Bab 3

1349 Kata
Dulu .... Tiga puluh tahun yang lalu. Di bawah pohon randu besar yang berdiri kokoh di tepi sungai tidak jauh dari air terjun tinggi, di tengah lebat kawasan puncak Gunung  Lawu. Di bawah terang benderang nya sinar bulan purnama, sepasang suami istri yang sudah tidak muda lagi,  tengah menantikan kelahiran anak pertama mereka, anak yang sudah belasan tahun mereka nanti-nantikan kehadirannya. Sudah hampir satu pekan mereka menjadi pertapa di sana, duduk bersila menghadap pohon randu besar yang dipenuhi duri mencuat tajam di seluruh batangnya. Dengan berbagai sesaji tertata rapi, bunga setaman yang berada tepat di bawah anglo dengan kemenyan yang tidak berhenti mengepul. Juga tujuh cangkir kecil berisi darah ayam cemani hutan. Malam itu saat purnama bersinar tepat di atas kepala, sebersit cahaya berwarna putih dengan ujung kemerahan melintasi angkasa lalu melesat dan mendarat di pucuk pohon randu. Kedua manusia yang tengah mengikat perjanjian dengan mahluk tak kasat mata itu saling melempar senyum, lalu bersama bibir mereka bergerak merapalkan mantra. Hingga tak berapa lama tubuh keduanya terlontar beberapa meter ke belakang saat sebuah sinar menyilaukan keluar dari dalam batang pohon randu. Sukaesih nama perempuan berperut besar itu meraih cahaya yang mendekat ke arahnya, lalu membuka genggaman. Seringai penuh kemenangan terukir di wajahnya, saat mendapati mustika dari alam gaib yang baru berhasil di tariknya. Sang suami mendekat, tersenyum sempringah duduk bersimpuh di sisi tubuh sang istri. "Akhirnya, Esih. Kita bisa juga memiliki mustika ini." Kedua mata lelaki itu tampak berbinar tanda kebahagiaan yang ia rasakan. "Iya, Ki. Akhirnya kita berhasil." Sang istri menimpali dengan tersenyum lebar, senyum lebar yang tiba-tiba menghilang merasakan kesakitan luar biasa di punggung dan perutnya. Meskipun belum pernah merasakan sebelumnya tetapi ia yakin bahwa dirinya akan melahirkan. "Bantu aku, Ki. Sepertinya anak kita akan lahir," ucap Sukaesih sambil mengerang kesakitan. "Iya. Ini memang sudah waktunya dia lahir. Karena mustika yang akan menjadi miliknya juga sudah kita dapatkan." jawab Ki Selo. Tangan kanan Sukaesih tetap erat menggenggam mustika bernama ajijumantoro tersebut, sedang  tangan kirinya meremas tangan sang suami. Dengan sekali tarikan napas lalu mengejan, seorang bayi berhasil ia lahirkan. Namun, tanpa sempat melihat sang buah hati yang telah lama ia nantikan Sukaesih menghembuskan nafas terakhirnya. Seiring mengalirnya darah segar dari lubang hidung, lubang telinga dan mulutnya. Ki Selo mengambil bayi yang masih tengkurap di antara kedua paha sang ibu lalu menggendongnya. Matanya menyipit memastikan apa yang dia lihat. "Bagaimanapun rupamu, tapi aku pastikan kamu akan menjadi penguasa jagad hitam." lalu menggema tawa Ki Selo, memenuhi buana. Ki Selo mengambil mustika itu dari genggaman jenasah istrinya lalu pergi meninggalkan tempat itu, tempat yang tak terjamah hingga saat ini. *** "Namanya Randu Sekarwiyati, artinya bunga dari langit yang lahir di bawah pohon randu." suara Ki Selo terdengar penuh kebanggaan menyebut nama putrinya. Handoko dan Rangga mendengarkan dengan seksama. "Aku menukar nyawa Sukaesih untuk mendapatkan dia dan mustika ajijumantoro," Rangga tampak kesulitan menelan saliva saat mendengarnya, ada ketakutan luar biasa saat mendengarnya, "kalau kamu mau mendapatkan mustika itu, kamu harus menikahi pemiliknya. Menikahi putriku." imbuh Ki Selo, dengan tatapan tajam tepat terarah pada kedua netra Rangga. Seolah ingin memastikan tidak ada keraguan dalam hatinya. "Mak---maksudnya, Ki? Saya harus menjadikan dia istri saya?" tanya Rangga memastikan bahwa Ki Selo tidak salah bicara. "Iya, tidak ada pilihan lain. Diri kamu yang harus kamu jadikan penukar dari kekuatan mustika itu, dirimu sendirilah yang harus manjadi pengabdi kami, pengabdi tuah kami." jawab Ki Selo dengan suara lantangnya. Sejenak Rangga terdiam, selama ini menikah dan berumah tangga tidak pernah menjadi cita-citanya. Walaupun orang tuanya kerap mendesak agar dia meminang seorang wanita. Tapi bagi Rangga, seorang istri hanya akan menghambat semua obsesi dan ambisinya. Tapi kini jika menikah adalah satu-satunya pemulus jalannya, maka ia pun akan dengan mudah mengiyakan. Lagipula gadis yang duduk di sebelahnya ini juga gadis yang cantik, tidak kalah cantik dari Winda Pramasari istri Panji. "Kamu liat anak saya baik-baik." perintah Ki Selo. Lalu tiba-tiba, entah dari mana datangnya. Angin kencang berhembus membuat obor yang menempel di dinding bergoyang hampir padam. Juga membuat kerudung yang menutupi separuh wajah Randu terbuka, Rangga tersentak hampir saja ia menjerit melihat bingkai wajah Randu tanpa penghalang. Handoko mencubit lengannya menyadarkan kalau Rangga harus menjaga sikap. Bagaimana tidak terkejut jika wanita yang beberapa menit lalu ia puji kecantikannya ternyata berbeda. Hampir separuh wajah Randu, buruk rupa. Bukan seperti tanda lahir biasa tapi lebih menyerupai luka menganga, merah bagai daging tak berkulit yang pasti bisa membuat siapa pun bergidik ngeri melihatnya. Handoko mengusap wajahnya, menyadari Rangga sedari tadi tidak menyadari apa yang sudah lebih dulu ia lihat. "Bagaimana?" tekan Ki Selo. Rangga menatap wajah Handoko yang tampak pasrah, memberikan semua keputusan pada keponakannya tersebut. Rangga diam, menelaah lagi semuanya baik-baik. Lalu dipandangnya dalam-dalam wanita yang duduk di hadapannya. Tidak ada kepala tertunduk atau tatapan malu-malu khas gadis desa yang baru di kenalkan pada lelaki, tapi tatapan tajam mengintimidasi. Rangga melirik pada mustika yang ada di hadapannya, lalu sebuah keyakinan muncul. Ia tidak mau kalah dari Panji. "Iya, Ki. Saya setuju." jawab Rangga penuh keyakinan. Mereka bertiga menatap tajam ke arahnya, lalu terdengar tawa Ki Selo. Handoko hanya diam menepuk pundak Rangga. "Kalau begitu kita lakukan ritualnya tengah malam nanti." ucap Ki Selo. Lalu turun dari balai, melangkah memasuki ruang dalam rumahnya diikuti sang putri yang tidak lupa membawa mustika miliknya. *** "Kamu yakin? Syarat yang Ki Selo berikan itu sangat berat, dan wanita itu juga--," Handoko tidak meneruskan perkataannya hanya kedua pundaknya saja yang bergidik. "Aku yakin, Pakde. Karena aku tidak boleh kalah dari Panji." jawab Rangga mantap. "Tapi seumur hidupmu kamu akan terikat perjanjian ini." imbuh Handoko seolah meminta agar Rangga memikirkan lagi keputusannya, memang ia akui dalam hati jika yang mengajak Rangga ke sini adalah dirinya, tetapi ia juga tidak menyangka jika Ki Selo akan memberikan syarat yang begitu berat kepada keponakannya itu. "Udahlah, Pakde. Itu urusan nanti yang penting sekarang kita menang." bisik Rangga mendekatkan tubuhnya pada sang paman. "Ehem ...." Randu berdeham berniat menyadarkan kalau sudah ada dirinya di belakang mereka. Rangga dan Handoko terperanjat, dengan jantung yang hampir melompat dari tempatnya. "Ayo ikut aku." suara Randu terdengar sebelum membalikkan badan. Handoko dan Rangga tergopoh-gopoh turun dari balai, mengikuti langkah cepat Randu menuju hutan di belakang rumahnya. Tanpa ada sedikit pun penerangan, selain bulan purnama. Langkah Rangga sedikit terhambat oleh rumput liar yang tumbuh hampir setinggi dirinya. Di bawah pepohonan rimbun yang nampak lebih gelap karena cahaya rembulan tidak bisa menerobos lebatnya dedaunan. Tampak Ki Selo memutari sebuah gerabah besar berisi air, sambil komat-kamit mulutnya membaca mantra. Randu memberikan mangkuk besar berisi bunga-bunga segar, lalu pergi meninggalkan mereka. "Buka seluruh pakaianmu." ucap Ki Selo. "Hah?" Rangga terbengong mendengar perkataan Ki Selo. "Kamu harus di bersihkan." jawab Ki Selo. Ragu, Rangga mulai melepaskan satu-persatu pakaiannya. Kepalanya celingukan melihat ke arah Randu pergi, ia pasti malu jika terlihat tanpa pakaian oleh seorang gadis. Handoko hanya diam memperhatikan sambil memegang pakaian Rangga yang ditanggalkan. Rangga mengikuti aba-aba Ki Selo, memutari gentong besar tubuhnya menggigil saat Ki Selo mulai mengguyur tubuhnya dengan air bunga sambil membaca mantra yang entah berbahasa apa, telinga Rangga tidak jelas mendengarnya. "Masuk." perintah Ki Selo meminta Rangga memasuki gentong dan berendam di dalamnya. Rangga menurut, ia sedikit bergidik saat melihat Ki Selo menyembelih ayam hitam dan memasukkan darahnya ke dalam gentong tempatnya berendam. Entah berapa lama ia berendam hingga rasa dingin terasa membekukan tubuhnya. Ki Selo memintanya keluar dan mengenakan pakaiannya setelah ia selesai merapalkan mantra. Tidak lama Randu kembali dan berdiri di sampingnya. Ki Selo meminta mereka bergandengan tangan. Lalu ia mengambil ayam yang tadi ia sembelih, mencolek darahnya lalu mengoleskan di dahi Rangga dan Randu. Rasa jijik dan mual kembali Rangga rasakan tapi sekuat tenaga ia tahan. "Sudah. Sekarang kalian telah menjadi suami istri." ucap Ki Selo pada mereka. Mata Rangga terbelalak, semudah ini? Bisik hatinya. Sebagai manusia modern dan terpelajar tentunya ia tahu pernikahan harus tercatat di pengadilan agama, tapi ia tak ambil pusing mengingat yang ia lakukan adalah pernikahan gaib. Justru itu menguntungkan baginya, ia tidak perlu repot-repot dengan urusan administrasi kedepannya. "Randu, ajak suamimu ke kamar. Ini saatnya kalian melakukan ritual lebih lanjut." titah Ki Selo pada putrinya. Jantung Rangga berdegup kencang, ritual apa lagi yang Ki Selo maksud?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN