Kisah Rafkan

1548 Kata
Menjelang pagi, Rafkan telah siap dengan pakaian kerjanya. Dia terbiasa membersihkan badan dan mempersiapkan segala keperluan kerjanya selepas melaksanakan Salat Subuh. Karena pagi hari putri kecilnya akan terbangun, waktunya Rafkan memandikan putrinya sebelum ia berangkat kerja. Dan sang putri kesayangannya akan di titipkan dengan Maminya. Rafkan Afzam Dzaikra pria berusia 27 tahun yang sudah di karuniai seorang putri cantik berusia 6 bulan. Rafkan mewariskan nama Yasna Malaika Dzaikra, Yasna artinya mawar putih, malaika berarti malaikat dan Dzaikra nama kepanjangan keluarganya yang turun temurun di wariskan kepada anak cucunya, Dzaikra yang artinya ingatan. Nama yang cantik dengan sebuah arti yang begitu bagus, pantas di sematkan untuk putrinya. Putrinya, yang dia besarkan dengan tangannya sendiri, gadis kecilnya, permata hatinya. yang menjadi sumber kebahagiaan untuk Rafkan, juga menjadi alasan untuknya tetap semangat hidup. Rafkan tidak pernah menyesali kepergian ibunya Yasna, bukannya tidak cinta dan sayang kepada istrinya. Tapi, baginya menyesali seseorang yang sudah pergi jauh dari hidupnya itu sangat percuma. Mungkin dia memilih pergi, karena tidak bahagia hidup bersama Rafkan. Apapun itu alasannya Rafkan tidak mau pusing memikirkannya. Tidak penting baginya untuk berlarut-larut, karena ada yang jauh lebih penting dari itu semua. Yaitu putri kecilnya yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatiannya. Hal itu yang menjadi prioritas Rafkan saat ini. Seperti pagi ini, Yasna yang tengah berada di gendongan Rafkan, memeluk leher Ayahnya erat seakan tidak mau melepaskannya. "Yasna, ayo sini sama Oma, biar Ayahnya sarapan dulu." Desti mencoba membujuk cucunya, namun bayi cantik itu malah semakin erat memeluk ayahnya. "Udah Mi, gak apa-apa. Aku juga kayaknya ke kantornya agak siangan juga." ucap Rafkan. Rafkan tersenyum, ke arah putri kesayangannya lalu mengecup kedua pipi chuby nya yang membuat Yasna tertawa karena merasa geli. Randi Bakhtiar Dzaikra Papinya Rafkan yang baru keluar dari kamarnya. Sedang menuruni tangga, Setibanya di bawah, Randi melihat anaknya sedang bermain dengan cucu kesayangannya. Randi sangat bangga dengan Rafkan, dia benar-benar tegar melewati semuanya, dia juga bisa membagi waktu antara kerjaan dengan anaknya. Randi tersenyum, lalu berjalan menghampiri ke duanya. "Hallo cucu opa.. Mmm udah wangi banget yaa," Randi mencium pipi kanan dan kiri Yasna, yang harum khas bedak dan farfum bayi. Rafkan memang selalu memandikannya dan mendandani Yasna terlebih dahulu, sebelum dirinya mandi, setelah selesai Yasna di titipkan dulu kepada maminya baru giliran dirinya, yang membersihkan badan sebelum lekas pergi ke kantor. "Papapa.." celoteh Yasna sambil menyemburkan ludahnya ke wajah Randi, lalu dirinya tertawa. Membuat opanya itu sangat gemas. "Cucu opa.. Mulai jahil ya sama opa awas ya." Ucap Randi seraya menggelitik badan Yasna yang berada di gendongan Rafkan itu, membuat Yasna tidak bisa diam di gendongan sang Ayah. Rafkan tersenyum lebar, melihat Yasna tertawa lepas, karena ulah kakeknya. Senyuman itupun tertular kepada Desti yang sedang menyiapkan sarapan. Kehadiran Yasna, menambah kehangatan di keluarga mereka. Karena Yasna juga, selalu membuat ke dua lelaki itu tidak ingin berangkat bekerja, buktinya, lihat saja pagi ini. Keduanya malah Asik bermain dengan Yasna. "Kalian ini selalu lupa waktu ya. Ayo sarapan dulu.. Nanti pada kesiangan loh ke kantornya." suara Desti menginterupsi kegiatan mereka. Randi dan Rafkan pun beranjak dari sofa berjalan ke arah meja makan. "Ayo sayang.. Main dulu sama oma ya..ya.." Desti kembali membujuk Yasna, dia mengulurkan tangan pada cucunya. Namun tetap, tidak tersambut. Yasna tetap tidak mau beralih dari gendongan sang Ayah. Rafkan tersenyum ke arah putrinya itu. Mengecup pipi Yasna beberapa kali. "Yasna sayang, Ayah kerja dulu ya.. Yasna main dulu sama oma ya."  Ujar Rafkan lembut, bujukan Rafkan juga sia-sia, dia tetap tidak mau. hanya berceloteh tidak jelas, tangan kecilnya memainkan kemeja yang Rafkan kenakan. Rafkan merasa gemas sendiri, dia mencium lama anaknya. Mungkin karena kemarin. Rafkan meninggalkan Yasna, pergi ke Bandung, untuk meninjau persiapan pembukaan cabang perusahaannya. Jadi seperti inilah, bentuk pengungkapan rasa rindu sang anak kepada dirinya, sejak terbangun dari tidurnya, dia tidak mau lepas dari sang ayah. "Kayaknya hari ini aku gak pergi ke kantor aja. Mi," putus Rafkan, pada akhirnya. Tidak tega, meninggalkan putrinya. "Ya sudah kalau gitu, kayaknya Yasna bener-bener kangen sama kamu." Rafkan mengangguk, lalu tersenyum lagi ke arah Yasna.  "Nasi goreng apa roti Raf?" tanya Desti yang mengerti kalau Rafkan ke susahan mengambil sarapannya karena menggendong Yasna. "Roti aja Mi," jawabnya, yang di angguki oleh Desti sembari mengambilkan roti lalu mengoleskan selai kesukaan Rafkan. Rafkan menerima roti yang di sodorkan sang mami, lalu memakannya.. Saat ia tengah mengunyah roti tersebut. Yasna memperhatikan dengan lekat. Seperti ingin makan apa yang sedang di makan sang Ayah. "Yasna mau?" tanya Rafkan, anaknya itu berceloteh tak jelas, lalu tangannya berusaha meraih roti di mulut Rafkan, yang sengaja Rafkan taruh di mulutnya karena ingin menggoda sang anak. Yasna pun berhasil mengambil separuh roti lalu di masukan asal ke mulutnya. Aktifitas yang di lakukannya tidak lepas dari perhatian ke tiga orang dewasa yang ada di sana. Mereka tertawa serempak, saat Yasna ingin memasukan kembali roti ke mulutnya, dengan potongan yang lumayan besar di tahan oleh Rafkan. "Belum boleh sayang.. Belum boleh makan ya," kata Rafkan, membuat mata gadis kecilnya itu berkaca-kaca, detik selanjutnya tangis Yasna pecah. "Uuuuhh..sayang, anak pinternya Ayah gak boleh nangis. " Rafkan beranjak dari duduknya, menimang-nimang Yasna supaya berhenti menangis. "Raf.. Usia Yasna kan udah 6 bulan, udah boleh di kasih makan kok. Lihat kasian kan dianya?" Saran Desti, pada anaknya. "Iya Mi.. Tapi kan, makanannya juga gak boleh sembarangan. Kita harus tanya dulu sama dokter jenis makanan seperti apa yang boleh dia makan." Sahut Rafkan, Ayah muda satu ini, memang perpeksionis sekali. "Iya maksud Mami juga gak segala di kasih juga, lagian kan..seperti buah-buahan, atau makanan padat seperti bubur bayi, udah boleh di kasih Rafkan." Desti memperjelas perkataannya. "Iya Mi..iya mulai besok kita coba mulai kasih makanan" Akhirnya Rafkan menyerah, membuat Desti tersenyum cerah. Yasna masih belum menghentikan tangisannya. "Stttt.. Udah dong sayang, iya maafin Ayah ya, Mulai besok Yasna boleh makan. Sekarang Yasnanya diem ya." Rafkan mencoba memberi pengertian. "Cucu cantik Oma, berhenti ya.. nangisnya, nanti Oma yang hukum Ayahnya Yasna." Desti ikut membujuk. Beberapa saat kemudian, Perlahan tangisanya mulai berhenti, hanya tersisa isakan kecil. "Mi.. Maaf. Bisa minta tolong ambilin s**u buat Yasna di dapur, tadi aku udah bikin." Dengan cepat Desti bergegas ke dapur, tidak lama dia kembali dengan sebotol s**u di tangannya yang langsung di berikan kepada Rafkan. "Udah ya nangisnya.. Sekarang Yasna minum susunya." Rafkan menyodorkannya ke mulut Yasna, Yasna menerimanya dan mulai meminumnya. Rafkan mengecup kening Yasna beberapa kali, dia tidak tega melihat buah hatinya menangis, karena baru kali ini Yasna nangis selama ini. "Kamu ini bikin anak nangis kejer begitu." ujar papinya yang dari tadi diam saja. "Ya, kan gak maksud buat bikin nangis Pi." bela Rafkan. "Ya sudah, papi berangkat dulu ya mi Raf." kata Randi, Rafkan mengangguk. Desti mengantarkan papinya ke depan. Sementara Rafkan, duduk di sofa Rafkan mengusap sisa air mata Yasna di pipi putihnya itu. Yasna sudah mulai tenang, matanya mulai terpejam hembusan nafasnya pun mulai teratur, Rafkan merasa bersalah sudah membuat anaknya menangis sampai terlelap saking lelahnya. *** Saat ini Rafkan sedang menonton tv di ruang keluarga bersama Maminya, sementara Yasna tengah tertidur semenjak kejadian tadi pagi. Sampai sekarang masih belum bangun, mungkin karena terlalu lelah menangis. "Oh ya Raf, ada yang mau Mami bicarain juga sama kamu?" Desti memecah keheningan. Rafkan yang semula memfokuskan pandangannya pada televisi, menoleh pada Desti dengan raut wajah bertanya. "Bicara apa Mi?" Kening Rafkan berlipat. "Jadi begini Raf, bukan Mami gak percaya sama kamu mengurus Yasna sendirian. Yang mami lihat kamu sangat mampu mengurusnya dalam hal apapun. Tapi, tetep aja Yasna butuh sosok seorang ibu Raf, Dan mami ingin mengenalkanmu dengan anak temen Mami. Mami bukan ingin menjodohkan kamu.. Kita coba aja dulu silaturahmi ke sana kalau kalian saling cocok Alhamdulillah. Kalau belum, Ya.. Gak apa-apa mungkin belum jodohnya. Oh ya, dan anak temennya mami udah setuju kalau kita boleh datang kesana." jelas Desti. "Mi, aku gak masalah sama ide mami. Tapi, yang aku pikirikqn apa anak temen mami itu mau sama aku yang udah punya anak, aku udah gak sendiri lagi mi." keluh Rafkan, "Rafkan, temen mami udah nyeritain keadaan kamu semuanya sama anaknya, dan anaknya gak masalah, dia tetep mau kita ke sana. jadi gak ada yang perlu kamu takutkan. Yang mami lihat anak temen mami itu punya sifat ke ibuan. Dia juga mandiri gak bergantung sama orang tuanya, Mami juga ingin sosok ibu sambung yang baik untuk Yasna Raf," Rafkan diam, dia berfikir. Yang Rafkan takutkan jika dirinya punya istri lagi, dia tidak tulus menerima keadaan dirinya yang sudah memiliki anak. Jika kebanyakan orang di luar sana yang kondisinya sama dengan Rafkan, akan susah menerima kehadiran orang baru di hidupnya, yang maksudnya adalah istri baru. Berbeda dengan Rafkan, jika sudah waktunya Rafkan bertemu lagi dengan jodohnya, inm syaa Allah Rafkan akan menerimanya, berusaha menjadi imam yang baik, bertanggung jawab, dan tentu saja akan menyayanginya. "Apa anak temen mami itu masih berstatus perawan?" tanya Rafkan. "Iya, dia berusia 23 tahun, anaknya cantik dia berhijab Raf. Bahkan selalu memakai pakaian syar'i." Mendengar jawaban maminya, Rafkan semakin ragu. Apa wanita sempurna seperti itu mau menerima dirinya satu paket dengan anaknya. "Sayang, kok malah ngelamun.. Kita coba dulu mau ya? Mami beneran gak akan maksa kamu, hasilnya nanti beneran gimana kalian." Keadaan hening kembali selama beberapa saat, sampai Rafkan berkata, "Ya udah Mi." Putus Rafkan pada akhirnya. Tentu saja membuat Desti tersenyum. Senyuman lebar menggambarkan kebahagiaan dan rasa lega dalam hatinya. *** To Be Continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN