-1-

1745 Kata
1 tahun lewat 1 bulan yang lalu. 1 bulan sebelum perpisahan kami. Aku duduk dengan gelisah, 10 menit lagi menurut informasi dari pengeras suara, kami akan tiba. Ini kepulanganku setelah 1 tahun sama sekali tak menginjakkan kaki di kota kelahiran. Mataku tak bisa lepas mengamati apa saja yang kulewati, apalagi ketika suasana di luar jendela jadi lebih jelas terlihat karena laju kereta mulai melambat, jantungku berdetak makin kencang. Begitu terdengar nyaring suara rem dan kereta benar-benar berhenti, aku langsung bergegas turun. Dengan langkah terasa begitu ringan dan bersemangat, aku menyusuri peron bersama ratusan penumpang yang juga menuju pintu keluar di sisi utara stasiun. Melewati pagar pembatas area dalam stasiun dengan bagian luar di mana para penjemput dan sopir-sopir taksi standby, sosok Ibu terlihat sumringah waktu kami bertukar pandang. Ibu menyambutku dengan pelukan dan entah berapa kali kecupan di pipi dan kening. Aku memeluk beliau dengan erat sebelum akhirnya mengurai pelukan. "Ibu sendirian kan?" tanyaku memastikan. "Iya, Ibu sendiri." Mendengar itu aku refleks tersenyum lega. Aku memang tak mengabarkan kepulanganku pada siapapun kecuali Ibu. "Kamu gemukan ya, Dek? Makin cocok ya sama makanan di Jogja??" tanya Ibu ketika kami sudah di mobil dan mengantri keluar stasiun. "Masak sih Bu??" Aku memegang kedua pipiku lalu mengintip ke spion tengah, "gendut banget ya??" "Enggak, pipinya aja agak chubby," jawab Ibu tersenyum sembari melirikku. "Ibu beneran kan nggak bilang ke Ucha kalo aku pulang?" Ucha, panggilanku buat Syuja. Ide nama itu datang dari sahabat baiknya yang tengil. Tadinya Ucha tak merespon panggilan itu, tapi lama kelamaan dia pasrah, dan mulai terbiasa. Ibu merespon pertanyaanku dengan menggeleng dan tersenyum. Enam bulan lalu, saat libur semester pertama, aku mengabarkan ke Ibu dan Syuja bahwa aku tak akan pulang. Meski rindu, tapi aku menahan diri dan memutuskan tetap tinggal. Toh libur semester ganjil ke semester genap waktunya tak terlalu panjang, belum lagi sebagai mahasiswa baru aku harus mengikuti berbagai kegiatan himpunan yang dilaksanakan di libur semester. Ibu yang bilang akan mengunjungiku di Jogja, tiba-tiba muncul dengan Syuja di depan kostku. Syuja yang minta Ibu tak mengatakan apapun padaku tentang keikutsertaannya ke Jogja. Jelas aku kaget bukan main, terutama karena 3 hari sebelumnya kami sempat berdebat masalah aku yang tak akan pulang, sedangkan dia juga tak ada waktu untuk mengunjungiku. Setelah perdebatan itu, kami tak saling menghubungi. Dan tiba-tiba hari itu dia muncul di depanku, dengan senyum yang berhasil meluruhkan semua marahku padanya beberapa hari sebelumnya. Dan di sinilah aku sekarang, 6 bulan kemudian, pulang tanpa memberitahu Syuja. Katakan saja aku sedang membalas dendam padanya, balas dendam yang manis. Setidaknya itu menurutku. Menumpang kereta pagi, saking semangatnya, aku sudah ada di stasiun hampir 1,5 jam sebelum jadwal keberangkatan. Sore hari. Aku memilih bersantai di ruang tengah sambil nonton televisi. Selagi menikmati tontonan, aku teringat sesuatu dan segera beranjak mengambil ponsel. Sembari jalan kembali ke ruang tengah, aku menekan nomor seseorang dan menempelkan ponsel di telinga. "Assalamu'alaikum," sapaku ketika panggilan diterima. "Wa'alaikumsalam." "Lagi di mana?" "Kampus." "Libur kok di kampus?" "Ada acara." "Dies Natalis itu??" "Hmmm." "Jadwalnya apa hari ini?" "Basket." Oke, kalau sudah bilang basket aku tak bisa mengatakan apapun, apalagi protes. Itu kecintaannya sejak dulu. "Habis basket ke mana?" "Nongkrong." "Siapa Ja? Yayang ya?? Yayang!!!" Teriak seseorang yang suaranya sudah sangat kukenal, dan sering ngobrol denganku via telepon. "Halo, Yayang!?!" "Apa kabar, Fi??" Luthfi berhasil merampas ponsel Syuja, karena suaranya tak lagi terdengar jauh seperti tadi. "Alhamdulillah kabarku baik Yang, berkat do'a sendiri!" Aku tersenyum mendengar kalimatnya yang selalu ajaib. "Yang, kata Syuja kamu nggak pulang lagi libur semester ini?" "Iya, belum bisa pulang Fi." "Kenapa? Setahun loh kamu nggak pulang!" "Masih ada urusan, nggak bisa ditinggal," bohongku. "Nggak bisa ditinggal?? Itu urusan apa pacar baru yang nggak bisa ditinggal?" Lalu terdengar suara teriakan mengaduh dari Luthfi, sepertinya seseorang memukulnya. "Sudah dulu, aku ke lapangan sekarang," kata Syuja setelah mengambil ponsel dari Luthfi. Sementara di belakangnya, Luthfi terdengar berteriak memanggil namaku. Aku cuma bisa mengela nafas pelan. "Have fun." "Hmmm. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Dan percakapan kami berakhir. Begitulah Syuja, masih sama seperti dulu. Irit bicara, dan menutup telepon semaunya tanpa kata-kata manis di akhir percakapan kami. Aku menatap jam dinding, jarumnya menunjuk angka 3. "Kenapa, Dek?" tanya Ibu yang muncul dari dapur dengan sepiring irisan buah. "Nggak apa-apa, Bu." "Sudah bilang Ucha?" Aku menggeleng, mengambil sepotong irisan apel Fuji lalu memakannya. "Kok belum?" "Lagi basket." "Farah juga belum tahu?" "Belum." "Mau berapa orang yang kamu beri kejutan?" Sebenarnya sudah kuputuskan untuk menunggu, besok aku baru bisa menemui Syuja. Meski sebenarnya sudah tak sabar, tapi kupikir untuk saat ini menunggu adalah pilihan terbaik. Ponselku tiba-tiba bergetar, sebuah panggilan tak terduga dari Farah. "Kahiiii!!!!" teriak Farah ketika aku baru menerima panggilannya. "Apaaa?" "Kenapa nggak pulang?" Aku tersenyum mendengar pertanyaannya, mengambil seiris apel lagi dan menggigitnya. Terbayang bagaimana ekspresi Farah tiap kali dia gemas. "Tahu dari mana?" "Baca postingan Upik." "Posting apa dia?" "Foto Syuja yang cuma kelihatan punggung, captionnya galau karena pawang nggak pulang lagi." Aku sontak terkekeh geli. "Kamu nggak kangen sama aku?? Udah setahun kita nggak ketemu!!" "Kangen kok." "Terus kenapa nggak pulang??" "Masih ada perlu." "Kamu liburan ke mana?" tanyaku mengalihkan topik. "Besok rencana mau ke desa." Besok?? Berarti besok kami nggak bisa ketemu! Padahal aku sudah merencanakan setelah bertemu Syuja, aku akan menemuinya. "Berapa lama?" tanyaku was-was. "Nggak tahu, soalnya keluarga yang di Medan sama Jakarta pada datang. Jadi kayaknya bakal liburan bareng." Aku menghela nafas frustasi karena rencanaku mendadak berantakan. "Kamu lagi di mana?" tanyaku ketika mendengar suara lalu lalang kendaraan. "Jalan, mau ke sekolah ngelatih volly." "Loh, hari Jum'at ada latihan juga?" "Mereka mau tanding, makanya latihan 2x seminggu." "Terus kamu tinggal liburan nanti gimana?" "Kan aku cuma bantuin, bukan pelatih resmi Kahiiii!" Aku tersenyum mendengarnya memanggil namaku dengan nada yang masih sama seperti dulu. "Berapa lama latihannya?" "Biasalah, mau maghrib udah kelar." "Mmm, ya udah deh. Nanti habis maghrib ngobrol lagi ya, Fa?" "Beneran ya!!?!" "Iyaaa, habis kamu selesai voli," janjiku serius. Setelah telepon ditutup, aku langsung melihat Ibu yang sedang nonton televisi. "Bu," panggilku pelan. "Apa Dek?" tanya beliau menengok padaku. "Aku keluar bentar ya?" "Ke mana?" "Mau ke sekolah, nemuin Farah." “Mau diantar??" "Nggak usah Bu, aku naik bus aja. Udah kangen naik bus ke sekolah." "Sekarang?" "Iya, biar pas nyampe sana masih ada Farah." Ibu tersenyum mendengar jawabanku. "Ya udah ... hati-hati di jalan." "Iya Bu." Setelah mendapat ijin, aku bergegas ke kamar untuk ganti baju. Butuh 40 menit untuk tiba di sekolah. Semua kenangan masa SMA seketika menyeruak ketika aku menyusuri jalan dari halte menuju sekolah. Mulai dari hari pertama sekolah, saat berjalan dari halte ke sekolah, juga ketika pulang bersama Farah, atau saat menghalau Syuja berkelahi sore itu ... terlalu banyak kenangan berebut memenuhi kepala sampai aku tak berhenti tersenyum sendiri. Beberapa kali aku papasan dengan siswa-siswa yang berjalan pulang, sudah jam 4 sore, kalau ingat jamanku sekolah dulu, siswa sekolah sudah pulang sejam yang lalu harusnya. Begitu melewati gerbang, suasana lapangan sekolah yang menyambut pertama kali semakin membuatku rindu dengan masa sekolah. Lapangan bola dan lapangan basket masih ramai seperti dulu, meski sebagian besar siswa sudah pulang, tapi siswa-siswa yang hobi dua jenis olahraga itu masih asik bermain di lapangan. Di sebelah lapangan basket, ada latihan cukup serius dari tim voli. Aku mencari sosok Farah, sudah setahun tak melihatnya, dan aku dibuat penasaran seperti apa dia sekarang. Karena kalau beberapa kali melihat foto yang dia kirim, Farah jelas terlihat berbeda. Seorang gadis tinggi semampai, dengan rambut hitam di kucir kuda, memperhatikan siswa-siswa yang bermain di lapangan dengan serius. Beberapa kali terdengar suaranya memberi intruksi. Aku mengamati dari jauh sambil tersenyum, Farah jauh lebih cantik dari foto-foto yang dia kirim! Selama hampir 10 menit dia tak menyadari kehadiranku. Lalu ketika tak sengaja dia menghadap ke arahku dan kami bertukar pandang, matanya membeliak. Farah mengerjap lalu memicing selama beberapa saat, mungkin memastikan, dan beberapa detik kemudian dia berteriak memanggil namaku sampai semua perhatian siswa teralih antara dia dan aku. "KAHII!!!!" teriaknya sembari berlari padaku dengan antusias. Dia langsung menubruk dan memelukku begitu saja. Aku tergelak, entah seperti apa ekspresi Farah sekarang. Yang jelas, kami semakin jadi pusat perhatian. "Ya ampun ... sorry, badanku bau keringat!" serunya ketika sadar dan hendak melepas pelukan, tapi aku menahan dan memeluknya makin erat. "Kok bisa ada di sini??? Kan katanya nggak bisa pulang!!!??" protesnya yang kembali balas memelukku. "Kaget nggak??" Dia menarik badannya sedikit lalu menatapku. “MENURUT NGANA???" Aku tersenyum geli karena reaksi dan ekspresi Farah. Ekspresi sebal yang jelas sangat kurindukan selama ini. "Kapan datang??" tanyanya penasaran setelah pelukan kami terurai. "Tadi siang." "Jadi tadi pas kita telepon udah di rumah?" tanyanya lagi dengan kening mengernyit dan tangan memegang pergelangan tanganku. Aku mengiyakan dengan anggukan kepala, sepasang matanya langsung melebar. "Kok tega bohongin aku!??" "Kan mau bikin kejutan! Rencananya besok aku mau samperin kamu, tapi malah aku yang kaget karena kamu bilang mau ke desa." Kali ini Farah tertawa, menertawakan jawabanku pastinya. "Jadi aku majuin aja sekarang buat ketemu kamu," tambahku. "Syuja tahu??" Aku segera menggeleng. "Astagaaa!!!" serunya sembari mencubit pipiku gemas. "Kak Farah!" seorang siswi tiba-tiba menginterupsi dengan memanggilnya sopan. Dia tak mengatakan apapun, tapi Farah paham apa maksudnya. "Aku balik dulu ya, kamu bakal nungguin kan??" Aku kembali mengiyakan dengan anggukan. "Oke!! Tunggu, jangan pulang duluan!! Nggak sampe sejam lagi aku selesai!" perintahnya mewanti-wanti. Kesekian kalinya aku mengangguk, setelah itu dia kembali ke lapangan voli. Aku mengedarkan pandangan. Saat mendongak, mataku langsung tertuju ke rooftop. Tergelitik rasa penasaran sekaligus rindu, aku berjalan melintasi lapangan menuju tempat yang rutin kudatangi dulu di jam istirahat bersama Farah. Tak sampai satu jam, Farah menyusulku yang sedang mengamati lapangan dari rooftop. "Jadi, sudah sampai mana nostalgianya??" tanya Farah meledek. "Setahun ternyata lama juga ya, Fa,” jawabku tersenyum kikuk. "Ya iyalah!!!" "Tapi setiap sudut yang kulihat masih merekam kenanganku dengan jelas." "Duh, nggak usah sok puitis deh, Cinta!!" ledeknya lagi, "Kita jalan sekarang, dan kamu harus cerita." "Cerita apa?" "Semua!!! Mulai dari keberangkatanmu yang nggak mau kuantar, tapi ternyata ada Syuja di sana. Tentang Ibu dan Syuja yang datang ke Jogja semester kemarin. Juga keisenganmu ngerahasiain kepulanganmu!" Aku tertawa lalu setuju mengikuti maunya. Kami jalan melewati setengah bagian rooftop yang tak banyak berubah menuju tangga. Tiba-tiba aku teringat saat-saat aku dan Syuja berbicara di sini. Sewaktu dia menyusul untuk bicara denganku, saat kami bertengkar dan kemudian baikan di sini, juga saat kami menghabiskan masa-masa terakhir di sekolah. Aku dan Farah sepakat mampir di cafe Appetite, titik tengah antara rumahku dan rumahnya. Tempat yang juga banyak menyimpan cerita tentang aku dan Syuja. Tempat yang mengawali kedekatanku dengannya. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN