Dua: Bertemu

1642 Kata
"sayang" Bunga masuk kedalam ruangan Valdo dengan wajah yang dia buat sendu. Valdo hanya menatap sekilas kedatangan Bunga lalu kembali sibuk. Saat ini masih banyak yang lebih penting untuk dia perhatikan daripada si pengkhianat. "sayang, aku minta maaf" Bunga sudah berdiri di samping Valdo, meraih tangan Valdo untuk dia genggam. Valdo melepaskannya begitu saja. Ditatapnya tajam Bunga. Rasa kesal dan kecewa masih sangat pekat dihatinya. "sayang, aku bisa-" "stop" Valdo memotong ucapan Bunga. Dia bangun dari kursinya dan pindah duduk ke sofa. Bunga menyusul, duduk disamping Valdo yang terlihat menahan emosi. "aku gak butuh penjelasan. Kita berakhir dan gak ada yang perlu di bicarakan lagi" tegas Valdo. Bunga langsung menatap kesal Valdo seolah tidak setuju dengan apa yang diucapkan.  "aku begitu karena kamu! asal kamu tahu! kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan kamu!" bentak Bunga kemudian. Valdo tersenyum miring, benar ucapan Ega, Bunga akan datang dan menyudutkan dirinya. "terlalu sibuk kamu bilang? memang selama apa kita gak ketemu? aku punya pekerjaan. Aku punya sesuatu yang perlu aku urus dan aku pertanggung jawabkan. Aku gak keteu kamu paling cuma sehari, kamu mau apa dan mau kemana, selalu aku usahakan untuk aku turuti." "aku butuh waktu kamu!" "waktu yang bagaimana lagi Nga?! gak bisa dalam dua puluh empat jam aku terus sama kamu!"  "kerja dan kerja. Kamu selalu mentingin itu" "aku lakuin itu juga buat kamu! bukan cuma cinta, aku kasih kamu waktu dan aku juga kasih kamu uang! Aku selalu berusaha agar kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan!" "kamu gak ngerti Do" "kamu yang gak ngerti! komunikasii kita lancar, gak pernah seharipun aku gak hubungi kamu. Selama aku bisa, aku selalu berusaha untuk ketemu kamu, aku bahkan selalu ajak kamu ikut kalau harus ke luar kota. Sekarang bagian mana lagi yang mau kamu permasalahkan? oke kalau masalah waktu yang gak bisa sama kamu selama dua puluh empat jam, aku terima kalau itu memang salah menurut kamu, tapi harusnya kamu ngerti, karena aku bukan pengangguran. Cinta? uang? aku berikan itu tanpa perhitungan." "tapi aku gak mau kita selesai, aku cinta kamu" suara Bunga sudah melemah. "kamu bahkan gak langsung ngejar aku semalam, kamu tetap milih di kamar hotel dan baru keluar tadi pagi" Valdo tahu itu semua dari Ega, tidak peduli Ega dapat itu dari mana. "itu karena-" "aku gak mau denger apapun lagi. Sekarang kamu keluar dan kita benar-benar selesai" "sayang" Bunga mencoba meraih tangan Valdo tapi dengan mudah Valdo menghindar. "pergi!" tegas Valdo. Bunga menghela napas kasar. Tanpa bicara lagi dia melangkah pergi dari ruangan Valdo. "b******n!" Valdo menendang meja di hadapannya.  Putus karena sebuah perselingkuhan benar-benar menyakitkan. Jika mereka bertengkar atau bahkan saling memaki karena sebuah masalah, Valdo akan memaafkan, karena dalam hubungan memang normal memilik masalah. Tapi perselingkuhan? dia tidak ingin menjadi bodoh dan memaafkan. Apalagi dengan alasan yang Bunga katakan.  *** Valdo menghempaskan tubuhnya ke sofa di depan televisi. Harinya buruk, moodnya hancur karena patah hati. Kerjanya tidak fokus dan rasa kesal terus melingkupi dirinya. Tidak sedikit pegawai yang dia bentak hanya karena masalah sepele. "kayanya lagi ada yang kesel nih"  Valdo langsung menatap sang ibu yang baru duduk di sofa single. "banget" "kenapa? masalah resto?" Valdo menggeleng. "yaudah. Masalah apapun, ibu tahu kamu bisa beresin. Sekarang ibu mau bilang sesuatu sama kamu" Valdo bangun dari posisi tidurnya. Dia duduk dan bersandar sambil menatap sang ibu "apa?" "ibu mau kamu segera menikah, bang" Bahu Valdo langsung jatuh. Saat ini, menikah tidak ada lagi dalam kepalanya. Hilang! lenyap! ditelan perselingkuhan. "aku baru putus bu" jujur Valdo, berharap jawaban itu cukup untuk membuat sang ibu tidak berharap. "sama Bunga?" Tidak ada raut sedih di wajah sang ibu, membuat Valdo mengerutkan keningnya. "pacar aku cuma dia doang"  "baguslah. Ibu emang gak suka sama dia. Tapi meskipun kamu jomblo, kamu tetep harus segera menikah, atau kalau perlu ibu cariin perempuan buat kamu?. Dijodohin gitu" "engga!" Tolak Valdo langsung "Valdo gak mau di jodohin, bu" "yaudah. Cari sendiri tapi gak pake lama" jawab santai sang ibu lalu bangun dan pergi. Valdo mengacak rambutnya. Demi Tuhan, jangankan untuk mencari istri, untuk mencari pacar pun dia tidak mau. Rasa kecewa masih membungkus hatinya. *** "s**t!" maki Valdo saat ponsel yang dia gengam dan baru akan dia gunakan untuk menghubungi Ega di rebut paksa oleh orang yang tidak dia kenal. Meninggalkan mobilnya yang tengah mogok di pinggir jalan. Valdo mengejar orang yang mencuri ponselnya.  Terus berlari mengejar sang puncuri, hingga akhirnya dia berhenti saat sang pencuri juga berhenti di sebuah jalanan yang sangat sepi. Dua orang yang merupakan komplotan si pencuri tengah menunggu disana.  "balikin hp gue!" pinta Valdo tanpa rasa takut. Mereka hanya tertawa, ucapan Valdo benar-benar seperti lawakan untuk mereka bertiga. "balikin brenggsek!" bentak Valdo sambil melangkah maju dan menonjok salah satu dari mereka. Melihat temannya tersungkur, dua orang lain tidak terima. Dengan cepat mereka balas menyerang. Awalnya Valdo berhasil melayangkan tinju dan tendangan kepada keduanya, hingga salah seorang dari mereka berhasil menahan Valdo dari belakang.  Tanpa ampun mereka memukul Valdo, melawanpun benar-benar sia-sia karena tenaga Valdo sudah berkurang dan mereka masih terlalu kuat untuk Valdo bereskan. Puas dengan karya yang telah mereka ciptakan di tubuh Valdo. Valdo langsung dilepaskan dan tersungkur mencium aspal. Rasanya tubuhnya remuk.  "harusnya lo relain ponsel lo sejak awal" ucap orang yang bertugas mencuri ponselnya sambil menginjak tangan Valdo seperti tengah menginjak puntung rokok. Mereka tertawa puas lalu tanpa takut meninggalkan Valdo begitu saja yang tergeletak diaspal. *** Qiana terus berdoa saat dia harus melewati  jalanan sepi lagi. Beberapa kali dia mendapat kabar adanya kasus pelecehan yang terjadi di tempat itu. Mungkin jika ada jalan lain yang ramai menuju kosannya, sekalipun lebih jauh, Qiana akan memilih lewat sana.  Tubuhnya bergetar saat melihat ada orang yang tergeletak, Valdo. Qiana mengedarkan pandangannya, tidak ada seorangpun disana.  Samar-samar Qiana mendengar Valdo meminta tolong. Ingin lari tapi takut orang itu malah meninggal karena telat mendapat pertolongan. Hingga akhirnya dengan ragu Qiana mendekat. "kak" panggil Qiana, suaranya bergetar karena takut. "tolong" ulang Valdo lagi bahkan meraih kaki Qiana. Lagi-lagi membuat Qiana terkejut. Memberanikan diri, Qiana berjongkok, menatap kondisi orang yang tidak kenali itu. Baju Valdo itu penuh darah, diwajahnya Qiana lihat banyak bekas luka pukul. "kakak masih sanggup bangun? saya bantu" Valdo mengangguk lemah, meskipun terasa remuk, Valdo yakin masih bisa menggerakkan kakinya. Orang-orang itu tidak banyak memukul bagian kakinya. Melihat anggukan Valdo, Qiana perlahan membantu Valdo bangun. Suara risingan Valdo sesekali menghentikan gerakan Qiana. "kakak masih kuat?" Qiana memastikan. Valdo kembali mengangguk lemah. Berhasil bangun, tangan kanan Qiana melingkar di perut Valdo, menuntun Valdo berjalan, sedangkan Valdo menjadikan pundak Qiana pegangan. Lambat tapi pasti, mereka sudah memasukin jalan dengan kanan-kiri rumah yang berdempetan, sudah dekat dengan kosan Qiana.  Melihat tetangganya yang terkejut, Qiana segera meminta pertolongan.  "bentar, panggil yang lain dulu" ucap Dini, seorang perempuan seumuran Qiana, anak dari pemilik rumah yang letaknya ada di depan kosan Qiana. Qiana mengangguk, sampai di depan kosan, Dia langsung mendudukkan Valdo di kursi plastik. Segera dia buka pintu dan masuk ke dalam, mengambil handuk basah dan minum. "saya bersihin dulu darahnya" ucap Qiana lalu dengan perlahan mengusap lembut kulit Valdo. Tidak sampai bersih sempurna, tapi sudah lebih baik.  "minum dulu" Qiana menyodorkan gelas. Valdo menggeleng. Beberapa orang berdatangan, ke depan kosan Qiana karena info dari Dini. "langsung bawa ke rumah sakit. Tapi pake motor aja, gak ada mobil" usul seorang bapak. Qiana langsung mengangguk, hanya ikuti saran yang ada. Seseorang langsung mengambil motor dan membawanya ke depan kosan. Dibantu beberapa orang, Valdo sudah duduk diatas motor. "Qi, ikut! kamu jagaian mas nya biar gak jatoh" suruh Dini. Qiana mengerjap, ragu. "iya. Ikut, kamu kan yang tahu kronologinya" sahut ibunya Dini. Akhirnya Qiana ikut naik, beruntung ukuran motor lebih besar, jadi tidak terlalu sulit menganggut tiga orang dengan dua tubuh berukuran besar dan tubuh Qiana yang kecil. Motor melaju dengan cepat ke arah rumah sakit. Sampai di rumah sakit, Valdo langsung mendapat penangan. Sedangkan orang yang mengantarnya sudah kembali pulang. Jahat, padahal seharusnya dia ikut menemani Qiana. Qiana mengisi administrasi sesuai arahan petugas karena dia sama sekali tidak mengenal Valdo. Dia juga harus rela mengeluarkan uangnya. Meskipun terlihat sedikit bagi orang lain, tapi bagi Qiana itu cukup besar, jadi dia akan meminta ganti nanti. Dokter memberitahu jika kondisi Valdo sudah membaik dan sudah bisa di temui. Qiana masuk dan menemui Valdo, kondisnya kini memang lebih baik, tidak ada darah atau bekas darah lagi. Luka-luka sudah di obati dan beberapa di tutup perban.  "terima kasih" ucap Valdo pelan. Qiana mengangguk. "sama-sama" "saya Valdo" "Qiana" balas Qiana "oh iya, bisa sebutkan nomor telepon keluarga kakak? mau saya hubungi" Langsung Valdo menyebutkan nomor sang ibu. Qiana langsung menghubungi, memberitahu tentang apa yang terjadi kepada Valdo dan dimana mereka sekarang. Terdengar kepanikan dari ibu Valdo, segera Qiana  menenangkan dan memberitahu jika kondisi Valdo sudah lebih baik. Tiga puluh menit menunggu, Ibu Valdo datang, wajahnya begitu panik dan terkejut melihat kondisi anaknya. "abang" lirih Mira. "abang gak apa-apa bu." "gak apa-apa tapi bonyok" Valdo hanya membalas ucapan ibu dengan senyum.  Sadar akan keberadaan Qiana, Mira langsung tersenyum tulus. "terima kasih sudah tolong Valdo" ucapnya. Qiana mengangguk "sama-sama tante" "siapa nama kamu nak?" "Qiana tante" "sekali lagi, terima kasih ya, Qiana" "iya tante, oh iya. Qiana pamit pulang ya tente. Sudah larut" Mira mengangguk. "iya cantik" "tunggu" ucap Valdo yang langsung mendapat perhatian dari Qiana maupun Mira.  "nomor kamu, saya minta nomor kamu" ucap Valdo. Mira mengulum senyum mendengarnya. "bu, pakai hp ibu" suruh Valdo kemudian. Dengan cepat Mira menyodorkan ponselnya kepada Qiana, Qiana meraihnya dan mengetik nomor miliknya. "Ini tante, saya langsung save aja, yang tadi hubungi tante kan saya, pake nomor saya" Qiana mengembalikan ponsel tersebut. "Aduh, iya. Tante lupa" Qiana mengangguk "saya pamit ya tante, Kak Valdo" pamit Qiana.  Dia pergi meninggalkan Valdo dan ibunya, meskipun otaknya berdemo agar dia segera meminta ganti uang yang sudah di keluarkan, tapi hatinya mencegah dengan alasan kurang etis jika dia berbicara sekarang. "kalau rezeki gak kemana, tapi semoga di ganti" harap Qiana pelan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN