4. Hidup Baru Dimulai

1128 Kata
Pagi harinya seusai sarapan Kiran segera berkemas karena Arman telah meminta padanya untuk ikut kembali ke kota bersama. Sementara itu, Elang entah ke mana perginya Kiran pun tak tahu. "Kiran, sudah selesai packingnya? Boleh mama masuk?" Rania, wanita yang kini telah menjadi mertua Kiran sudah berdiri di ambang pintu kamar. "Oh, ini tinggal sedikit lagi, Tan. Silahkan masuk." Kiran yang menyadari kehadiran wanita itu mengulas senyuman. "Jangan panggil Tante. Panggil Mama karena sekarang kami adalah orang tua kedua buat Kiran." Rania masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang. "Kiran, mama minta maaf, ya. Mungkin Kiran merasa terpaksa menikah dengan Elang. Dan Mama juga minta maaf, mungkin Elang ini jauh dari kriteria suami idaman buat Kiran. Tapi percayalah, meski usia Elang lebih muda dari Kiran, tapi Mama yakin Elang adalah pria baik yang kelak mampu memberi kebahagiaan buat Kiran. Mama harap Kiran bisa sedikit bersabar menghadapi Elang." "Iya, Ma. Kiran sudah ikhlas. Dan Kiran berjanji akan berusaha menjadi istri yang baik buat Elang dan juga menantu yang baik buat Mama dan Om Arman." "Jangan panggil Om Arman. Panggil ... Papa. Sama seperti Kiran memanggil Mama. Terima kasih banyak sebab Kiran bisa menerima kehadiran Elang. Kalau begitu ... Mama tunggu diluar. Silahkan Kiran lanjutkan berkemasnya. " Begitu Rania keluar dari dalam kamarnya, Kiran termenung berusaha menyelami perasaannya sendiri. Apakah benar dia sudah ikhlas menerima takdir hidupnya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Keputusannya kali ini sudah tak dapat lagi diubah dan tetap harus ia jalani. *** Setelah menempuh beberapa jam perjalanan, pada akhirnya tiba juga Kiran di rumah Arman dan Rania. Ada dua minggu Kiran meninggalkan kota padat penduduk, tempatnya bekerja mengais rejeki selama beberapa waktu terakhir. Sebenarnya Kiran tak tega harus meninggalkan bundanya seorang diri setelah sang ayah meninggal. Namun, pekerjaan sudah kembali menantinya. Tak mungkin juga Kiran terus terlarut dalam kesedihan. "Kiran! " Panggilan Rania memutus lamunan Kiran. Kiran menoleh pada wanita paruh baya yang kini sudah bergelar menjadi mama mertuanya. "Kenapa berdiri di situ? Ayo masuk, Sayang." "Eh, iya, Ma." Sedari tadi Kiran memang sibuk mengamati rumah mertuanya. Arman dan Rania membawanya pulang ke rumah mereka. Kiran menarik koper miliknya. Sebenarnya tak banyak barang yang ia bawa dari rumah bundanya tadi. Masuk ke dalam rumah mewah itu membuat Kiran sedikit canggung. Bagaimana pun juga ini adalah tempat baru yang masih asing baginya. "Kiran pasti capek. Sebaiknya Kiran istirahat dulu. Kamarnya ada di lantai atas. Kopernya taruh di sini saja biar Mang Ujang yang nanti membawanya ke atas." "Iya, Ma. Terima kasih." Dengan langkah pelan Kiran mulai menapaki anak tangga satu per satu. Menoleh kembali ke belakang mendapati mama mertuanya sedang tersenyum masih menatap padanya. "Kamar Elang ada di sebelah kiri tangga." Teriak Rani memberitahu menantunya. Kiran mengangguk lalu kembali melanjutkan langkah. Ketika kaki jenjangnya menapaki lantai dua rumah mertuanya, Kiran mengedarkan pandangan mengamati seluruh penjuru ruang rumah ini. Di sebelah kiri tangga hanya terdapat satu kamar dengan pintu tertutup yang ia yakini adalah kamar bocah tengil yang tak lain adalah suami berondongnya. Di sebelah kanan tangga ada dua ruang berpintu yang Kiran tak tahu itu ruang apa. Dan selebihnya adalah ruang santai dengan satu single sofa dan sebuah piano yang bertengger manis di sana. Kiran bingung harus berbuat apa sekarang. Masuk ke dalam kamar Elang bukanlah ide yang bagus. Di mana bocah itu? Batin Kiran bertanya. Sejak mereka sampai di rumah ini, bocah itu sudah menghilang. Mungkin saja ada di dalam kamar. Huft, sebenarnya Kiran merasa sangat lelah setelah melakukan perjalanan panjang dari rumah orang tuanya sampai ke rumah ini, dan sekarang ia pun ingin segera merebahkan tubuhnya. Namun, ada keengganan untuknya masuk ke dalam kamar Elang. Ia berjalan menuju sofa dan memilih untuk merebahkan tubuh di sana. Luar biasa lega rasanya menemukan sofa yang sangat empuk. Mungkin karena Kiran terlalu capek, tanpa sadar kantuk pun menyerang dan dia tertidur. Hingga sebuah tepukan ringan di bahu, membangunkannya dari tidur yang lelap. Mengerjabkan mata, tampak olehnya jika Rani tersenyum lembut kepadanya. "Kiran kenapa tidur di sini?" Wanita itu tergagap, bangun dari posisi berbaringnya dan segera menegakkan punggung pada sandaran sofa. "Maaf, Ma. Kiran tertidur tadi." "Jangan tidur di sini. Nanti pinggang Kiran sakit. Ayo tidur di kamar. Jangan sungkan begitu. Sekarang rumah ini juga sudah menjadi rumah Kiran." Mendapat sambutan hangat dari Rani, membuat hati Kiran menghangat. Mendapati sang menantu tersenyum kikuk, Rani pun berkata. "Oh ya, Sayang. Tadi koper milik Kiran sudah Mang Ujang masukkan ke dalam kamar. Sebaiknya Kiran mandi dulu. Lalu kita makan malam." "Terima kasih, Ma. Kalau begitu Kiran mandi dulu." Rani mengangguk. Menepuk pelan lengan Kiran lalu meninggalkan menantunya untuk kembali turun ke lantai satu. Kira memutuskan berjalan mendekat ke arah kamar. Mengetuk pintunya, akan tetapi tak ada yang menjawab. Ia memberanikan diri membuka pintu dan melongokkan kepala ke dalam. Kosong, sepi tak ada siapa-siapa. Ke mana perginya bocah itu? Kiran menggumam. Dan memilih masuk ke dalam kamar karena dia sudah gerah dan ingin segera membersihkan dirinya. Melihat koper miliknya yang sudah berada di pojok ruangan. Membukanya dan mengambil satu setel baju rumahan. Mencari keberadaan kamar mandi dalam kamar ini. Begitu melihat sebuah berpintu, Kinan tersenyum. Dia yakin itu adalah kamar mandi. Tanpa berniat melihat-lihat isi kamar Elang, ia pun sudah berjalan membawa baju ganti menuju kamar mandi. Ada tiga puluh menit perempuan itu mendekam di kamar mandi. Merasa segar kembali setelah seharian terasa penat berada di jalanan. Setelahnya Kiran memilih untuk keluar kamar dan turun ke lantai bawah menuju meja makan. Arman dan Rani sudah menunggunya. Namun, tak nampak Elang di sana. "Kiran ... Ayo duduklah. Kita makan bersama." Kiran mengangguk, menarik salah satu kursi ikut bergabung bersama mereka yang ada di ruang makan. Berbasa-basi dengan obrolan kecil mengiringi makan malam mereka. Sungguh tak disangka oleh Kiran sebelumnya jika papa dan mama mertuanya adalah orang yang sangat baik. Kiran bersyukur berada di tengah keluarga ini. Usai acara makan malam, Kiran bersama Rani dan Arman melanjutkan acara mengobrolkan banyak hal di ruang keluarga sambil menonton televisi. "Kalau Kiran capek tidur saja. Istirahat." Rani yang melihat Kiran menguap meminta padanya untuk tidur. Jujur, Kiran memang sangat lelah dan mengantuk padahal belum ada jam sembilan malam. Mungkin karena beberapa hari ini Kiran susah memejamkan mata akibat terlarut kesedihan ditinggalkan oleh sang ayah tercinta. "Baik, Ma. Eum ... Kiran ke atas dulu, ya. Selamat malam." Setelah berpamitan, Kiran bergegas naik ke lantai atas menuju kamar milik Elang. Sebelum tidur, tak lupa melakukan ritual malam. Mengganti baju dengan piyama, menggosok gigi juga mencuci wajah dan kaki. Saat keluar dari dalam kamar mandi Kiran dikejutkan akan keberadaan si bocah tengil Elang yang sudah duduk di atas sofa sembari memainkan ponsel di tangan. Tanpa kata, Kiran mengabaikan keberadaan bocah itu dan naik begitu saja ke atas ranjang. Kiran hanya butuh tidur saat ini. Semoga bocah itu tidak membuat masalah dengannya hingga dia bisa menikmati tidur nyenyak malam ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN