SAY - Her fears had come true

1425 Kata
Di waktu berikutnya, sebuah pen menggelinding dan berhenti di depan kaki Leah ketika dia ingin mengambil sesuatu di dalam kulkas untuk dimakan. Leah melirik pemiliknya yang sedang duduk di lantai dengan sebuah buku dan laptop di pangkuannya yang juga mendongak menatapnya. “Leah, bisakah kamu bawa kemari pen itu?” Leah yang masih trauma dengan dicium mendadak ingin melewati benda kecil itu begitu saja. Akan tetapi baru saja mengangkat kakinya, Benjamin berulah kembali. “Tolong ….” Menarik napas, Leah menendang pelan pen tersebut ke arah Benjamin. Namun siapa sangka pen tersebut bergelinding ke arah yang berlawanan dari Benjamin. Kepala mereka berdua mengikuti pen yang bergelinding. Setelah benda tersebut berhenti cukup jauh dari posisi Benjamin, mereka berdua saling pandang. Dengan kasar Leah mendengus sebelum bergerak berjalan dan memungut pen tersebut. Mendekati Ben, dia hanya meletakkannya di lantai sebelah pria itu dan hendak menegakkan tubuhnya bertepatan dengan Ben yang menarik lengan Leah lalu menciumnya. Leah dengan cepat menjauhkan kepalanya dan menatap tajam Ben. Namun pria itu tanpa dosa hanya berucap, “Rasa terima kasihku.” Leah menarik tangannya kuat dan bergegas menjauhi Ben seolah pria itu kuman. Niatnya yang ingin makan ia urungkan dan kembali ke kamarnya. Lalu hari berikutnya, berikutnya, dan berikutnya Benjamin tetap mempertahankan pergantian posisi mereka ini. Dia selalu berusaha untuk meminta bantuan kepada Leah walaupun dari sikap Leah sudah jelas bahwa dia tidak mau. Beberapa di antaranya yaitu Ben pernah meminjam peralatan tulis milik Leah. Meminta tolong menyetrika pakaiannya. Dia juga pernah meminta tolong mengambilkan tombol remote yang sedang dia betulkan jatuh di dekat meja makan. Dan Leah yang tidak ingin mendekatinya hanya melemparkannya ke arah pria itu dengan tidak sopan kemudian berlari menuju kamarnya. Namun siapa sangka bahwa pria itu bergegas beranjak dari sofa TV dan menyusulnya. Belum sempat dia menutup pintu kamarnya, pria itu sudah lebih dulu menahan pintu dan menciumnya. Belum lagi ketika Leah mengisi gelas bersih dengan air dingin, tiba-tiba saja Ben sudah berdiri di sebelahnya dan mencium Leah seraya tangannya mengambil alih gelas tersebut. Melepaskan Leah, dia kemudian meneguk habis dari gelas sebelum mengembalikannya kepada Leah dan berjalan menuju kamarnya. Leah pun berteriak di belakangnya, “Ini bukan untukmu!” Namun seperti biasa, Ben tidak peduli. Lalu hari ini setelah Leah pulang mengajar di sekolah. Terakhir kali ia memasak makan siang untuk mereka, Ben menciumnya dengan alasan rasa terima kasihnya. Jadi agar dia tidak mencium Ben maupun sebaliknya, Leah menyuruh Ben ikut memasak bersamanya. Namun sekali lagi pria licik ini bertingkah di luar nalar. Di saat Leah memegang tomat, Ben akan mengambilnya dari tangannya. “Ah ini dia.” Dan ciuman ke sekian kalinya datang lagi. Leah mencuci pisau, Ben mengambil benda itu dari tangannya dan menciumnya. Leah hendak mengangkat panci soto, Ben dengan sigap menuangkannya ke dalam mangkuk besar. Setelah selesai, Leah menghindar tapi Ben sudah menahan kepala wanita yang malang itu. Leah bukannya tidak berusaha meronta. Tapi, kekuatan Ben jauh di atasnya. Walaupun dia memukul Ben dengan kepalannya yang tidak seberapa, Ben tetap akan melakukan ritual terima kasihnya hingga selesai. Dan setelah ritual tersebut selesai, Leah mengambil 3 langkah lebar mundur ke belakang dengan murka. “Apa yang salah denganmu?! kenapa kau melakukan itu terus?!” “Menurutku rasa terima kasih dalam versimu tidak buruk juga.” Wajah Leah merah padam. Pria ini benar-benar menganggap bahwa perbuatan ciuman terima kasih itu berasal dari Leah. Itu bukan versinya, ngomong-ngomong! “Tapi aku tidak ingin menolongmu!” “Tapi aku merasa kamu menolongku. Aku sangat mengandalkanmu, kamu tahu?” Leah berdesis dalam hati mendengar perkataan itu lagi. Sekarang Leah memahami makna boomerang yang pria ini katakan di hari itu. “Tidak!” “Ya.” “Tidak! Tidak! Tidak! Aku tidak berniat menolongmu!” Benjamin mengerutkan dahinya dalam. “Kenapa kamu semarah ini, Leah?” “Siapa pun akan marah jika orang lain menciumnya dengan paksa!” Benjamin masih dalam keadaan yang tenang. Dia memegang dagunya dan bergumam, “Apa ciumanku selama ini sangat buruk? Mau aku mengulanginya lagi?” Dengan mulut menganga lebar, Leah hanya bisa menatap Benjamin dengan horor. Jelas sekali pria ini tidak mendengar perkataan Leah. Tuhan, kepala pria ini harus dibedah! *** Brakk! “Ergh!” Leah memukul mesin fotokopi dengan setengah kesal hingga Esther tertawa. “Santai, Leah. Ini hanya benda mati. Kenapa kau semarah itu?” Leah mendengus kasar. “Aku mengalami hal buruk akhir-akhir ini.” “Ya, aku bisa melihatnya.” “Kau selalu melihatnya,” Leah menanggapi membuat Esther mengangguk. “Karena para guru? Yah, aku sering melihat mereka menyuruhmu ini itu lagi sampai aku sudah lelah menatap tajam mereka. Mataku hampir keluar dari tempatnya, kau tahu?” Leah tidak menanggapi. Dia takut, jika dia mengatakan ‘bukan’ saja, pembicaraan tentang kekesalan Leah akan berlanjut lebih panjang. “Leah, jika kau tidak suka kau bisa mengatakannya kepada mereka dan buat mereka berhenti menyuruhmu lagi. Aku sudah sering mengatakan ini bukan, jangan terlalu memaksa dirimu untuk menolong mereka. Mereka bukannya mengandalkanmu, mereka hanya malas saja dan kau mudah dimanfaatkan.” Leah melamun memikirkan perkataan Esther yang sedang menyusun tumpukan kertas menjadi lebih rapi. Setelah itu Leah menoleh menatap Esther. “Bagaimana caranya menolak?” “Kau hanya perlu berkata, ‘Saya tidak bisa melakukannya.’ Dan mereka akan berhenti mencarimu.” Seketika pundak Leah menjadi lesu. Dia bergumam sedih, “Itu tidak akan berhasil.” “Sungguh?” Leah mengangguk. Leah sudah mengatakan kurang lebih sama seperti yang Esther sarankan tapi Ben tetap saja mengungkapkan rasa ‘terima kasihnya’. Cara apa lagi yang harus Leah pikirkan agar Ben berhenti melakukan itu? “Hmm .…” Esther berdesis. “Bagaimana jika membuat alasan? Maaf, saya sedang sibuk sekarang. Atau begini ….” Berbeda dengan Leah yang memikirkan Ben, Esther masih memberikan saran untuk menolak para guru yang suka meminta bantuannya. Leah dan Esther kemudian mengarsipkan dokumennya sebelum mengambil tas. “Bagaimana, Leah?” Esther masih antusias dengan obsesinya tentang Leah yang harus menolak permintaan para guru dan penjaga sekolah. Dan Leah hanya tersenyum. Karena sudah lebih dari 20 menit dari jam pulang, sekolah tersebut sudah sepi. “Bukankah itu Pak Gabriel?” pertanyaan Esther membuat Leah melihat ke luar gerbang sekolah. Di sana, Gabriel tengah berdiri di depan mobilnya baru saja selesai menghubungi seseorang. “Oh benar.” “Apa dia sedang menunggumu?” Esther menggodanya seraya memainkan alisnya namun Leah memukul pelan bahunya membuat dia tertawa. Leah kemudian mengedarkan tatapannya ke penjuru halaman sekolah. “Aku rasa Ara sudah tidak ada di sekolah.” “Bukan hanya Ara, anak yang lain juga sudah pulang.” Gabriel yang menyimpan ponselnya kembali hendak melangkah ke mobil namun tidak jadi ketika matanya tidak sengaja menangkap kehadiran Leah dan Esther. Dia akhirnya berdiam diri hingga kedua wanita itu berhenti di depannya. “Pak Gabriel masih di sini? Ara belum pulang, Pak?” tanya Esther. “Dia sedang main sebentar di taman sana dengan Nanny. Lalu awalnya saya mau ambil mobil karena sudah waktunya Ara pulang ke rumah tapi ada panggilan masuk tadi. Dan sepertinya kalian belum pulang juga.” Esther menggeleng. “Ada beberapa pekerjaan yang perlu diselesaikan tadi.” Gabriel mengangguk sambil tersenyum. “Pak Gabriel, saya pikir Anda ingin menjemput Leah sekalian.” Esther menyenggol bahu Leah menyebabkan dia mendapatkan tatapan peringatan dari Leah. Akan tetapi dia pura-pura tidak sadar. Gabriel tertawa pelan. “Sayang sekali jam les Ara bukan sekarang.” “Yah siapa tahu Bapak ingin mengajak Leah jalan-jalan dulu mungkin? Ke mall misalkan.” Senyuman Gabriel menjadi lebar. “Saya akan mengajaknya nanti. Itu pun jika Leah mau.” Esther terkesiap dengan jawaban tidak terduga dari Gabriel. Tidak seperti Esther. Leah yang tidak memperhatikan jawaban Gabriel difokuskan pada sesuatu yang jatuh di kakinya. Merasakan kakinya agak sakit, Leah menunduk untuk melihat benda apa itu. Di kala dia melihat sebuah helikopter mainan di sana, jantung Leah seketika hampir copot sebelum berdebar kencang. Dia mulai gugup. Terlebih lagi yang membuatnya berdebar adalah dia secara naluriah mengambil benda itu, sama ketika waktu itu dia mengambil benda ini. “Helikopter remote control? Bocah mana yang kehilangan ini?” Pertanyaan yang sama dari Esther semakin membuat Leah panik. Dia bisa merasakan keringatnya mulai terbentuk di pelipisnya. Oh tidak mungkin …, pikirnya. Tidak mungkin Benjamin ada di area ini juga. Belum sempat Leah berdoa supaya firasat buruknya tidak terjadi, sebuah tangan masuk ke indra penglihatannya mengambil alih mainan yang berat dan mahal itu. Dan begitu Leah mengangkat kepalanya, sebuah ciuman tanpa peringatan mendarat tepat di bibirnya yang ranum di depan dua pasang mata di sana. Bersama suara terkesiap yang heboh dari Esther, Leah tidak bisa bergerak. Akhirnya ketakutan Leah terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN