SAY - Sleep well and sweet dreams

1166 Kata
Benjamin meletakkan piring bekasnya di atas nakas lalu memandang Leah yang memakan cake dengan lahap. Jika tidak melihat angka di termometer, orang lain akan berpikir bahwa wanita ini pura-pura sakit. “Apakah enak? Walaupun sakit kamu makan sangat lahap dari yang aku kira.” Leah mengangguk antusias. “Ternyata ini rasanya kue yang dijual di toko. Ini pertama kalinya saya memakan kue ulang tahun.” Benjamin mengangkat sebelah alisnya. “Kamu tidak pernah makan ini sebelumnya?” Dengan malu, Leah mengangguk sambil tersenyum. “Saya harus berhemat.” “Walaupun bekerja di dua tempat? Bukankah penghasilanmu lumayan besar dengan tubuh semungil itu?” “Sebagian besar penghasilan saya berikan ke keluarga saya.” “Itu bagus untuk memberikan sebagian penghasilan ke orang tua. Tapi harusnya ada simpanan untuk liburan atau makan enak misalnya. Jangan bilang kamu tidak pernah melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan hasil jerih payahmu.” Bukannya menjawab, Leah hanya tersenyum lalu mengambil sesendok cake lagi. Namun itu sudah cukup menjadi jawaban untuk Benjamin. “Jadi, untuk apa kamu bekerja terlalu keras jika berhemat yang berlebihan? Kamu menabung untuk membeli rumah?” Mengalihkan tatapannya, Leah bergumam acak, “Kurang lebih seperti itu.” Benjamin berdesis. “Kepala sekolah tahu kamu bekerja di mini market saat itu?” “Tidak. Jika pun pihak sekolah tahu, mereka tidak akan mengganggu pekerjaanku.” “Apa kamu tidak tidur?” “Tentu saja tidur. Pulang dari sekolah saya jadikan waktu malam saya. Nah, karena sekarang saya mengajar les sore, saya mendapat waktu malam saya kembali.” Mendengar jawaban Leah hingga sekarang, Benjamin hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia menghela napas lalu bergumam, “Ternyata kamu sangat suka bekerja keras.” “Tidak ada yang suka bekerja keras, Pak Benjamin. Saya seperti orang kebanyakan yang punya impian punya uang banyak tanpa bekerja. Tapi, saya bukan anak orang kaya. Dan juga jika kita tidak bekerja keras, bagaimana kita bisa bertahan hidup, iya kan?” Benjamin mengedikkan bahunya. “Entahlah. Aku tidak pernah bekerja terlalu keras.” Bicara tentang bekerja, rasa penasaran Leah tentang monitor-monitor di kamar Benjamin kembali muncul. Dia mencondongkan tubuhnya dan bertanya, “Ngomong-ngomong, Pak. Apa Anda benar-benar bukan pro player?” Benjamin memejamkan matanya sambil menghela napas. “Ini kedua kalinya kamu memanggilku Pak, Bu Leah.” Leah terkekeh singkat. “Youtuber?” Benjamin menggeleng. “Lalu apa yang Anda lakukan dengan komputer Anda? Tiap saya pulang mengajar Anda selalu berada di rumah artinya Anda tidak keluar rumah untuk bekerja. Anda tahu pekerjaan saya, tapi saya belum tahu pekerjaan Anda .... Oh tidak mungkin!” Leah menatapnya dengan ngeri. “Anda mendapatkan uang dari menipu lewat komputer? Wah, hebat ... Jujur, saya tidak pernah terpikirkan sampai ke sana untuk mencari uang.” Benjamin terkekeh singkat merasa lucu. “Freelance Software Developer.” Leah mengedipkan matanya tidak mengerti. “Programmer?” “Bukan. Tapi, yah tugas kami kurang lebih sama. Hanya saja cangkupanku lebih luas.” “Terdengar menghasilkan uang yang banyak,” Leah berseru. “Lalu Anda bekerja pada banyak orang berarti?” Benjamin mengangguk singkat. “Lebih enak bekerja sebagai freelance dibandingkan menjadi pekerja tetap. Aku bisa bekerja di waktu dan tempat sesuka hatiku.” “Anda terdengar seperti seorang introvert.” Leah tertawa sejenak. “Sudah berapa proyek yang Anda tangani?” “Sudah lebih dari 7 tahun aku bekerja sebagai itu, mana mungkin aku menghitungnya.” “Wah ... ternyata Anda lebih hebat dari yang saya pikirkan.” “Memangnya sebelumnya apa pendapatmu tentangku?” Leah secara naluriah membersihkan tenggorokannya ketika Benjamin memicingkan mata ke arahnya. Setelah meminum air mineral beberapa teguk, Leah kembali berbicara, “Jika Anda seorang freelancer, bukannya Anda bekerja paling keras dari saya? Anda pasti mengambil beberapa proyek dalam satu bulan, iya kan? Bagaimana jika ada error atau semacamnya, saya dengar coding yang error membuat pusing programmer.” “Bukankah aku sudah bilang aku tidak pernah bekerja keras?” Leah mengedipkan matanya polos sambil memiringkan kepalanya. Ben menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi. “Aku sebenarnya pemalas. Aku juga tidak mau bekerja jika saja uang tidak diperlukan untuk membeli makan dan kebutuhan. Dan kamu tahu apa bedanya orang malas dan orang yang bekerja keras?” Leah menggeleng pelan. “Orang malas memiliki pemikiran ingin menyelesaikan pekerjaan lebih mudah dan cepat. Jadi, untuk menjawab pertanyaannya tadi, aku menyelesaikan tugasku dengan cara yang cepat agar memilik banyak waktu luang.” Leah terdiam. Dia kagum dengan pemikiran cerdas Benjamin. Pria ini bisa menghasilkan uang hanya dalam beberapa jam saja. Namun di sisi lain, Leah merasa rendah diri dan malu. Dia bekerja keras pagi dan malam tapi tidak menghasilkan pendapatan yang melimpah. Pemalas dan pekerja keras yang dibicarakan Benjamin bukankah sangat mendeskripsikan mereka berdua? Benjamin yang tidak melepaskan pandangannya pada Leah, melihat wanita itu menunduk dan terdiam menatap sisa cake di pangkuannya tanpa minat. “Apa yang kamu pikirkan?” Leah tersenyum samar. “Saya pikir saya lebih cerdas dibandingkan Anda karena saya seorang guru. Tapi setelah mendengar pekerjaan Anda, Anda ternyata lebih hebat. Anda bahkan bisa menyelesaikan pekerjaan dalam waktu singkat karena malas.” “Kamu juga bisa menjadi pemalas.” Leah menggeleng sambil terkekeh. “Begitu saya menyelesaikan pekerjaan di sekolah, tugas lainnya akan datang.” “Pekerjaan milik guru lain maksudmu?” Leah membuka mulutnya sedikit namun tidak mengatakan apa pun. “Kamu bisa menolaknya.” “Mereka membutuhkanku.” “Mereka memanfaatkanmu,” Benjamin berkata dengan sabar dan tenang. “Dan apa yang kamu hasilkan dari membantu mereka?” Sekali lagi, Leah terdiam. Walaupun nada bicara Benjamin tidak tinggi, namun tetap saja membuat Leah tidak bisa beragumen. “Kamu tahu kenapa aku bisa menghasilkan uang, begitu juga kamu?” tanya Benjamin. “Itu karena kita sekolah dan belajar. Jangan meremehkan pekerjaanmu, Leah. Selain orang tua, guru adalah kunci keberhasilan seorang anak. Berkatmu dan guru lainnya, banyak anak yang bisa membaca dan sukses. Kamu harus bangga menjadi guru. Jujur saja, aku sangat mengagumi sosok guru.” “Benarkah?” Leah mulai tersenyum. Perasaan gundahnya mulai menghilang. Dan ketika Benjamin mengangguk sambil tersenyum, senyuman Leah semakin lebar. “Dan juga, pikirkan lagi perkataanku tentang menolak membantu guru lainnya. Membantu orang sangatlah baik dan mulia. Tapi jika tidak sesuai dengan kemampuan atau merasa terlalu banyak, kamu bisa menolaknya. Kamu sendiri kan yang ingin juga menghasilkan uang tanpa jam kerja berlebihan?” Mudah mengatakannya ketika hanya itu satu-satunya harapan Leah bisa beradaptasi di sekolah. Dia hanya tersenyum tidak membalas. Dengan satu tangan Benjamin menyentuh dahi Leah sejenak lalu bergumam, “Demammu sedikit turun.” “Ini berkat makanan enak malam ini. Terima kasih,” Leah berujar tulus. Makan enak, gratis ditambah lagi bagaimana Benjamin mengatakan hal yang baik tentang guru benar-benar meningkatkan suasana hatinya. Benjamin mengangguk singkat. Dia kemudian berdiri dan mengambil semua piring kotor. “Sekarang tidurlah. Besok aku akan memandikanmu.” “... Huh?” Leah belum sempat memproses ucapan Benjamin sampai pria itu berjalan keluar dan berhenti di ambang pintu. “Semoga tidurmu pulas dan mimpi indah.” Benjamin tersenyum tipis lalu menutup pintu kamar dengan bunyi pelan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN