Leah menggerutu, “Sungguh konyol!”
Apa yang salah dengan otak pria itu? Dia tidak mau melewatkan kesempatan itu.
Terima kasih dalam bentuk ciuman, Leah sudah susah-susah mengatakannya dengan berani dan pria itu malah memanfaatkannya?!
Leah juga, apa yang salah dengan dirinya? Karena sudah terlanjur dengan alasan tersebut, dia mau tak mau mencium pria itu sebagai bentuk terima kasih telah menyiapkan bekal untuknya. Tidak, perlu Leah ralat. Itu hanyalah sebuah kecupan. Tapi tetap saja, betapa anehnya mencium orang yang tidak disukai. Dia tidak pernah menyangka ciuman pertamanya akan berakhir dengan orang yang dia benci. Sungguh, kisah romansanya terdengar mengerikan.
Menunggu tranportasi umum, Leah membuka bekal. Melihat isi tempat makan membuat dia tidak bisa berkata-kata. Tempat bekalnya sangat penuh hingga Leah tidak tahu harus mulai mengambil makanan dari mana.
Leah mendesah pelan. “Oh hebat. Semua orang berpikir bahwa aku perempuan yang suka makan banyak.” Selain guru-guru, Esther, dan Gabriel, sekarang bertambah Benjamin. “Aku bukan pria pekerja keras, mana mungkin aku bisa menghabiskan ini semua!”
Leah mengambil suapan pertamanya dan kembali memikirkan kejadian hari ini. Lebih tepatnya saat mereka duduk di depan televisi, di mana Benjamin mengusap sudut bibir Leah.
Kenapa pemandangan itu bisa menarik perhatian Leah? Apakah karena ini pertama kalinya dia melihat sesuatu yang asing dan liar bersamaan? Leah masih ingat bagaimana respon tubuhnya yang bergidik. Apa itu hal yang wajar? Pikiran Leah juga menjadi kosong sebab hal baru itu.
Sambil mengunyah dengan mulut penuh Leah mengangguk sendiri.
Itu merupakan hal baru bagi Leah yang tidak tahu apa-apa di dunia yang kejam ini. Jadi wajar saja responnya sungguh mengejutkan.
Selang beberapa menit, kendaraan umum yang akan Leah gunakan mulai berhenti perlahan di depannya. Sambil menunggu penumpang lain masuk beraturan, Leah melihat kotak makannya sudah bersih. Ia dengan cepat meminum beberapa teguk sebelum mengemasi tas bekalnya dan menaiki kendaraan umum tersebut dengan niat akan memakan beberapa buah yang sudah dipotong Benjamin di wadah satunya lagi.
***
Sekitar pukul 7 malam, Ben turun dari unitnya dan melangkah menuju meja resepsionis. Seorang pria muda berdiri di balik meja dan tersenyum pada Ben.
“Pak Benjamin?” tanya pria itu dan Ben mengangguk.
Beberapa menit sebelumnya petugas ini menghubungi dia dan mengatakan ada paket untuknya di bawah.
Petugas itu mengambil sebuah kardus berukuran sedang di belakangnya dan meletakannya di atas meja resepsionis.
“Tolong tanda tangan di sini,” ujar petugas itu dan Benjamin melakukannya.
Setelah mengucapkan terima kasih, Benjamin kemudian mengambil alih paket tersebut. Ini adalah barang pesanan untuk perangkat komputernya. Di saat dia berbalik, petugas itu memanggilnya lagi.
“Ada satu lagi, Pak.”
Petugas tersebut mengeluarkan sebuah paket kecil. Benjamin tampak bingung diawal, namun setelah melihat nama pengirimnya adalah Vivi, dia segera tanda tangan lagi dan mengambil alih paket itu.
Tepat saat itu, ponselnya yang berada di dalam saku celananya bergetar. Dia melihat nama Vivi di sana dan membuka pesan tersebut.
Vivi: Bantu aku membetulkannya, oke? Aku menyayangimu!
Lengkap dengan emoji memohon dan tanda cinta yang menggemaskan. Dia menghela napas.
Menoleh ke arah petugas sekali lagi, Ben berujar, “Terima kasih.”
Petugas itu mengangguk dengan senyum ramah yang masih melekat di wajahnya. “Selamat menikmati malam Anda, Pak Benjamin.”
Benjamin hendak melangkah pergi namun terhenti untuk kedua kalinya. Dan untuk kali ini dia melihat sosok yang tidak asing lagi di luar lobi.
Di sana, Leah baru saja keluar dari mobil dan seseorang juga keluar dari bagian pintu kemudi. Mereka berdua terlibat obrolan yang terlihat nyaman satu sama lain, karena Ben bisa melihat kedua orang itu tidak berhenti tersenyum dan sesekali tertawa bersama.
Memperhatikan mereka dalam diam, dengan ekspresi hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di pikirannya, Benjamin hanya mengerjapkan matanya perlahan.
***
Tiba di unit, Leah melihat Benjamin yang sedang memperbaiki sebuah kotak musik snow globe. Dia mencoba menyalakannya namun suaranya terdengar hilang muncul.
Leah yang tidak ingin mengganggu Ben, atau lebih tepatnya tidak ingin berurusan dengan Ben segera melangkah menuju kamarnya. Begitu dia membuka pintu kamar, dia melihat ruang kamarnya gelap. Leah berulang kali mencoba menekan saklar lampu akan tetapi tidak berefek sama sekali.
Ben yang bisa mendengar itu dari posisinya mendongak. Dia bertanya, “Ada apa?”
“Saya pikir lampu kamar saya sudah rusak. Saya akan ke bawah untuk membeli yang ba—”
“Tidak perlu.” Ben beranjak dari posisinya. Dia kemudian mengambil solder, obeng, dan pinset dari kotak peralatan. Dia kemudian melangkah masuk ke kamar Leah dengan menggunakan cahaya dari ponselnya.
Dari luar kamar, Leah memperhatikan bagaimana Ben memutar bola lampu, melihat isi dalamnya, melepaskan beberapa komponen luarnya, lalu melakukan sesuatu menggunakan obeng dan pinset. Sepanjang dia melakukannya, dia tampak serius hingga Leah tidak sadar jika dia memperhatikan Benjamin yang bekerja tanpa bosan.
Jika diperhatikan seperti ini, pria ini terlihat cukup menarik ....
Seperti disiram air dingin, Leah menggelengkan kepala kuat dan menampar pipi untuk membangunkan dirinya dari mimpi buruk. Dan selanjutnya dia merinding dengan pikirannya sebelumnya.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Ben kemudian naik ke kursi lagi dan memasang kembali bola lampu tersebut di langit-langit kamar Leah lalu meminta Leah menghidupkan lampu kembali, “Coba tekan saklarnya lagi.”
“Baik.” Leah menekannya dan voilà! Kamarnya kembali terang benderang.
“Apa yang kau lakukan dengan lampu kamarku?” tanya Leah tanpa sadar.
Benjamin turun dari kursi sambil menjelaskan singkat, “Resistornya rusak. Tapi masih bisa dibetulkan.”
Leah mengerjap beberapa kali dengan bingung. “… Oh begitu. Terima kasih.”
Benjamin berhenti di depannya lalu mencondongkan tubuhnya sambil memejamkan matanya.
Dalam diam Leah berteriak dalam hati, ‘Lagi?!’
Tindakan terima kasih apa-apaan ini?!
***
Setelah hari itu yang Leah sebut dengan hari ‘Tindakan Terima Kasih yang Tercela’, Ben selalu meminta ciuman darinya dengan alasan Leah berterima kasih. Mulai dari memasak mie instan tengah malam untuk mereka, membantu Leah mengambil benda yang tidak bisa dia gapai karena cukup tinggi, atau menolong mencuci sayur dan menyiapkan piring untuk mereka makan siang.
Bukan hanya itu saja, Ben juga kerap kali memberi bantuan pada Leah yang jelas sekali tidak memerlukan bantuannya, seperti menyiapkan sepatu Leah untuk pergi mengajar ke sekolah atau mengambilkan air putih dan masuk ke kamar Leah ketika Leah sudah siap ingin tidur. Dan selama pria itu memberikan bantuannya, Leah memberinya kecupan. Leah pikir dia akan terbiasa. Akan tetapi walau sudah melakukannya berulang kali, Leah masih kikuk dengan wajah bersemu ketika memejamkan matanya, berjinjit, dan mengecup bibir Ben.
Leah curiga jika Benjamin sengaja melakukannya. Namun tiap kali dia memicingkan matanya pada Ben, pria itu hanya mengedipkan matanya tanpa dosa di wajah tenangnya yang datar dan tanpa masa depan itu.
Hingga suatu hari, di hari liburnya, Leah menjadi sangat kesal dengan sikap Benjamin. Dia berdiri dengan berang dan berkacak pinggang.
“Kenapa Anda melakukan itu terus?!”
“Melakukan apa?” tanya Benjamin yang memegang bolpoin. “Ini, kamu membutuhkan ini, kan?”
“Tidak! Saya tidak butuh!”
“Tapi kamu sendiri yang bilang penmu sudah habis.”
“Tapi bukan berarti saya ingin meminjam milik Anda, wahai Pak Benjamin yang terhormat!”
“Kamu bisa memiliki ini, saya tidak masalah dengan itu.”
“Tapi saya yang bermasalah dengan itu, ya Tuhan!” Leah menjerit frustasi. “Pak, dengarkan saya. Saya tidak harus menggunakannya sekarang. Saya hanya bergumam jika pen saya habis dan akan membelinya besok sebelum mengajar. Jadi saya tidak perlu menggunakan milik Anda.”
Benjamin mengedikkan bahunya dan menarik kembali tangannya.
Leah yang setelah berteriak marah, mencoba mengatur napasnya yang menggebu. Dia kemudian bertanya, “Katakan pada saya, kenapa Anda sangat suka menolong saya? Jangan katakan jika Anda tertarik pada saya.”
“Ya, aku tertarik—”
“Saya bilang jangan katakan itu!” pekik Leah. “Anda sengaja melakukannya, kan? Anda sengaja supaya saya mencium Anda terus.”
Untuk kali ini, Benjamin tidak menjawab membuat Leah mendengus.
“Sudah kuduga,” Leah bergumam kemudian menatapnya. “Dengarkan saya, Pak Benjamin. Karena saya sudah tahu akal muslihat Anda dan Anda sendiri tidak mengelak dengan fakta tersebut, mulai detik ini saya tidak akan meminta tolong Anda lagi. Dan tidak akan ada ciuman lagi.”
Penekanan Leah pada akhir ucapannya membuat suasana di unit apartemen tersebut menjadi sunyi untuk beberapa detik lamanya.
Lalu, Benjamin yang tampaknya tidak memprotes perkataan Leah mengangguk setuju. Hal yang membuat Leah memasang kuda-kuda curiga kembali. Kali terakhir pria ini setuju begitu saja dengan pernyataan Leah membuatnya berakhir mengecupnya.
“Kalau begitu, bisakah kamu membantuku menyapu kamarku? Tenang saja kamu tidak perlu menciumku. Aku harus keluar sebentar untuk mengirim paket. Aku hanya sempat merapikan meja komputer dan rak pajangan. Dan jika bisa … tolong rapikan tempat tidurku juga. Aku mengandalkanmu.”
‘Aku mengandalkanmu’ sungguh membuat Leah otomatis menjawab, “Baik.”