SAY - “What should she do?

1098 Kata
Ketika dia melihat seseorang berjalan ke arahnya dari ekor matanya dia segera melangkah dan mendekati kepala sekolah. “Padahal kamu bisa mengirimnya saja tanpa repot-repot kemari.” “Aku juga sekalian ingin melihat Ara.” “Jangan berlebihan seperti itu. Orang-orang akan berpikir jika kau sangat terobsesi pada anakmu.” Mereka tertawa bersama dan mulai berjalan beriringan. “Ngomong-ngomong terima kasih untuk minuman gratisnya, Nak.” Gabriel tersenyum. “Makanannya akan datang besok pagi sebelum pertemuan dengan para orang tua.” Kepala sekolah mengangguk bahagia. “Ayah Ara memang dapat diandalkan.” Sambil berjalan ke ruang pertemuan, Gabriel menoleh ke belakang di mana Leah dan Esther masih mengobrol bersama. “Aku akan memikirkannya nanti di rumah.” Kembali pada Leah dan Esther, Leah berkata sambil tersenyum. “Lalu bagaimana dengan tempat tinggal barumu? Apa kau betah? Di mana tempatnya?” “Di ….” Leah menggantung ucapannya. Dia membasahi bibirnya sejenak dan menjawab tanpa spesifik. “Yah, di dekat sini.” “Pulang mengajar hari ini aku akan ke tempat kost barumu.” “Uhm, Esther, sayangnya aku tidak bisa membawa teman ke sana.” Esther yang bersemangat terlihat jelas sekali kebingungan ketika dia mengedipkan matanya. Dan itu menyebabkan Leah mulai merasa bersalah. “Kenapa?” “Aku tinggal bersama satu orang lain yang menyewa juga. Dan dia tipe orang yang tidak suka ada orang asing di dalam unit. Belum lagi jika kita tidak sengaja ribut, dia bisa-bisa marah besar.” “Jika aku tangkap dengan benar, kalian tinggal berdua. Artinya kalian berdua bersama-sama menyewa tempat itu.” “Ya, kurang lebih seperti itu.” Leah mengangguk seraya mengalihkan wajahnya. Esther mendesah. “Jika teman kamarmu seperti itu, mau bagaimana lagi.” Leah tersenyum singkat. “Tapi, tempat tinggalmu yang sekarang ini cukup baik untukmu, kan? Kau tidak merasa tertekan dengan teman sekamarmu, iya kan? Apa tempatnya lebih jelek dari kost lamamu?” “Aku menyukainya. Fasilitasnya lengkap dan tenang.” Jujur saja, walau Leah masih tidak puas dengan pengaturan tinggal bersama seorang pria, dia sangat puas dengan fasilitas di sana. Tadi pagi, untuk pertama kalinya Leah tidak menggunakan gayung ketika mandi. Dia juga bisa mengatur suhu air. Pemandangan di balkon tidak bisa dikatakan buruk membuat Leah ingin berlama-lama di sana. Bahkan, ada mesin pembuat kopi! Dan masalah bersih-bersih, Leah mampu melakukannya. Malahan, dia amat menyukai pekerjaan paginya itu. Mungkin karena dilakukan di tempat yang jauh lebih bagus dari kos lamanya membuat Leah menjadi semangat beres-beres. Pemikiran terakhir ini membuat Leah terkekeh konyol tanpa sadar. “Yah, kau memang sangat suka tempat tinggal yang cukup tenang,” gumam Esther. “Jadi di mana ini?” Leah tahu jika Esther masih tidak menyerah untuk mengetahui letak tempat tinggal Leah. Maka dari itu Leah pun menjawab nama apartemen yang tidak jauh dari sekolah. “Itu benar-benar sangat dekat dari sini.” Esther memeluk Leah dan berseru, “Selamat, Leah! Mulai hari ini kau bisa menyimpan uang transportasi tiap tahunnya!” Sebelumnya, Leah sudah berbohong mengenai tidak diperbolehkan adanya kunjungan. Lalu, setelah Esther berpikir bahwa Leah akan berada di unit tersebut bertahun-tahun, Leah tidak bisa menambahkan kebohongannya selain hanya tersenyum. “Leah, ternyata kamu di sini. Bisa bantu saya bawa peralatan mengajar ke ruang kelas? Globe-nya terlalu besar, saya kesulitan membawanya.” Seorang guru paruh baya datang pada saat itu mengganggu mereka. Dari sudut matanya, Leah bisa melihat Esther yang hendak berteriak. Jadi, sebelum Esther bisa mengamuk, Leah segera menutup mulut temannya dan mengangguk pada guru yang lebih senior darinya. “Ya, tentu saja.” Setelah wanita tua itu pergi dengan gembira, barulah Leah melepaskan mulut Esther. “Apa dia buta? Kita ini sedang makan siang!” Dengan kesal Esther menatap Leah. “Kenapa kau mau saja sih disuruh-suruh?” Leah tersenyum kecil. “Tidak apa-apa menolong orang lain. Lagipula aku juga sudah selesai makan.” Melihat Leah yang mengemasi tempat makannya dan hendak berdiri membuat Esther mendengus. Dia masih kesal dan menggerutu. “Nenek itu sudah tahu kelemahanmu yang tidak pernah menolak permintaan orang, maka dari itu dia selalu memanfaatkanmu. Leah, apa kau pernah merasa terbebani dengan permintaan mereka? Aku kerap kali melihatmu membawa kardus berat dan keranjang mainan anak-anak. Bahkan tugas laporan mereka, kau juga yang kerjakan tiap akhir bulan. Bukankah itu berlebihan? Sungguh kau tidak apa-apa dengan itu semua?” Esther menatap wajah Leah dengan serius. “Leah, apa kau tidak bisa menolak mereka dengan tegas?” Apa yang bisa Leah tolak jika posisinya tidak memungkinkan untuknya menolak? Lagipula menolong orang merupakan hal yang baik. Daripada membalas ucapan Esther, Leah hanya tersenyum singkat. *** Saat pulang sekolah Leah yang membeli beberapa kebutuhannya di minimarket kebetulan melintasi sebuah kafe dengan lembar lowongan kerja di depan jendela kafe tersebut. Leah pernah sekali kemari bersama Esther ketika mereka menunggu jemputan Esther setelah pulang mengajar. Dari yang pernah Esther katakan, di sini menerima pekerja paruh waktu. Dan juga, guru-guru tidak pernah kemari. Karena dia sangat berharap banyak untuk kafe itu, Leah pun masuk ke dalam. Saat itu masih terlalu awal dan pengunjung di kafe itu masih sedikit. Setelah mengedarkan pandangannya sebentar, Leah segera menghampiri meja kasir. Dengan ramah, pria yang menggunakan celemek milik kafe bertanya, “Selamat datang, apa yang ingin Anda pesan?” “Maaf, saya kemari karena melihat ada yang membutuhkan karyawan di sini. Apa masih berlaku sekarang?” tanya Leah sambil menunjuk kertas yang menempel di jendela luar. “Uhm ….” Pria itu melirik ke sebuah pintu khusus karyawan yang sedikit terbuka. Hanya itu saja cukup bagi Leah sadari bahwa dia tidak dibutuhkan di sini. Punggung Leah mendadak lesu. Dia menjadi putus asa tepat ketika seseorang wanita lanjut usia bersama seorang wanita muda keluar dari ruangan itu. “Kami sudah mendapatkan karyawan baru hari ini. Dan maaf tentang kertas itu, karyawan yang piket hari ini lupa membuangnya.” Pria itu berkata. Berusaha untuk tidak menyakiti perasaan Leah. Ternyata dia terlambat. Leah memaksakan dirinya untuk tersenyum. “Tidak masalah. Ngomong-ngomong terima kasih untuk waktunya tadi.” Pria itu mengangguk sopan. Karena tidak ada hal yang perlu Leah lakukan di sana dia pun keluar. Dengan kantong belanjaan berwarna putih di pergelangan tangannya, Leah berjalan sampai di sebuah taman. Taman di mana letaknya sangat dekat dengan sekolah tempatnya mengajar. Leah duduk di salah satu ayunan dan mendesah panjang. Hening yang memakan waktu tersebut mendadak saja diganggu oleh suara getaran ponselnya. Leah merogoh saku seragamnya dan melihat nomor yang tidak pernah dia simpan terpampang di layar ponselnya. Sekarang! Itu merupakan isi pesan singkat tersebut. Dia memejamkan matanya dan menyimpan kembali ponselnya, mengabaikannya. Mendongak, Leah memejamkan matanya. “Apa yang harus aku lakukan ke depannya?” gumam Leah pelan pada dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN