PROLOG

3082 Kata
~ Dunia tidak menua. Hanya saja, dunia terus berevolusi.~   #   Asap restauran. Bau sake dan soju saling bersinggungan didua restauran yang saling bersebrangan. Aroma daging dan bau busuk bekas makanan yang tak habis, menjadi satu kesatuan yang tak bisa lagi dihidu oleh pengguna hidung biasa.   Langit boleh gelap, tapi cahaya dari neon-neon raksasa tidak akan membuat kota ini menjadi gelap. Justru saat tengah malam adalah siang yang sebenarnya. Karena manusia di jaman ini akan bekerja lebih keras saat malam hari.   Layar datar yang tingginya hampir menutupi gedung dua puluh lima lantai itu menampilkan iklan yang menyilaukan mata. Tapi tak ada yang peduli karena kerumunan manusia itu terlalu sibuk dengan layar digital ponsel mereka yang super canggih. Jalanan mungkin ramai pejalan kaki, tapi tak ada diantara mereka yang saling bertabrakan. Manusia di jaman ini memiliki mesin gps yang akan memandu perjalanan mereka agar tak lagi tersesat ataupun tersandung batu sedikitpun.   Susah payah Tuhan menciptakan kedua mata untuk melihat, tapi manusia di jaman revolusi ini malah terlihat seperti manusia tunanetra. Bisa melihat namun tak lagi mengandalkan kedua mata mereka. Namun lebih memilih mengandalkan gps yang akan memberitahukan mereka segala hal. Baik itu rumput, benda, hewan, cuaca bahkan suhu tubuh mereka sendiri.   Transportasi umum pun kian berpacu. Kecepatan dan ketepatan waktu adalah segalanya. Ada yang berjalan di atas tanah, air dan bahkan udara. Semua transportasi umum memerankan peranan masing-masing dengan tepat dan cepat.  Tak ada lagi yang menggunakan bahan bakar berasap yang bisa merusak pernapasan. Di jaman ini, manusia saling memuliakan manusia. Kesehatan adalah segalanya. Maka segala polusi ditindak tegas demi menyehatkan bumi setelah beratus tahun yang lalu, manusia terus dilanda virus-virus aneh dan mematikan.   Dunia juga semakin aneh. Berlomba-lomba menjaga kesehatan namun juga meninggikan biaya kesehatan untuk bisa hidup selamanya. Yah..baru-baru ini bahkan perusahaan kesehatan mengklaim memiliki vaksin yang dapat memanjangkan umur manusia dan bahkan meniadakan penuaan. Bukan hanya itu saja, bahkan vaksin adalah barang yang sangat berharga dan harus didapat oleh setiap makhluk di bumi belahan manapun jika masih ingin hidup.   Dari bayi maupun lansia, mereka dipaksa untuk disuntikkan vaksin. Apapun jenis penyakitnya, pasti akan ada vaksin yang akan ilmuan itu dapatkan dan berikan bagi manusia yang memuja kehidupan abadi.   Karena itu, banyak ilmuan berlomba-lomba membuat vaksin yang dapat melindungi manusia dari serangan apapun. Tapi yang paling parah justru tingkat kesuburan manusia malah semakin menurun.   Karena terlalu banyak yang menganggap pernikahan hanya buang-buang waktu, maka reproduksi pun semakin berkurang. Di negara J saja, bahkan banyak produksi bayi tabung secara besar-besaran untuk meningkatkan populasi mereka. Dan hal itu tentu bukanlah barang yang murah. Di negara ini juga demikian. Semakin banyak manusia yang mulai nyaman dengan kehidupan pribadi mereka, semakin menurun pula tingkat kepercayaan terhadap cinta dan pernikahan. Hingga prosesi pernikahan dan memiliki anak, malah menjadi momen langka dan mahal di dunia ini.   Kembali ke semua rangkaian perubahan yang terjadi di tahun 2132 ini. Di mana manusia semakin ingin berevolusi dan maju. Mungkin hanya ada satu dari sekian banyak juga yang masih mencintai alam dengan apa adanya. Kita akan sedikit pergi jauh dari hiruk pikuk dunia modern di mana ada sebuah desa yang terlihat tertinggal jauh dari sentuhan modern. Desa tersebut bahkan dilindungi pagar besi setinggi tiga meter yang berfungsi menghalau sinar x atau sinyal yang mengawasi setiap daerah.   Mereka berdalih bahwa itu akan merusak semua tanaman mereka. Merusak ekosistem mereka dengan lampu-lampu neon yang awalnya difungsikan untuk pencahayaan yang malah berubah menjadi mesin pengintai. Sehingga keputusan untuk mengisolasikan diri adalah keputusan bersama bagi penduduk desa yang mayoritas sudah berumur di atas lima puluhan itu.   Tinggal sepasang lansia yang telah ditinggal kedua anak mereka merantau menikmati nikmatnya dunia yang baru, mereka sendiri malah menampung dua anak yatim piatu yang ikut bekerja bersama mereka hingga sepantasnya sekarang telah memiliki ladang strawberry mereka sendiri.   Han So Man dan sang istrinya kini bisa duduk santai menikmati hasil didikan mereka. Walau terkadang kedua anak yatim itu sering menganggap bahwa mereka tak perlu berterima kasih atas semua jasa yang mereka lakukan. Terlebih, kakak beradik itu merasa terlalu bekerja keras untuk membesarkan kebun mereka yang memiliki luas lima hektar itu. Sedangkan hasilnya, terkadang hanya dibuang kepada kedua anak mereka yang tak berguna di kota.   Han So Ji mendengus sambil mencium aroma daging yang dipanggang oleh bibinya di depan teras rumah. Ia sudah sangat lapar tapi pekerjaannya memetik strawberry belum selesai. Hingga keranjangnya yang terakhir belum penuh, So Ji sudah berbaring di tanah sambil menghentak-hentakkan kaki.   Ia merasa... kapan bisa membeli ladangnya sendiri agar bisa duduk setenang bibinya yang cerewet itu.   "Kak! Kapan sih semua ini berakhir?"   So Ji meringkuk sambil memainkan ulat yang bergerak melalui dirinya. Sang kakak yang ia ajak bicara malah tersenyum tipis saja sambil mengerjakan bagiannya yang terakhir.   Han Ko Ji si pekerja keras. Siapa yang tak kenal dia di seluruh kawasan desa ini? Pria yang telaten dengan senyuman yang irit. Pekerja keras hingga tak bisa bedakan siang ataupun malam. Sebagai pemuda yang rajin dan dapat diandalkan, maka tak khayal waktunya habis ia gunakan untuk berkeliling menjaga desa seperti seorang polisi patroli.   Kecermatan dan staminanya adalah idola. Pemuda itu bahkan tak pernah mengeluh saat ditugaskan apapun. Asalkan itu menghasilkan uang, ia akan lakukan. Hanya saja keramah tamahannya adalah kekurangannya. Ia terlalu dingin untuk diajak diskusi ataupun bercanda. Bahkan oleh So Ji sang adik perempuan satu-satunya yang ia miliki.   Ko Ji meletakkan keranjangnya dan segera memberikan tendangan sayang kepada So Ji yang masih bermain-main dengan ulat bulu. Gadis itu masih menekuk wajahnya saat kakaknya memberikan instruksi baginya untuk bangun.   "Jangan berbaring di tanah. Bajumu bisa kotor."   "Sejak kapan aku punya pakaian bersih untuk bekerja? Semuanya tetap bau karena harus kupakai berulang kali," sungut So Ji yang memilih bangkit meninggalkan pekerjaannya lalu berlari menuju rumah yang tengah ramai bakar-membakar daging oleh kedua lansia yang ia sebut paman dan bibi.   So Ji menelan ludahnya sendiri namun ia cukup tahu diri bahwa sang bibi pasti tidak akan rela berbagi dengannya.   "Hei So Ji! Cepat ganti baju dan mandi. Kita makan daging ini bersama," tawa bibi Im Na renyah. Seperti tengah makan sesuatu yang kering.   Mungkin itu cumi kering atau keripik kesukaannya untuk menemani dua botol soju di atas meja.   So Ji yang mendengar itu langsung mendengus. Rasanya aneh sekali jika sang bibi menawarkannya makanan apalagi sekelas daging rusa yang mahal harganya.   So Ji mendekat sambil memastikan apakah sang bibi benar-benar dalam keadaan sadar saat menawarkannya makanan.   "Bibi mabuk?" tanya So Ji penasaran.   Bae Im Na tentu saja tersinggung mendengar pertanyaan konyol anak perempuan yang tengah beranjak masa puber itu. Bukan hanya dirinya yang biasanya disebut simulut pedas. Sebenarnya gadis di hadapannya ini juga tak kalah pedas saat bicara. Apalagi dengannya.   "Kau ini. Mau atau tidak mau? Cepat mandi dan kita makan bersama," ucap Im Na yang sudah geram dengan So Ji yang selalu memancing emosinya itu.   "Kalau kau tidak mau juga tak apa. Mungkin butuh waktu lama lagi bagimu untuk makan dan memakai pakaian bagus seperti Ro Na (anaknya)."   "Bibi jangan menyamakanku dengan Ro Na," sungut So Ji kesal. "Memangnya kenapa? Ooh karena kalian memang sudah sangat berbeda. Iya kan? Aku memang menyekolahkannya dengan baik di kota. Sebentar lagi dia pasti akan masuk perguruan tinggi. Aah bahagianya aku."   "Kau ini, jangan bicara begitu!" tegur So Man yang sedari tadi hanya melambaikan tangan pada So Ji untuk bergabung dan cepat merasakan daging yang sudah siap santap itu.   Tapi karena sindiran bibinya itu, nafsu makan So Ji langsung pergi entah kenapa. Apalagi ketika ia harus mendengar pujian selangit pada sepupunya yang kleptomania itu. Ro Na jelas tidak akan seperti yang bibi Im Na harapkan. Gadis itu tidak punya harapan sama sekali.   Tak lama, Ko Ji datang dengan membawa sisa strawberry yang tak layak dipasarkan besok.   "Hei Ko Ji. Nasehati adikmu. Suruh dia bekerja lebih giat sepertimu agar bisa punya banyak uang. Jaman sekarang..kau tahu kan anak perempuan maupun laki-laki harus bekerja keras untuk dapat banyak uang? Jaman sudah semakin menggila. Uang adalah segalanya. Kau dengar itu So Ji?"     Bibi Im Na benar-benar bahagia dengan mabuknya. Membuat So Ji malas melanjutkan perdebatannya dan memilih langsung bergegas masuk ke rumah untuk membersihkan diri. Namun sebelum ia benar-benar masuk rumah, So Ji mendengar geraman bibi Im Na saat itu juga.   So Ji melangkah mundur untuk mendengarkan, perdebatan apa yang tengah terjadi kali ini.   "Da..darimana kamu bisa dapatkan uang sebanyak itu?" tutur bibi Im Na yang tengah melihat sebuah arsip surat kepemilikan tanah yang baru saja Ko Ji tunjukkan.   Ladang strawberry milik tetangga mereka yang baru-baru ini dijual, telah resmi menjadi milil Ko Ji dengan segel yang sah dan tanpa diketahui oleh paman dan bibinya itu.   Paman So Man memang tampak tak bisa mengatakan apapun, namun ia pasrah jika keponakannya telah memiliki usahanya sendiri. Dan mulai esok, mungkin ia takkan bisa lagi memperkerjakan Ko Ji dan So Ji lagi di ladang mereka.   Sedang istrinya, tentu merasa resah dengan usaha Ko Ji yang kini telah terlepas dari mereka. Terlebih ini artinya mereka akan mulai bersaing ke depannya.   "Paman dan bibi tidak perlu khawatir. Akan kupastikan untuk mencari reseller sendiri nantinya. Dan tidak akan menyinggung milik paman dan bibi."   Serangan garpu terbang menghampiri Ko Ji dengan cepat. Namun dengan tangkas pula Ko Ji menghindar serangan tersebut. Bibi Im Na merasa malu dan kesal hingga moodnya untuk makan daging pun lenyap. Baginya..ini bukan lagi pesta barbeque. Tapi pesta perpisahan dengan dua orang pekerjanya yang rajin.   "Omong kosong!" celetuknya lagi. "Sayang...apa kau tidak bisa melakukan sesuatu?"   "Melakukan apa? Itu sudah jadi cita-cita Ko Ji sejak dulu," jawab sang suami yang dengan santainya menyantap cumi kering bersama soju di hadapannya.   Dan istrinya, hanya bisa merengut sambil mengumpat melihat kejutan ini.   "YEAY! kakak memang yang terbaik!" pekiknya senang yang disambut senyum hangat dari Ko Ji yang baru saja melepaskan mantel kerjanya.   Kejutan yang lainnya juga ada untuk sang adik tercinta. Ko Ji menunjukkan dua tiket makan di restoran yang lagi-lagi membuat So Ji terperenyak dan tak berhenti melompat-lompat. So Ji membacanya dengan seksama dan ia kembali berteriak.   "Ini sungguhan?"   Ko Ji mengangguk, "Hum, cepat mandi dan kita pergi makan di luar."   "Keberuntunganku sudah datang! Yeaay sudah datang! Kakakkk! Kakak yang terbaik!" puji So Ji yang tak lupa memeluk kakaknya itu lalu beranjak cepat masuk ke dalam kamar untuk bergegas.   #   Angin bergerak menuju utara. Dinginnya seperti mulai terasa berbeda. Jauh diujung hutan, serigala mulai mati mendadak setelah memangsa para rusa. Namun beberapa dari serigala yang sudah mati tersebut, ada yang malah bangkit dengan mata penuh kelaparan.     Mereka bangkit dengan suara tulang yang mengilukan. Sebagian menggeliat dengan pola yang aneh. Sebagian malah tak bangkit lagi karena organ tubuhnya habis dimangsa sesama jenisnya. Mata mereka menyala tajam saat menghidu aroma makanan lain yang berada tak jauh dari jangkauan mereka. Dan tampak dari bayangan mata itu, mereka menatap kota yang penuh dengan lampu neon yang menyilaukan. Tapi larian para serigala tak lagi terarah. Mereka lebih sering bertabrakan dan menubruk perpohonan yang padat. Mata mereka benar-benar mengaburkan segala arah. Dan yang bisa membantu mereka untuk melihat adalah dengan cara mendengar. Suara langkah empat kaki lain yang mendekat ketakutan. Seekor rusa yang tersesat langsung bersiaga. Nalurinya memaksa untuk melarikan diri dari serigala-serigala kelaparan yang mulutnya penuh liur dan darah.   Rusa itu meringis sambil mencoba kabur. Tapi langkahnya terhenti saat sepasang tangan menyergapnya mati. Dan habislah ia hanya dengan sekali sobekan mulut besar seorang pria yang keadaanya juga tak jauh berbeda dengan para serigala.   Pria tersebut malah jauh lebih mengerikan ketika ia menoleh untuk.mengusir serigala yang datang untuk mengambil mangsanya.   Malam di hutan utara kian dingin. Namun tak menyurutkan niat kakak beradik ini untuk mengendarai mobil pick up mereka menuju pertualangan malam di kota.   So Ji sesekali berdendang dengan lagu trot jadul kesukaan kakaknya itu. Awalnya So Ji bilang kegemaran Ko Ji adalah yang paling buruk. Tapi mengingat hari ini adalah hari yang mengejutkan, maka nyanyian grup Seo Tai Ji yang melegenda itu terasa enak ia dengarkan.   Ko Ji menggeleng lucu melihat tingkah adik kesayangannya itu.   "Kak. Darimana kakak punya uang sebanyak itu? Apa hari ini kakak menang lotere?" tanya So Ji penasaran.   Sejak tadi itu saja yang ia bahas. Dan Ko Ji hanya membalasnya dengan jawaban yang sama. Yaitu "bukan". Atau "Jangan membahasnya lagi."   "Apa setelah ini kita akan jadi kaya?"   "Apa kita bisa punya rumah sendiri? Itu ladang yang luas kak, kenapa paman Chen menjualnya?"   "Istrinya ingin pindah ke kota," jawab Ko Ji singkat sambil membelokkan pick upnya menuju gelapnya hutan.   Desa kecil itu, selain melewati sawah luas terpaksa pula harus melewati hutan yang terbelah dengan aspal. Hutan yang masih melindungi seratus rusa liar itu sengaja dilestarikan untuk tetap menjaga ekosistem.   Meski tak sebanyak itu, negara tetap memfasilitasi. Terutama desa tempat mereka tinggal tersebut. Meski desa S menolak mendapatkan fasilitas seperti sinyal pengintai yang negara inginkan.   "Oh. Kenapa kak? Kota memang menggiurkan. Aku juga mau pindah ke sana satu hari nanti," angan So Ji yang dijawab dengan senyuman tipis saja oleh Ko Ji.     Mobil mereka berhasil memasuki terowongan. Sampai di sini jalanan sangat lengang dan lancar. Hingga lampu sorot mereka menampakkan sesuatu di hadapan. Yang membuat Ko Ji mau tak mau berhenti dengan mendadak.   So Ji ikut penasaran meski hatinya sedikit was-was karena perjalanan mereka akan terganggu. Karena bisa saja restauran yang mereka pesan akan segera tutup, kan?   "Kenapa kak?"   "Ada rusa mati di depan," ucap Ko Ji yang serta merta langsung keluar dari mobil tanpa rasa khawatir sedikitpun.   Rusa malang itu kepalanya nyaris putus. Mungkin penyebabnya adalah tertabrak mobil atau kendaraan yang melintas sebelumnya. Kejadian ini memang sering terjadi. Tapi yang berbahaya dan mengesalka  adalah, penabrak sama sekali tak bertanggung jawab dengan perbuatan mereka. Sering kali rusa yang mereka tabrak selalu dibiarkan saja di tengah jalan atau di pinggir jalan tanpa menguburnya.   Ko Ji yang jelas tak nyaman dengan hal itu memilih memindahkan rusa tersebut dan menyeretnya ke dalaa hutan. Ia juga mengambil sekop dan peralatan lain untuk membuat pemakaman yang layak untuk rusa malang itu   "Tunggu sebentar di mobil. Kakak bereskan ini terlebih dahulu."     So Ji ingin merengut saat itu juga. Tapi ia tahu sikap kakaknya yang takkan berubah pikiran jika ia membujuknya. Maka So Ji memilih mengalah dan kembali masuk ke dalam mobil dengan wajah yang tertekuk. Ko Ji melanjutkan pekerjaanya setelah benar-benar memastikan So Ji masuk ke dalam mobil.   "Jangan ke mana-mana."   "Hum."   Ko Ji beranjak, melanjutkan pekerjaannya. Menyeret rusa tersebut sampai ke pinggiran hutan. Setelah memeriksa tanah, ia akhirnya menemukan posisi yang tepat untuk membuat lubang. Maka ia mulai menggali dengan cepat untuk mempersingkat waktu.   Padahal waktu baru bergerak lima menit. Tapi So Ji sudah merasa bosan berada di dalam mobil. Suasana sepi di ujung lorong menjadi pemicunya. Meski radio telah dinyalakan, perasaan sunyi dan mencekam tetap saja tak menyurutkannya.   Biasanya So Ji akan santai saja melewati suasana ini. Tapi entah kenapa, hari ini sedikit berbeda. Apalagi saat So Ji melihat keluar bekas darah yang masih tersisa dari posisi di mana rusa malang itu ditemukan mati.   “Rusa itu kepalanya nyaris putus. Kalau tertabrak mobil besar pastinya terseret lebih jauh.”   So Ji menoleh ke belakang dan ia memutuskan untuk keluar dari mobil pick upnya. Menyusuri jejak darah dari rusa tersebut. Sekitar lima meter jaraknya. Itu berarti, rusa tersebut tak tertabrak mobil karena jaraknya yang terlalu dekat.   “Apa mungkin ditabrak sepeda motor?” gumam So Ji yang masih merasa ganjil. Bekas-bekas kaca atau percihan yang membuat kendaraan itu menabrak rusa juga tidak terlihat sama sekali. Umumnya, pasti ada bagian yang rusak di kendaraan. Apalagi melihat rusa tersebut bahkan lehernya nyaris putus.   “Aneh.”   So Ji masih termenung sendiri. Tanpa menyadari ada kllatan mata merah yang tengah mengamatinya. Penciumannya semakin menajam setelah ia bisa merasakan bau darah yang amat segar di depan matanya. Gigi runcingnya yang penuh dengan noda darah juga menunjukkan bahwa ia merasa kelaparan. Maka dengan cepat ia berlari seperti angin sambil menggeram.   So Ji mendengar geraman itu dan ia berbalik. Mengamati ujung lorong ia datang sambil menerka hewan apa yang tengah menggeram itu. Tangannya mulai mengepal sambil mencoba menelaah rasa penasarannya. Apalagi saat asap kabut malah menghalangi pandangannya yang ingin mengetahui berasal darimana suara tersebut.   Geramannya kian mendekat dan So Ji bisa melihat ada seseorang yang tengah berlari ke arahnya. Semakin mendekat bahkan engahannya pun kian terdengar. So Ji mulai mundur teratur tapi langkahnya malah sama sekali tak membuatnya beranjak secentipun dari sana. Lewat suara angin serta gemuruh yang mendekat itulah, So Ji bisa mendengar lenguhan panjang. Matanya terbelalak begitu asap tersebut menghilang bagaikan tersedot vacuum cleaner. Suasana ini benar-benar tak biasa. Dan So Ji menyesal karena tak mengendahkan perintah kakaknya untuk tetap berada dalam mobil.   Ko Ji selesai menggali. Lubang untuk rusa mati itupun telah selesai ia buat. Namun baru saja ia akan mengambil rusa tersebut, keanehan terjadi. Rusa itu menghilang dan hanya menyisakan kain yang ia bawa tadi. Ko Ji mengamati sekitar. Pendengarannya terasa sangat sensitive. Hingga ia bisa mengenal pasti bahwa itu suara engahan napas rusa mati tersebut. Ko Ji bersiaga. Matanya awas ke arah rusa yang berjalan dengan aneh. Sekop di tangannya siap diarahkan. Tapi ia tak yakin apakah itu cukup mampu untuk melumpuhkan seekor rusa yang ia yakini lehernya nyaris terputus namun bisa kembali bergerak layaknya Ia masih hidup.   Dan tak butuh waktu lama, rusa pun berlari sekuat tenaga menyerang Ko Ji dengan senjata daruratnya.   Suasana mencekam masih dirasakan sekitar So Ji. Gadis itu merasa masih diawasi. Ia sesegara mungkin masuk ke dalam mobil lalu mengunci dirinya sendiri.   Namun rasa aman itu sepertinya masih belum menghilang. Apalagi saat bak belakang mobil pick upnya bergerak seolah ada seseorang yang menaikinya. So Ji menolak untuk menoleh ke belakang, tapi rasa ingin tahunya begitu besar apalagi gerakan seseorang yang naik ke pick upnya itu kian kuat hingga arah depan mobil. Dengan keberanian yang tersisa ia mencoba bergerak. Memantau lewat kaca mobilnya yang tertuju langsung ke belakang.   Hatinya semakin menciut, kala pintu mobilnya kini terketuk. Disertai pegangan pintu yang memaksa untuk terbuka. So Ji berteriak memanggil kakaknya.   “Kakak!”   “So Ji? Buka pintunya,” panggil Ko Ji yang ikut merasa bingung dengan sang adik yang histeris.   So Ji langsung menurunkan kaca mobil sambil menghela napas lega.   “Kakak?”   “Kenapa mengunci semua pintunya? Dan kenapa berteriak tadi? Apa terjadi sesuatu?” tanya Ko Ji khawatir, namun So Ji malah memilih untuk diam.   “Apa sudah selesai?”   “Pasang sabuk pengamanmu. Apa kamu sudah mengantuk?”   “Tidak. Ayo kak..kita pergi. Aku sudah bosan menunggu,” sungut So Ji yang berpura-pura melupakan semuanya sembari mencoba menyenderkan kepalanya ke dinding kaca mobil.   Ko Ji mengangguk dan juga tak berniat menceritakan pengalaman apa yang baru saja dia alami tadi. Dengan terpaksa rusa tersebut ia tebas kepalanya hingga benar-benar tak bisa bergerak lagi. Kemudian ia menguburkannya sebelum akhirnya melihat bayangan aneh di ujung lorong tadi.   . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN