Bab 9

1471 Kata
“Tan, gue kaya ga asing deh sama orang yang nabrak gue. Kayak pernah lihat tapi dimana gitu.” Dinar mengatakannya setelah selesai mengganti bajunya yang kena tumpahan kopi. “Jangan bilang, Lu langsung jatuh cinta pada pandangan pertama? Kaya judul sinetron aja, ‘Cintaku jatuh karena kopi.’ Celetuk Intan. Aku terkikik mendengar kekonyolannya. “Ya enggaklah, emang jatuh cinta segampang itu?” tanyaku balik. “Yak an mana tahu Din.” “Udah ah, pulang kita, udah sore. Besok kita kuliah pagi jam tujuh lho.” Sengaja kuingatkan Intan agar dia tidak bangun kesiangan seperti biasanya. Kami pun akhirnya pulang, gadis cerewet itu mengantarku sampai kontrakan. “Nak Dinar ….” Ibu pemilik kontrakan menyapaku. Diri ini hanya tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai jawabannya. “Tadi ada yang cari, namanya Revan.” Seketika tubuhku menegang karena kaget, karena tidak menyangka pria itu akan senekat ini. “Bu, kalo boleh minta tolong, jika pria itu datang lagi kemari, tolong katakana bahwa saya sedang tidak ada. Karena pria itu suami dari kakak saya.” Ibu Murni, pemilik kontrakan tampaknya mengerti dan menyetujui permintaanku. Diri ini tidak mau di cap sebagai pelakor. Benar kenyataannya, jika Revan adalah mantanku, tapi bukan berarti bisa seenaknya menemuiku terlebih dengan datang sendiri tanpa istrinya. Memasuki kamarku dan segera mandi, diri ini memesan makanan online. Berencana besok atau minggu depan mengisi dapur dengan perlengkapan masak agar bisa memasak. Setidaknya lebih bersih dan sehat. Sambil menunggu pesanan datang, aku mengingat sosok pria yang menabraku di Mall tadi. Seperti pernah lihat tapi dimana? Anganku mengelana jauh, tetap saja tidak kutemukan tentang pria itu, entahlah. Rasanya seperti dejavu saat melihatnya. Ingatanku ternyata tidak setajam itu untuk mengingat pria tadi. Pintu kamarku di ketuk, mungkin itu makanan yang kupesan sudah datang. Benar saja, makanan yang kupesan datang. Segera membayar dan mengucapkan terima kasih pada Abang ojol-nya. Menyantap makan siang yang menjadi makan malam, diri ini berselancar di dunia maya. Beberapa media sosialku kuaktifkan kembali. Diri ini sengaja un-follow dan membatalkan pertemanan untuk Revan dan Kinan. Tidak ingin mereka tahu apa yang kulakukan di sini. Media sosialku sengaja kuubah menjadi privat, hanya yang berteman dengaku yang bisa melihat semua aktivitasku. Ada beberapa berita, salah satunya Kampusku. Ternyata kampusku menjadi kampus paling banyak mendapatkan prestasi setelah pergantian Rektor. Hati ini bahagia, ada rasa bangga kuliah di kampus ini, meskipun dulu terpaksa. Getar ponselku menyadarkan diri ini dari lamunan, satu pesan masuk. [Din, besok gue jemput apa gimana?] Ternyata Intan yang mengirim pesan padaku. [Langsung ketemu di kampus ajalah, gue besok naik ojol.] [Okelah, Lu ga kepikiran buat bawa mobil Din, bokap Lu ada beliin mobik buat Lu.] [Tau darimana?] [Bokap gue tadi bilang, kemarin Bokap Lu ke sorum mobil punya bokap gue katanya beli buat Lu.] Hati ini malah jadi bimbang, ayah memberikan fasilitas berlebihan. Pasti ada maksud dan tujuannya. [Lah, gue kagak tahu deh soal itu, bentar deh gue nanti tanya bokap.] Intan tidak lagi membalasnya. Diri ini ingin membeli motor matic sebagai alat transportasi. Jarak dari kampus ke kontrakan tidak terlalu jauh. Jika menggunakan mobil justru akan terjebak kemacetan. Rencana, usai kuliah akan datang ke kantor ayah guna mencari kebenaran tentang berita itu, diri ini kaget karena tidak tahu berita itu secara langsung. Justru dari orang lain. Pagi harinya aku bersiap untuk masuk kuliah pertama kalinya setelah setahun menghilang. Saat mengurus administrasi minggu lalu, banyak kehebohan yang terjadi. Mereka kaget dengan kedatanganku setelah menghilang tanpa kabar. Sedikit banyak dari mereka tahu tentang menghilangnya aku karena patah hati. Biarlah, toh memang benar. Diri ini tidak mau menjadi orang yang munafik. Pagi ini, jadwal kuliah di gedung A15, lantai 3 di gedung Ekonomi. Melangkahkan kaki, ternyata sudah banyak mahasiswa yang berkumpul di sana. Banyak kakak tingkat, mereka banyak yang mengenaliku. Adik tingkat hanya beberapa saja yang kukenal. “Haloo, dimana Lu,” panggilku pada Intan. “Di lantai satu, bentar ya,” jawabnya. Kumatikan panggilan teleponku pada Intan, tumben dia tidak terlambat. Selama menunggu, ternyata banyak kasak-kusuk antar mahasiswa, mereka mengatakan dosen pengampu mata kuliah yang kuambil ini bukan Prof. Amri melainkan dosen baru. Tidak ingin memikirkan siapa dosen pengampunya, yang terpenting adalah bagaimana menjalani kuliah ini. Tiga puluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda dosen masuk. Seluruh mahasiswa hendak Berhampur keluar, tapi batal. Ternyata sang dosen yang di tunggu datang. Betapa kagetnya diri ini, ternyata dia yang menabrakku kemarin. Harus buat perhitungan ini! “Maafkan keterlambatan saya, karena harus rapat pagi. Perkenalkan, nama saya Aryo Abimanyu. Kalian bisa panggil saya Pak Abi.” Begitulah perkenalan singkatnya, selebihnya beberapa mahasiswi ganjen menggodanya. “Pak, ganteng banget sih,” kata rambut merah. “Pak, boleh dong minta nomor hape,” celetuk Maura, si biang onar. “Pak, halalin aku dong.” Masih banyak lagi kata-kata rayuan untuk dosen baru itu. Diri ini enggan ikut berkomentar, malas terlebih kejadian kemarin, dengan seenaknya dia tidak minta maaf. “Din, bukannya dia yang kemarin nabrak Lu di Mall?” Intan berbisik padaku. “Iya kali ya, gue agak lupa muka orang itu,” elakku. Takutnya gadis cerewet di sebelahku keceplosan dan berteriak. “Nona yang sedang berbisik-bisik siapa namanya?” tanya Pak Abi. “Saya?” tanyaku sambil menunjuk diri sendiri. “Bukan, tapi itu yang nempel di dinding,” jawabnya dengan enteng. Diri ini jengkel mendengar jawabannya, tapi enggan menjawab. “Perkenalkan nama kalian berdua,” pintanya. “Saya Intan dan ini Dinar,” kata Intan. “Temen kamu ga punya mulut sendiri? Jadi kamu harus memperkenalkannya.” Perkataannya terdengar ketus dan mengajak bertengkar. Menyabarkan hati dan tidak ingin terpancing. Ketika enggan menanggapi, ternyata dia berhenti sendiri. Kulihat ia menatapku intens, mungkin teringat kejadian kemarin saat menyiramku dengan kopinya tanpa minta maaf. Hari ini perkuliahan hanya mengenalkan silabus mata kuliah, dan beberapa penilaian. Ada kuis, tes tengah, tugas, dan tes akhir. Masih wajar, sama dengan dosen yang lain. Perkuliahan hari pertama kali ini hanya satu jam saja, selebihnya mahasiswa diperbolehkan pulang cepat. Hari ini hanya dua mata kuliah saja, dan mata kuliah berikutnya jam satu siang. Rencanya ingin pulang kos dan tidur terlebih dahulu, toh masih jam 9 pagi ini. “Tan, gue mau balik kos ya, ngantuk banget. Lu gimana?” “Gue ngikut ihh, masa iya gue balik rumah, jauh banget.” “Serah Lu dah, tapi plis, gue pengen tidur.” “Siap, gue ntar nonton film aja deh. Drakor, gue belum sempet nonton kemarin.” Kami berjalan menuju parkiran, ternyata Pak Abi mencegat kami berdua. “Dinar, bisa kita bicara sebentar?” “Ya,” aku malas menjawabnya. “Baiklah, kita ke ruangan saya saja, temanmu bisa menunggu di depan ruangan  saya,” katanya. Kami mengikutinya dari belakang. Rasanya ingin kulempar kepalanya dengan botol air mineral milikku. Masih jengkel jika ingat kejadian kemarin di Mall. “Silakan masuk,” katanya. Diri ini sedikit ragu untuk masuk sendiri. Bukan berprasangka buruk, tapi hanya berjaga-jaga saja, karena kejahatan semakin banyak. “Jadi?” katanya. “Jadi?” ulangku. Sungguh tidak mengerti dengan pembicaraannya. “Iya, alasan kamu cuti setahun apa?” tanyanya. “Oh, bukan urusan Bapak. Itu urusan pribadi saya.” Mau tahu saja urusan orang, bahkan wali studiku tidak pernah seperti ini. Hanya masalah kuliah yang beliau tanyakan. Aneh, dosen baru tapi ingin tahu urusan mahasiswanya. “Ya, jadi urusan saya sekarang. Saya mengampu mata kuliah Ekonomi Makro sekarang.” “Oh iya, tapi bukan berarti Bapak terlalu kepo dengan urusan mahasiswa!” “Kamu mahasiswa saya!” “Hmm … Apa bapak juga seperhatian ini kepada mahasiswa lainnya?” Dia terdiam mendengar pertanyaanku. Entah mengapa, hatiku mengatakan pernah bertemu dengannya, tapi otak tidak mampu mengingatnya. “Jika tidak ada keperluan lagi, saya permisi,” pamitku lebih tepatnya pernyataan ingin kabur dari hadapannya segera. Pak Abi masih tidak bergeming, hingga diri ini membuka pintu ruangannya. “Tan, yuk balik, buruan, ntar jadwal tidur gue berkurang,” “Lu ngapain lama bener sama Pak Abi?” Intan tampak penasaran dengan pembicaraanku. “Hmm … males gue bahas itu.” Kulihat gadis cerewet di sebelahku masih penasaran dengan apa yang terjadi antara aku dan dosen aneh itu, tapi biarlah diri ini enggan untuk membahasnya lebih jauh. Sebelum menuju kontrakan kami mampir membeli beberapa camilan di minimarket milik kampus. Ternyata, ketemu dengan dosen aneh itu lagi. Dia tersenyum tipis, aku enggan melihatnya. Banyak tatapan memuja saat melihatnya. Gadis-gadis banyak yang terpesona padanya. untungnya, bertemu dengan Bima jadi bisa sedikit membantu. “Bimaaa ….” Aku berteriak memanggil namanya, membuat pria berlesung pipi itu menoleh dan melambaikan tangannya. “Lu, ihh teriak-teriak kaya di hutan. Apakabar?” tanyanya. “Wah, gue baik dong, Intan juga baik kabarnya.” Bima hanya tersenyum mendengar jawabanku. Berbeda dengan Intan, dia salah tingkah ketika laki-laki berlesung pipi itu tersenyum padanya. Mungkin benar, Intan ada rasa cinta untuk Bima. Hanya saja, pria ini menganggapnya teman. “Din, mau beli apa?” tanya Intan lagi. “Cemilan yang banyak,” jawabku. “Lu berdua, gue cabut ya, bimbingan skripsi sama Bu Manggar nih,” pamit Bima. Aku dan Intan hanya mengangguk sebagai jawaban. Selesai berbelanja, akhirnya kami berjalan menuju parkiran kampus. Kali ini justru diri ini sangat terkejut, di depan sana Mas Vino sedang berbincang akrab dengan dosen aneh itu. Mas Vino melambaikan tangan ke arahku tanda ia memanggilku. Sial! Diri ini terpaksa mendekat, dan menghampirinya. “Mas, ngapain ke kampus?” “Ada perlu nih sama teman.” Aku hanya melirik dosen aneh itu sekilas. Rasanya malas untuk menatapnya. “Kamu udah kenal belum sama Abi?” “Udah, ngajar di kelasku juga. Mas, pamit ke kontrakan dulu ya, mau istirahat bentar. Nanti ada kuliah lanjutan.” Sengaja berpamitan cepat, alasan sebenarnya adalah malas jika harus berlama-lama dengan dosen aneh itu. Intan sama herannya denganku, bagaimana bisa dosen aneh itu mengenal Mas Vino. “Din, mereka kok bisa kenal gitu? Malah terlihat akrab dan kaya sodara gitu.” “Gue juga ga ngerti tuh, kali aja emang teman Mas Vino.” Harus tanya kepada Mas Vino tentang dosen aneh itu. Memang benar diri ini seperti pernah melihatnya, tapi dimana dan kapan otak di kepalaku ini belum mampu untuk mengingatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN