"Apa yang kau lakukan, Shalom Vektor?!" bentak Kanagara tepat di depan wajah Shalom. Hingga rambut panjang gadis itu yang tergerai cantik. Kini, beterbangan bagai diterpa angin kencang.
"Memangnya apa yang kulakukan?" Alih-alih menjawab, Shalom justru melayangkan sebuah pertanyaan dengan polosnya.
"Sudah kukatakan padamu sebelumnya bahwa alasanku membebaskanmu dari penjara yaitu untuk merawat kakekku. Tapi, kenapa kau keluar tanpa melakukan tugasmu itu, gadis bodoh!" bentak Kanagara emosi.
"Sudah kukatakan sebelumnya juga padamu. Jika berbicara denganku tidak perlu berteriak karena aku bisa mendengarnya sekali pun kau berbisik," balas Shalom tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Aku tidak peduli! Bahkan aku berteriak pun kau tidak mau mendengarkanku. Apalagi jika harus berkata lembut padamu. Yang ada kau hanya akan semakin pandai melawanku," tolak Kanagara dengan tegas.
"Baiklah, baiklah, terserah kau saja. Aku hanya merasa kasihan dengan urat lehermu itu yang mengencang. Jika kau terus-menerus berteriak, lama-kelamaan urat-urat lehermu akan putus," kata Shalom lebih memilih mengalah.
"Sial!" umpat Kanagara.
"Jangan mengumpat, Tuan Kejam!" protes Shalom.
Pria itu terlihat mengepalkan tinjunya karena Shalom selalu berhasil melawan ucapannya.
"Tunggu, tunggu! Kau lepaskan dulu jemarimu." Shalom menyentuh kedua tangan Kanagara berusaha melepaskan kepalan tangan pria itu.
"Aku akan merawat kakekmu setelah aku membersihkan diri. Apa kau mau aku merawat kakekmu dalam keadaan kotor dan bau seperti ini?" tanya Shalom sambil mencium aroma tubuhnya.
"Benar juga yang dia katakan," batin Kanagara membenarkan ucapan gadis itu.
"Jangan lama-lama! Kasihan Kakek karena sekarang sudah lewat dari waktu biasanya," pinta Kanagara.
Biasanya, Kakek Candramawa akan mandi atau dibersihkan tubuhnya pada pukul tujuh pagi dan sekarang waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Dan itu bukan kesalahan Shalom karena Kanagara sendiri yang memberikan tugas berat dan membuat ulah dengan lumpur.
"Tidak, akan. Tapi, apa boleh aku memakai pakaian yang ada di kamarku?" izin Shalom. Ia takut jika memakai barang-barang di rumah itu tanpa izin akan membuat Kanagara murka. Meskipun barang-barang itu berasal dari gudang.
"Pakai saja sesuka hatimu," balas Kanagara dingin. Ia tidak akan peduli dengan pakaian apa yang akan Shalom kenakan. Terlebih, pakaian itu dari gudang yang bertahun-tahun tidak pernah tersentuh olehnya.
"Baik, terima kasih."
Shalom berjalan melewati Kanagara menuju kamarnya. Ia lekas membersihkan diri dan memakai pakaian yang ada. Semua pakaian yang ada di kamarnya masih sangat layak pakai. Banyak gaun dan baju santai lainnya. Pakaian-pakaian itu terlihat seperti pakaian baru yang hanya dipakai beberapa kali saja.
Gadis itu memilih celana pendek di atas lutut berwarna kopi s**u dengan kaos oblong berwarna putih. Ia menyisir rambutnya yang basah hingga menjuntai indah. Tanpa memakai riasan apapun, karena ia tidak memilikinya. Gadis itu langsung menuju kamar Kakek Candramawa. Tidak lupa dengan membawa perlengkapan untuk membersihkan tubuh pria tua itu.
Sampai di sana, gadis itu langsung membersihkan tubuh Kakek Candramawa dengan kain basah. Setelah itu, ia memijat tubuh pria tua itu dengan lembut dan telaten.
"Merawat Kakek Candramawa seperti ini, rasa-rasanya aku jadi ingat Mama. Kalau saja aku tidak dipenjara selama ini. Mungkin, aku masih bisa merawat dan selalu ada di samping Mama," bisik Shalom dalam hati. Air matanya menetes begitu saja tanpa gadis itu sadari.
Tanpa menghapus air matanya, Shalom duduk di lantai dan merebahkan kepalanya di pinggiran tempat tidur. Hingga tanpa ia sadari, rasa kantuk kembali menderanya. Ia mulai menguap dan perlahan kelopak matanya bergerak menutup bola mata cantiknya.
"Bangun, Nak! Kau akan masuk angin jika tidur di lantai seperti ini," ujar Rinda membangunkan putrinya.
Shalom terlihat menaikkan sudut bibirnya sambil bergumam, "Sebentar lagi, Ma. Shalom masih sangat mengantuk. Mama bisa bangunkan Shalom lima menit lagi nanti," pinta Shalom.
"Nona, Nona Shalom, bangun! Ini saya Penta bukan ibu Nona." Sejak tadi, Penta berusaha membangunkan Shalom hingga beberapa kali. Namun, Shalom justru mengigau dengan menyebutkan nama ibunya.
"Shalom mohon, lima menit lagi, Ma. Lima menit tidak akan membuat Shalom terlambat pergi ke sekolah," rengek Shalom masih belum menyadari bahwa yang membangunkannya bukan ibunya melainkan Penta, bodyguard yang Kanagara tugaskan untuk mengawasinya.
"Nona, Nona Shalom!" bisik Penta sambil mengguncang tubuh gadis itu.
"Astaga, Penta! Kenapa kau ada di sini? Mama aku mana? Bukankah tadi Mama yang membangunkanku?" tanya Shalom sambil mengedarkan pandangannya mencari sosok ibunya.
"Tidak ada Mama Nona Shalom di sini. Dari tadi saya yang membangunkan Nona dan Nona malah mengigau," jawab Penta menjelaskan.
"Sepertinya aku terlalu merindukan Mama sampai-sampai mengigau seperti ini," gumam Shalom membentur-benturkan dahinya ke tepi ranjang.
Tangan Penta bergerak lincah dan mencegah perbuatan Shalom, "Jangan menyakiti diri sendiri, Nona. Lebih baik Nona lekas keluar dari ruangan ini sebelum Tuan Kana menyadarinya."
Saat ini, Kanagara sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerjanya. Ia terlalu sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk memantau Shalom di kamar kakeknya. Jadi, sebelum Kanagara menyadari Shalom tertidur di kamar Kakek Candramawa. Penta lekas mengingatkan sebelum hal buruk terjadi pada gadis itu.
"Tapi, kenapa kau baik sekali padaku, Penta? Bahkan sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di rumah ini. Ya, walaupun kau sedikit kasar ketika di depan Pria Jahat itu," tanya Shalom penasaran.
Jika Penta mengetahui Shalom gadis yang telah menabrak tunangan Kanagara hingga tewas. Seharusnya pria itu ikut membenci Shalom karena ia merupakan orang terdekat Kanagara. Namun, sikapnya terhadap Shalom benar-benar jauh dari kata benci melainkan perhatian.
"Entahlah. Aku hanya merasa kau bukan gadis seperti itu," balas Penta.
Ia tidak tahu harus menilai Shalom seperti apa. Perasaannya mengatakan bahwa Shalom adalah gadis baik-baik. Jadi, ia hanya melakukan perintah Kanagara tanpa melibatkan perasaan apapun.
"Sepertinya hanya kau satu-satunya orang yang bisa menilai tanpa mengetahui kebenarannya," gumam Shalom, tapi masih bisa didengar oleh Penta.
"Maksud, Nona?" tanya Penta tidak mengerti.
"Ah, tidak. Baiklah, lebih baik kita keluar," ajak Shalom.
Shalom melangkah keluar diikuti Penta di belakangnya, layaknya seorang bodyguard. Sesekali, Shalom menoleh ke belakang karena merasa tidak nyaman.
"Tidak bisakah kita berjalan beriringan saja, Penta? Aku merasa sangat tidak nyaman. Rasanya seperti ada orang yang sedang membuntutiku," pinta Shalom.
"Tidak bisa, Nona. Di sini banyak kamera pengintai dan sudah menjadi tugas saya untuk selalu mengikuti Nona," tolak Penta.
Jika ia menuruti permintaan Shalom untuk berjalan beriringan dengannya dan Kanagara sampai melihatnya. Hal itu hanya akan menimbulkan kesalahpahaman lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, sebisa mungkin ia harus menghindari hal-hal seperti itu.
"Dasar pria kejam! Di manapun dia berada, dia tidak pernah bisa membuatku tenang," umpat Shalom.
"Memang itu tujuanku, Nona pembunuh. Aku sengaja ingin membuat hidupmu tidak pernah tenang," timpal Kanagara.