BAB 7: AKIBAT KECEMBURUAN MASSAL

1005 Kata
“Aduh!” keluh Eloisa. Dia lalu melihat banyak mahasiswi yang berdiri mengelilingi dirinya. Dia mengenali beberapa mahasiswi yang pernah masuk kelasnya. Dia langsung berdiri dan memasang ekspresi dinginnya. “Ada apa ini?” tanyanya kaku sambil memelototi para mahasiswi itu, mencoba mengingat nama mereka. “Tidak ada yang boleh melangkahi Darren Club. Jangan berpikir karena Anda seorang Dosen, maka Anda bisa seenaknya merayu Darren!” kata salah satu mahasiswi yang tidak dia kenal. “Merayu Darren?” ulang Eloisa. Dia tercengang. Siapa yang merayu siapa disini?! “Jangan berlagak bodoh! Aku melihatmu turun bergandengan tangan dengan Darren setelah kalian berciuman!” tuduh Clara sambil menunjuk Eloisa. Eloisa sebenarnya tidak mengenal wanita itu, tapi dia mengenali suara wanita itu. Wanita yang diputuskan si buaya di rooftop. “Kalian salah sangka. Bukan seperti itu kejadiannya!” bantah Eloisa. Dengan horor Eloisa berpikir kalau semua wanita ini adalah pacar si buaya dan dia akan dikeroyok. Tidak mungkin dia bisa melawan puluhan wanita yang marah karena cemburu. Bisa jadi pepes dia! “Ibu kan sudah tua, kenapa juga masih merayu Darren? Ibu harusnya ingat umur!” kata mahasiswi yang kalau dia tidak salah ingat bernama Nindy. Tua? dirinya dikatakan tua? Sialan para mahasiswi ini, usianya bahkan belum tiga puluh tahun! “Iya. Ibu pasti mengancam tidak akan meluluskan Darren kalau dia tidak mau bersama Ibu!” kata Clara memprovokasi teman-temannya dan rencananya berhasil karena sekarang semua wanita itu menatap Eloisa seakan ingin menelan wanita itu hidup-hidup. Kalimat itu membuat Eloisa kembali tercengang. Lah, dia bahkan bukan dosen pembimbing si buaya, jadwal dosen penguji sidang juga belum keluar. Bagaimana cara dia mengancam Darren? Kalimat Clara sudah menyulut emosi para wanita disana. Mereka sekarang berjalan semakin maju mendekati Eloisa. Dan Eloisa terus mundur hingga bokongnya menyentuh kap mobilnya sendiri. “Tunggu! Ini salah paham. Saya bukan dosen pembimbing si buaya, eh, Darren. Bagaimana saya bisa mengancam dia?” seru Eloisa panik. Dia belum mau bertemu sang pencipta sekarang, apalagi karena hal konyol semacam ini! Clara maju lalu mendorong kasar Eloisa lagi hingga wanita itu tersungkur di aspal. Kacamatanya terlepas, tangan dan sikunya lecet karena terbentur aspal, celana di bagian lutut dan lengan kemejanya juga sedikit robek. “Tidak mungkin Darren tertarik dengan perawan tua sepertimu. Jadi pasti kamu mengancam Darren!” kata Clara emosi lalu menginjak kacamata Eloisa. “Kau! Akan saya laporkan ke Rektor!” seru Eloisa marah saat melihat kacamatanya hancur. Bagaimana dia bisa mengendarai mobil untuk pulang kalau kacamatanya sekarang dirusak wanita itu? Kacamata cadangan dia ada di rumah. “Silakan saja. Nanti saya akan bilang pada Om Bayu kalau ada Dosennya yang kegenitan sampai merayu mahasiswanya sendiri!” balas Clara angkuh. Dia adalah keponakan Rektor, karenanya dia bisa bersikap semena-mena. Teman-temannya langsung menyorakinya untuk segera mengeluarkan Eloisa dari kampus. “Ada apa ini?” Terdengar suara maskulin yang membuat mereka semua menoleh ke asal suara dan mereka semua membeku di tempat. Eloisa tidak bisa melihat siapa yang datang karena di matanya sosok itu hanya tampak seperti bayangan tubuh pria yang tinggi dan gagah, namun dia mengenal suara itu. “Pak Darius?” tanyanya dan dia mendengar suara langkah kaki menghampirinya. “Bu Eloisa, Anda tidak apa-apa?” tanya Darius saat membantu Eloisa berdiri. “Terima kasih, Pak Darius. Iya, saya tidak apa-apa.” jawab Eloisa sopan sambil melepaskan pegangannya dari tangan Pak Darius. “Ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi disini?” tanya Darius dingin pada para mahasiswi yang sekarang menatap pria itu ketakutan tanpa berani menjawab. “Nanda Melisa, Ayu Putri, Riska Andani, kembali kemari!” seru Darius dan ketiga mahasiswi yang diam-diam berusaha kabur itu menghentikan langkahnya dan berjalan kembali ke kelompoknya sambil meringis. “Clara Suyanti, Rini Arimano, Julia Valen, Yuana Sinta, Cintia Labela, Larasati Angraini, Yola Anekar, …,” panggil Darius seperti sedang absen di kelasnya. Dia menyebutkan satu per satu nama lengkap para mahasiswi itu yang juga mengangkat sebelah tangannya setelah dipanggil namanya. Eloisa takjub. Pak Darius bisa mengetahui nama lengkap semua mahasiswi ini? Hebat sekali daya ingat pria itu. “Siapa yang bisa menjelaskan ada apa ini?” tanya Darius sekali lagi dan para mahasiswi itu tetap diam. “Baiklah. Besok semua yang saya sebutkan namanya tadi ke ruangan saya jam sembilan pagi. Yang tidak datang atau terlambat, nilai semester ini E semua. Mengerti?” kata Darius tegas yang membuat mereka semua meringis. “Mengerti, Pak!” jawab mereka serentak. “Sudah. Sekarang semua pulang!” seru Darius lagi. “Baik, Pak!” jawab mereka serentak lagi dan langsung membubarkan diri, bahkan sebagian dari mereka berlari seakan dikejar setan. “Anda terluka, Bu Eloisa. Mari saya antar ke klinik dulu,” kata Darius setelah memperhatikan keseluruhan tubuh Eloisa yang kacau. Ada luka di beberapa bagian tubuh wanita itu, begitu juga pakaian yang digunakan wanita itu robek di beberapa bagian. “Ah, iya. Tapi tidak apa, nanti di rumah saja saya bersihkan lukanya,” jawab Eloisa. Dia sudah sangat bersyukur ada yang membantunya, dia tidak mau lebih merepotkan lagi. “Lukanya nanti bisa infeksi. Ayo!” panggil Darius lalu berjalan lebih dulu. Eloisa tidak punya pilihan, jadi dia berusaha mengikuti Pak Darius. Namun, tanpa kacamata dan kondisi sekarang di mana hari sudah gelap membuatnya kesulitan melihat jalan di depannya. Bug Darius menoleh dan melihat Eloisa tersungkur di tanah. Dia kembali menghampiri wanita itu. “Ibu tidak apa-apa?” tanyanya lagi, sekali lagi membantu wanita itu berdiri. “I-iya. Maaf menyusahkan. Tadi kacamata saya pecah, sehingga sekarang saya sulit untuk melihat jalan,” jawab Eloisa. Wajahnya merona karena malu. Akibat tidak menggunakan kacamata, dia tersandung karena tidak bisa melihat batu di depannya. “Mari, biar saya bantu,” kata Darius. Sebelah tangannya memegang bahu Eloisa dan sebelahnya lagi memegang tangan Eloisa. Mereka berjalan perlahan menuju klinik. Sampai di depan klinik, Darius meminta Eloisa menunggu disana sebentar, dia akan ke ruangan sekuriti untuk meminjam kunci klinik. Jantung Eloisa masih berdebar kencang saat Darius meninggalkannya. Sudah lama sekali sejak ada pria yang menggenggam tangannya seperti tadi. Dia tahu kalau Pak Darius hanya bermaksud membantunya, namun tetap saja jantungnya tidak bisa diajak kompromi. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN