Di dalam kamar, Leah menenggelamkan wajahnya ke bantal. Dia benar-benar malu. Dia menyadari dia yang salah dan sikapnya konyol tadi. Bahkan untuk menutupi kekonyolan dan kebodohannya, Leah malah memperparah tingkah konyolnya.
Leah mengangkat wajahya. “Tapi aku kan sudah minta maaf.”
Terserah pria itu mau menerima permintaan maafnya atau menolaknya, dia tidak perlu peduli. Jika sudah meminta maaf, kesalahannya otomatis terhapus. Iya, kan? Lagipula tadi itu tidak sengaja. Itu semua gara-gara lampu mati. Leah kaget karena gelap makanya mereka berdua berakhir di kondisi kurang mengenakkan seperti itu. Dan karena lampu benda mati, mana mungkin Leah menyalahkan lampu.
Memikirkan itu beberapa detik yang sunyi, Leah memejamkan matanya dan mengerang. “Kenapa aku seperti anak kecil?!”
Tapi ada satu hal yang sedikit mengganggunya tadi .… Benda itu. Di tangannya. Bisa bergerak! Leah membawa tangannya memangku dagunya. Raut wajahnya terlihat berpikir kuat dengan topik itu. Dia mempelajari sesuatu.
Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk membuat dia kaget dan secara refleks melompat dari tempat tidur seraya menoleh ke pintu. Leah tetap di tempatnya untuk beberapa waktu namun tidak mendengar apa-apa lagi dari pintu.
Apakah dia sudah pergi?
Akhirnya Leah menurunkan kakinya ke lantai dan beranjak dari tempat tidur dengan langkah tanpa menimbulkan suara. Membuka pintu kamarnya sepelan mungkin, dia tidak melihat sosok Benjamin di depan kamarnya. Menyembulkan kepalanya pun dia melihat sekeliling unit juga sepi.
Leah mengerutkan dahinya kesal. Leah pikir Benjamin ingin menjelaskan mengenai tadi dengan perasaan menyesal. Tapi hanya karena Leah lama membuka pintu pria itu langsung tidak jadi? Leah mendengus.
Ketika dia hendak menutup kembali pintu, matanya menangkap sesuatu di lantai. Dia menurunkan kepalanya dan melihat tasnya yang lupa ia bawa tadi dan … sebuah kertas?
Leah memiringkan kepalanya. “Surat?”
Leah mengambil tas dan kertas itu, lalu membacanya karena penasaran.
‘Maaf, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini. Tapi hal ini terus menggangguku hingga sedikit melukai harga diriku. Kamu pasti tidak ingin bertatap muka denganku malam ini. Dan aku tidak bisa menunggu besok pagi untuk membahas fakta ini. Penisku, tidak sekecil pisang milikmu. Aku bahkan mengukurnya dengan pisang itu sebagai bukti.’
Hawa panas naik hingga ke kepalanya hingga membuat wajahnya memanas dan merah. Seketika Leah jatuh terduduk dengan lemas.
Mengukurnya dengan pisangnya …. Dengan pisangnya?!
“TERKUTUKLAH KAU k*****t!”
***
‘Apakah Mr. P itu hidup?’
Mengetik kata ini di mesin pencarian, Leah menggulir segala macam situs yang memberinya pengetahuan. Matanya bergerak dari kiri ke kanan mengikuti penjelasan di ponselnya dengan kerutan di dahi. Ini semua tidak menjawab pertanyaannya dengan baik. Ataukah Leah saja yang tidak paham dengan penjelasan di situs-situs ini? Jadi, Leah lebih memfokuskan dirinya untuk membaca penjelasan versi kesehatan.
“Tentu saja.”
“Ya Tuhan!” pekik Leah seketika setelah mendengar suara di samping telinganya. Dia menoleh ke samping dan melihat wajah Esther yang terlalu dekat. Dia kemudian melihat ponselnya lalu kembali ke Esther. Sejak kapan wanita ini berdiri di belakangnya?!
“Aku penasaran ke mana temanku padahal jam istirahat segera habis. Tidak disangka dia sedang sembunyi-sembunyi mencari tahu tentang hal memalu—”
“Aaakh Esther!” Leah menutup mulut Esther panik. Dan Esther tertawa. Setelah Esther mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, dia kemudian melepaskannya.
“Kenapa kau penasaran dengan itu, Leah? Apa kau pernah melihat senjata mereka berdiri?”
Leah dengan cepat menyimpan ponselnya seraya berdeham canggung. Dia melirik ke kanan kiri lapangan kosong yang masih sepi lalu menatap Esther dengan tajam. Namun temannya itu hanya terkekeh.
“Santaikan punggungmu, Leah. Tidak ada yang berani kemari selain kau. Jadi?”
Leah merapikan rambutnya ketika menjawab, “Aku tidak ada kerjaan saja.”
Esther duduk di sebelahnya sambil memicingkan mata membuat Leah lebih gugup.
Leah pun berdecak. “Temanku bercerita jika milik suaminya akan berdiri jika dia pegang. Lalu aku mencari tahu tentang itu karena penasaran. Jadi jangan berpikir macam-macam!”
“Bukan maksudku untuk menghinamu atau apa, Leah. Tapi temanmu satu-satunya hanya aku,” Esther berujar pelan. Suaranya terdengar lembut namun seperti panah tajam yang menancap ke dadanya menyebabkan dia diam seribu bahasa. Sungguh miris bagi orang yang tidak memiliki banyak teman, dia tidak bisa berbohong seperti ini.
“Well, tanpa kita pegang juga mereka bisa ereksi.”
Leah mengedipkan matanya polos. “Sungguh?”
Esther mengangguk. “Kekasihku pernah berkata, duduk bersebelahan tanpa bersentuhan saja bisa menimbulkan keinginannya.”
“Kekasihmu m***m,” Leah berkomentar.
Esther tertawa geli. “Dia tertarik padaku. Jadi wajar saja dia ingin.”
“Aku pikir aku tertarik padamu.” Leah termangu dengan ingatannya.
“Jadi, milik siapa yang kau pegang, Leah?”
Leah tidak menjawab. Namun wajahnya memerah membuat Esther tersenyum nakal.
Temannya itu tiba-tiba saja menjerit dan bersemangat. “Ya Tuhan, selamat, Leah!”
“… Selamat?”
“Ya! Kau punya kekasih baru, kan? Aku tidak menyangka baru juga pacaran sudah melakukan itu.”
“Kekasih? Tidak. Aku tidak punya kekasih.”
Esther menahan napas penuh dramatis. “Oh Astaga. Leah-ku tidak sepolos yang aku kira ternyata. Ternyata, kau lebih nakal daripada aku. Jadi, pria acak mana yang tidur denganmu?”
“Tidur—” Setelah meresapi perkataan Esther, Leah membuka mulutnya selebar yang ia bisa. Tidak percaya dengan pikiran temannya sendiri. “Ya Tuhan, Esther! Aku tidak tidur dengan pria mana pun!”
“… Terus?”
“Aku tidak sengaja menyentuhnya yang aku pikir itu adalah pisangku dan benda itu bergerak! Kami tidak sampai pada tahap yang ada di kepala cantikmu!”
“Kau tidak bisa membedakan yang mana kejantanan dan pisang, Leah?”
“Mana aku bisa!” Leah hampir menangis. “Saat itu aku panik dan jatuh dari kursi.”
“Lalu kau mengatakan alasanmu tidak sengaja memegang miliknya?”
“Tentu saja! Nanti dia berpikir jika aku melakukannya dengan sengaja!”
“Terus? Memangnya pisangmu sebesar apa?”
Leah yang masih gelisah dan malu berpikir cepat sambil menggigit kukunya. “Kau ingat tadi pagi saat kau ke ruang kelasku mengajar, mengantar bukuku yang ketinggalan di ruang guru.”
Esther mengangguk. “Hu-uh.”
“Kau melihat buah pisang yang dimakan Aurora di dalam kelas, kan? Nah pisang itulah yang aku pikir aku sentuh.”
Esther mengingatnya dan mulutnya terbuka lebar.
“Esther, jangan tertawa!” Leah mengingatkan Esther.
“Tidak. Aku pikir itu lumayan.”
“Tapi dia bilang miliknya tidak sekecil itu,” suara Leah menjadi kecil dan bergetar. Memikirkan kembali isi pesan di kertas kemarin malam membuat mata Leah berkaca-kaca. Tidak diragukan lagi, sebentar lagi dia akan sungguh-sungguh menangis seolah seseorang sedang merundungnya. Dia menutup wajahnya dan berteriak menggemaskan, “Huaah! Aku tidak ingin membicarakan ini lagi! Gara-gara semalam, pisang untuk sarapanku tidak bisa aku makan!”
Leah berlari meninggalkan Esther yang tertawa geli sendirian. Di saat Esther ingin menyusul Leah, reka percakapan mereka beberapa saat yang lalu kembali masuk ke kepalanya. Memikirkannya sejenak, tiba-tiba saja dia menahan napasnya sambil menutupi mulutnya yang terbuka dengan jemarinya.
“Oh Tuhan ….” Esther menatap pintu yang menuju ke bangunan sekolah. Leah sudah menghilang dari pandangannya. “Ya Tuhan. Sudah sejauh mana kedekatanmu dengan Pak Gabriel, Leah?”