SAY - Interested in her

1133 Kata
“Sudah 3 hari kamu mengerjakan itu dan masih belum selesai. Perlu aku bantu?” Pulang mengajar dan makan siang, Leah menyicil mengerjakan laporannya di depan televisi. Lalu setelah mengajar les, Leah kembali melanjutkan kerjaannya hingga malam. Jadi wajar saja Ben bertanya. Ben melihat bagian depan halaman kertas. “Sepertinya ini berbeda dari yang kemarin.” “Ini milik guru lain,” Leah berkata. “Kenapa kamu yang mengerjakannya?” “Mereka meminta tolong. Sudah sewajarnya aku menolong mereka karena mereka mengandalkanku.” “Apa mereka sering mengandalkanmu seperti ini?” “Iya.” Ben yang sangat lama menatapnya dan menahan kesunyian di antara mereka kemudian berbicara, “Apa kamu tahu, Leah? Kebaikanmu bisa menjadi boomerang untuk dirimu sendiri.” Leah mengangkat sebelah alisnya sambil mengunyah. “Terima kasih atas kekhawatiran Anda, Pak Benjamin. Saya akan mengingatnya.” Ben tahu Leah hanya mengatakannya lalu-lalang saja dan dia tidak melanjutkan hal itu. “Setelah makan, ingin menemani aku ke luar? Aku ingin membeli bahan makanan, jadi bantu aku membawa belanjaan nanti.” Leah yang menyeruput mie sepanjang yang ia bisa melirik Benjamin di sebelahnya. Setelah mengunyah beberapa saat barulah dia bisa menjawab, “Oke. Saya juga perlu membeli bumbu dapur.” Sudah satu minggu terhitung sejak hari pertama mereka makan bersama dalam suasana tenang dan … bersahabat? Leah tidak tahu pastinya karena ini pertama kalinya dia tinggal serumah dengan pria asing. Hanya, setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama di dalam unit Leah baru menyadari bahwa tinggal bersama Benjamin di sini bukanlah ide buruk. Pria ini tidak menakutkan seperti yang Leah pikirkan sebelumnya. Mereka bahkan makan mie bersama di depan televisi sekarang. Dan kejadian kamar mandi juga tidak lagi Leah pikirkan. Diam-diam Leah melirik Benjamin yang baru saja menghabisi mie kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju wastafel. Leah berdesis di dalam hati. Dia mengaku bahwa dia yang terburuk. Bisa-bisanya memiliki pemikiran buruk seperti itu pada penyelamatnya. Mungkin Leah harus menyadarkan dirinya sendiri tentang pahlawan mana yang memberinya tempat tinggal dengan harga murah dan makanan gratis? Seharusnya dia berterima kasih pada Benjamin, bukannya menjelekkan pria itu. Bicara tentang makanan gratis, hingga sekarang Benjamin tidak mengeluh tentang Leah yang makan gratis di sini. “Ini semacam bentuk simbiosis mutualisme. Aku menyediakan bahan makanan, kamu menyediakan tenaga,” kata Benjamin ketika Leah bertanya kemarin. Pria itu sudah menyediakan uang untuk membeli bahan makanan jadi Leah harus memasak dan mencuci piring bisa mereka lakukan bergantian. Setelah dipikirkan itu terdengar memang sama-sama menguntungkan mereka. 10 menit kemudian setelah selesai makan mereka sudah siap ke luar. Karena tempat yang mereka tuju cukup dekat dari apartemen, mereka hanya berjalan kaki. Membeli dengan mode cepat, mereka hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit di sana sebelum keluar dengan 3 kantong belanjaan lumayan besar dan 1 paper bag. Setelah keluar dari fresh market, Leah menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan, yaitu tidak suka terlalu lama dalam hal berbelanja. Di dalam lift, Leah bersandar di belakang kabin sambil mendongak menatap nomor lantai yang berubah tiap mereka menaiki lantai demi lantai. Benjamin di sisi lain juga menyandarkan tubuhnya ke belakang dan berdiri di sebelah Leah. Kedua tangannya masing-masing memegang kantong sedangkan Leah membawa 1 kantong dan tangan lainnya memeluk paper bag agar tidak bocor dari bawah. Lalu ketika hanya mereka berdua saja di dalam lift dengan suasana tenang yang nyaman, mendadak saja Benjamin memanggil Leah, “Leah.” Leah menoleh membalas tatapan serius Benjamin sambil mengangkat alisnya bertanya, "Ya?" “Aku pikir aku tertarik padamu.” Bencana. Hal yang tidak disangka-sangka Leah datang begitu saja. Leah sungguh terkejut dengan penyerangan tiba-tiba dari Ben hingga dia susah untuk merespon pria ini secepat yang ia bisa. Bibir bergetar dan agak bigung, Leah berteriak, “EEHHH …?!” *** Mencuci peralatan makan, Leah menegang. Hal itu karena ulah Ben yang berdiri tepat di belakangnya. Sangat dekat, tanpa jarak dengan alasan ingin mengambil gelas baru di kabinet atas kepala Leah. Hembusan napas hangat pria itu mengenai lehernya membuatnya bergidik. Leah membersihkan tenggorokkannya dan bergeser ke samping, terus melanjutkan pekerjaannya. Di saat Leah mengeringkan peralatan makan, Ben kembali berulah. “Maaf,” ujarnya ketika tangannya seakan ingin memeluk pinggang Leah hanya untuk mengambil handuk tangan. Gerakan tangan Leah berhenti dan memejamkan matanya. Dia masih ingat apa yang pria ini katakan hari itu. “Aku hanya mengutarakan apa yang aku rasakan. Bukan berarti aku memaksamu untuk menyukaiku juga. Kamu tidak perlu merasa tertekan atau terbebani dengan pernyataanku.” Bukankah dia sendiri yang bilang dia tidak akan memaksaku? batin Leah kesal. Tiba-tiba saja, wajah Ben sudah berada di sampingnya ketika Leah membuka matanya. Saking terkejutnya, tangannya gemetar dan melepaskan gelas kaca. Dan untung saja, Ben dengan sigap menangkapnya sebelum pecah. “Hati-hati, Leah.” Suara itu sungguh membuat Leah bergidik. Mundur beberapa langkah dengan wajah merahnya, Leah menunjuk Ben. “A-Anda— Apa yang kau lakukan?!” “Aku ingin mengambil piring,” jawabnya dengan tenang. “Kau pikir aku mudah ditipu?! Kau sendiri yang bilang kalau tidak ingin memaksaku, jadi kenapa kau selalu seperti ini?!” “Seperti ini? Memangnya, seperti ini maksudmu itu seperti apa?” Apa Leah harus menjabarkan sikap aneh Ben semenjak apa yang pria itu ucapkan di dalam lift beberapa hari yang lalu?! Ke mana pun dan apa pun yang dia lakukan di dalam unit, Ben sama sekali tidak memberinya ruang. Pria ini terus-menerus berada di jarak terdekatnya dengan Leah. Itu membuat Leah merasa tidak nyaman dan risih. Leah mencoba bersabar dan tidak marah. Dia membasahi bibirnya sebelum berkata setenang yang ia bisa, “Hari itu, aku benar-benar terkejut sampai lupa mengatakannya bahwa aku tidak tertarik padamu.” “Itu bukan masalah besar.” “Apa?” Leah menatap pria yang saat ini tengah berpikir serius sambil memegang dagunya. “Rasa tertarik dan suka akan datang pada saatnya, jadi tidak perlu terburu-buru.” “Bukan itu maksudku. Mau hari ini atau nanti, aku tidak akan tertarik atau menyukaimu.” “Kenapa?” “Karena kau bukan tipeku?” “Memangnya seperti apa tipemu?” “Seperti—” Hampir saja terkecoh omongan Ben, Leah berdesis kembali bersikap sopan. “Apa Anda lupa ucapan Anda sendiri, Pak Benjamin? Anda bilang tidak akan memaksa saya.” “Aku tidak memaksamu.” “Anda melakukannya! Oh Tuhan!” Leah kembali marah. “Itu tidak. Aku hanya membantumu.” “Kau memaksaku! Bukan membantuku, Pak Benjamin yang terhormat! Perlu kau ingat, aku tidak perlu bantuanmu untuk menyukaimu. Jadi kumohon, tolong jangan terlalu dekat seperti tadi.” “Santai, Leah. Kamu tidak perlu marah-marah. Jika kamu merasa tidak nyaman dengan perilakuku, aku akan berhenti melakukannya.” Leah mengerjap. Segampang itu? “Sungguh?” “Hm.” Ben mengangguk pelan. Melihat Leah yang sepertinya tidak percaya dengan menyipitkan matanya, Ben tetap mempertahankan raut seriusnya. “… Oke.” Ben berbalik dan berjalan menuju kamarnya. Mengingat kembali wajah lucu Leah membuatnya tersenyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN