan tergesa-gesa. “Pa, Papa akan kemana?” tanya Casey yang dibiarkan oleh Jacob menguap di udara. Casey terdiam seorang diri, bingung dengan perubahan sikap Jacob sejak kehadiran Nathan dalam rumah mereka.   ***   Malam yang kian merambat. Mata hijau Nathan terus mengamati tajam ke arah sebuah jalan yang Nathan yakin dirinya tidak salah. Area permukiman kumuh yang masih tampak ramai dengan orang yang lalu-lalang. Segerombolan pria muda dengan tampilan yang aneh, mereka tampak tertawa lepas dengan botol minuman di genggaman tangan mereka. Nathan melirik ponselnya yang telah gelap layarnya. Banyak telepon yang ia abaikan, semuanya dari sang paman, Jacob. Begitu juga dengan pesan singkatnya yang belum juga ia balas. Nathan mengangkat wajah tampannya, dan matanya membulat saat mendapati sosok Anya yang baru turun dari dalam bus dan berjalan masuk ke sebuah jalan sempit, seketika Nathan langsung melepaskan sabuk pengaman yang melilit tubuhnya. Ia keluar dari dalam mobil dan berjalan menyeberangi jalan. Dengan langkah lebar Nathan berusaha mengejar Anya.  Nathan berjalan melewati gerombolan pria dan wanita yang memenuhi bahu jalan. Bahkan seorang gadis berambut gimbal mencoba untuk menghalangi jalannya, dan ia terkekeh saat Nathan menatapnya dengan tatapan tajam menghujam. Anya berjalan beberapa langkah di depan Nathan, berbelok pada satu blok yang membuat Nathan harus menghentikan langkahnya di balik dinding dengan jantung yang berdetak hebat. Anya menoleh ke belakang, mengamati sesuatu dari balik bahunya. Napas Nathan seakan tercekat di kerongkongan, tubuhnya masih menempel di dinding sampai ia mendengar langkah milik Anya kembali. “Ya Tuhan,” desis Nathan saat mendapati kenyataan Anya masuk ke dalam salah satu rumah, dan Nathan menghidupkan layar ponselnya, mencocokan nomor rumah yang tertera di dinding dengan nomor rumah yang tertulis di dokumen yang ia dapatkan dari Jacob. Wajah Nathan berubah pucat seketika. Yang dilihatnya benar nyata. Anya, gadis yang dikenalnya di La Faye, gadis pengantar kue yang ternyata adalah gadis yang berteriak histeris di malam kelam dalam hidup Nathan. “Tidak. Ya, Tuhan,” gumam Nathan. Ia berbalik dan tanpa sengaja ia nyaris menabrak seorang wanita. Keduanya saling bertatapan lurus dan terkejut. “Maaf aku tidak sengaja,” kata Nathan sebelum ia beranjak pergi meninggalkan tempat itu di bawah tatapan mata wanita yang nyaris bertabrakan dengannya. Langkah yang tergesa-gesa, tubuh yang gemetar membawa Nathan untuk segera kembali ke dalam mobil hingga tak menyadari jika seseorang mengamatinya dari kejauhan. Matanya memicing, dan wajah Nathan masih segar dalam ingatannya. “Apa yang dilakukan pria itu di sini? Dia … Dia kan yang tadi siang bersama Anya.” Fedra berbicara pada dirinya sendiri, ia memandangi wajah Nathan yang pucat dan suaranya terdengar bergetar. “Siapa dia?” Fedra kian penasaran usai mobil yang dikendarai Nathan berlalu dari kawasan itu.   ***   Mimpi buruk, bak film yang diputar ulang itu kembali menghiasi malam Nathan. Ia bergerak gelisah, ia tak mampu memejamkan matanya meski ia telah meminum obat penenang yang diberikan dokter pribadinya. Obat yang ia minum saat ia butuh untuk lari dari kenyataan sejak malam nahas itu. Wajah Anya yang berkelebat di dalam kepala Nathan, bagai kenyataan yang tak dapat disingkirkan. Gadis malang itu telah berubah menjadi seorang Anya Platas. Betapa rasa bersalahnya selama bertahun-tahun terus mengerogoti batinnya. Menyiksa kehidupannya. Nathan hanya berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit kamar, tanpa mampu lelap dalam tidur. Napasnya terasa berat. Kawasan kumuh tempat Anya tinggal seakan ada di depan pelupuk matanya. Anya yang memasuki rumah bernomor sama dengan nomor rumah yang ada didalam dokumen Jacob. “Apa yang harus aku lakukan?” batin Nathan berbisik dengan frustasi. Nathan bangkit dari tidurnya, duduk di tepian tempat tidur, menyapukan tangannya ke rambutnya. “Ya, Tuhan,” desis Nathan. Kejadian makan siang bersama Anya berputar kembali.  “Nathan, kau bisa bangkrut bulan ini dengan sekali makan.” “Itu mahal sekali.” Wajah polos Anya, dan protesnya dengan mimik menggemaskan membuat Nathan tak berhenti untuk tersenyum saat mengingatnya. “Nathan, dengarkan Paman. Gadis itu baik-baik saja.” “Bukalah dulu dokumen yang Paman berikan padamu, Nath.” “Kau akan tahu kondisinya saat ini.” Suara Jacob kembali terngiang ditelinga Nathan sesaat sebelum kemunculan Anya di La Faye. “Aku tidak tahu untuk itu. Sebelumnya ia tinggal di Manhattan sebelum ia pindah ke Boston untuk kuliah.” “Massachusetts Intitute of Technology.” Cerita yang diberikan Luke pada Nathan kala itu. Saat mereka berbincang untuk membahas gadis cantik yang nyaris menabrak Nathan di depan pintu resto La Faye. “Gadis itu lulus tahun ini, Nathan. Ia lulusan terbaik.” Suara-suara dan bayangan yang membuat Nathan merasa nyaris gila. Nathan menghela napas dalam, mendesah dengan frustasi hingga menundukan kepalanya. Dia ingin teriak dan mengeluarkan semua sesak dalam dadanya. Rasa bersalah itu terlampau menyakitkan. Nathan beranjak dari tepian tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Berdiri di depan wastafel, memandangi dirinya yang terlihat kusut. Napas Nathan terdengar pendek-pendek, ia benar-benar lelah dengan dirinya. “Ayaaaaaaahhhhh!!!!” pekik gadis di malam itu, merangkul pria paruh baya yang bersimbah darah. “Tidak, aku bukan pembunuh,” desah Nathan kesakitan. Ia menggeleng kepala pelan dengan menatap dirinya tajam. Bayangan dirinya dalam cermin perlahan berubah. Pelupuk mata yang seakan nyata. “Kau pembunuh ayahku, Nathan. Kau pembunuh.” Suara yang menyerupai suara milik Anya. Suara yang tidak lagi terdengar lembut. Bayangan itu telah mengambil alih kewarasan dalam kepala Nathan. Bayangan Anya yang muncul dari dalam cermin. Wajah cantik yang berubah murka, mata biru yang tak lagi indah, berubah menjadi sayatan. “Kau pembunuh! Kau pembunuh Ayahku, Nathan!!” “Tidaaaaaakkkk!” teriak Nathan seraya melayangkan tinjunya ke cermin. Praaanggg!!! Seketika semuanya hancur.   ***   Pria itu duduk disana. Dibalik alunan nada yang indah. Jemarinya yang lihai menari diatas tuts piano, suara yang mengalun lembut, bagai mantra yang memabukkan. Wajah tampan itu tak lagi hangat. Ia menatap dengan tatapan mata yang dingin dan tajam sebelum berubah menjadi keruh. Ada kegelapan di dalam binar hijau itu. “Aku lah pembunuh Ayahmu. Aku yang telah membunuh Ayahmu, Anya!” “Tidaaaakkk!!!” pekik Anya lepas dari mimpi. Napasnya naik turun, keningnya basah. Ia menatap selimut yang membungkusnya. Telapak tangannya basah. “Hanya mimpi,” desah Anya. Ia menoleh ke samping. Fedra yang tertidur pulas. Ia tak mendengar suara lantang Anya yang terbangun karena mimpi.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN