Permulaan

2085 Kata
“Besok kau akan berangkat ke Jakarta, untuk melanjutkan kuliahmu di sana. Mama harap, selama kau di Jakarta, baik-baiklah kau. Jangan buat malu keluarga di kampung.” “Tenang, Mak!. Aku, tak akan buat mama dan bapak malu. Aku akan belajar yang giat dan tidak akan macam-macam selama berada di Jakarta.” “Sebenarnya Mama, keberatan kamu pindah kuliah ke Jakarta. Kenapa kamu tidak meneruskan di sini saja kuliahmu?Mama  sedikit khawatir dengan pergaulan di kota besar, meskipun kau tinggal dengan Om dan Tantemu, tetap saja mama khawatir.” “Sudahlah, Ma! Jangan terlalu khawatir, aku ini anak laki-laki. Wajarlah untukku merantau, tinggal jauh dari orang tua. Aku pun, sebenarnya tidak mau meninggalkan Mama dan Bapak di sini, tetapi mau bagaimana lagi, aku mendapatkan tawaran untuk bekerja di perusahaan yang ada di Jakarta. Makanya, aku pindah kuliah ke Jakarta.” “Ingat pesan Mama, yang utama itu kuliahmu. Kamu bekerja, hanya untuk sampingan saja. Kalau kamu tidak sanggup menjalani keduanya, yang harus kamu pilih kuliahmu. Kamu bisa bekerja setelah tamat kuliah ya, Bang!” “Siap, mamaku sayang!. Aku akan mengutamakan kuliahku.” Bapak Kris, yang sedari tadi hanya diam saja, akhirnya pun ikut membuka suara juga. “Abang selama di Jakarta nanti jangan bikin mama dan bapak malu. Kamu akan tinggal di rumah inangmu, di sana nanti akan ada paribanmu Siska, jangan kau ganggu dia. Kau harus menjaganya dengan baik.” “Aku tidak akan macam-macam dengan anak inang selama tinggal di rumah mereka. Kenapa mama dan bapak tidak setuju aku tinggal di tempat kost saja?. Aku janji tidak akan melakukan hal yang bisa merugikan diriku sendiri dan juga membuat kecewa mama dan bapak di kampung.” “Sekali bapak bilang tidak, ya tidak! Kalau kau tidak mau menurut, kau tetap kuliah di Medan saja, tidak usah ke Jakarta!” tegas Bapak kepada Kris. Setelah mendapatkan banyak pesan dari mama dan bapaknya, Kris pun berpamitan kepada keduanya untuk pergi bertemu dengan teman-teman kuliahnya dan berpamitan dengan mereka. Dengan mengendarai sepeda motornya, Kris pun menuju ke kafe tempat yang menjadi pertemuannya dengan teman-teman kuliahnya. Mereka mengadakan pesta perpisahan di sana. Kris mematikan mesin motornya dan masuk ke dalam kafe, di sana ia melihat sudah berkumpul dengan keempat orang temannya. Kris pun duduk bergabung dengan keempatnya dan satu orang gadis cantik bernama, Nadya, yang diam-diam naksir Kris. “Akhirnya, datang juga yang akan pergi ke Jakarta. Malam ini, kau harus traktir kami semua.” kata Derian, teman Kris. “Tenang, kalian semua boleh pesan apa saja dan makan sepuasnya, tetapi harus habis.” “Duh, senang sekali ya, yang mau pindah ke Jakarta. Jangan lupakan kita yang ada di sini, kalau nanti sudah ada di Jakarta, ya Bang!” kata Nadya dengan tatapan yang tidak bisa menutupi rasa sukanya kepada Kris dan juga rasa sedih, karena harus berpisah dengannya. Kris memalingkan wajahnya menghadap ke arah Nadya, “Tenang, aku tidak akan melupakan kalian semua. Aku akan selalu ingat kalian, biarpun di Jakarta aku mendapatkan teman baru.” Anton yang mengetahui perasaan Nadya kepada Kris pun menggoda keduanya, “Teman baru, atau cewek baru, Bang! di Jakarta, ‘kan, banyak cewek cantik dan seksi, yang bisa membuat Abang melupakan seseorang yang ada di sini.” Kris menatap tajam ke arah Anton, ia tidak mau membuat Nadya salah paham dan berharap kepadanya, karena ia belum memiliki perasaan yang khusus kepada Nadya. Ia menganggapnya hanyalah sebagai teman saja, meskipun gadis itu berharap lebih kepadanya. “Aku ke Jakarta itu untuk kuliah dan bekerja, bukan untuk mencari kekasih.” “Tenang, Sob! tidak usah ngegas. Kau bisa saja bilang tidak, tetapi siapa yang tahu ke depannya nanti. Siapa tahu saja, akan ada gadis yang membuatmu menjadi takluk, bukan begitu!” kata Sihol, teman Kris. Nadya yang mendengarnya menundukkan wajah, matanya terlihat berkaca-kaca. Kris tidak suka melihatnya, ia tidak pernah sedikit pun memberikan harapan kepada Nadya. Kris juga tidak mau menghibur, ataupun memberikan kata-kata perpisahan yang membuat Nadya menjadi berharap lebih kepadanya. Dengan suara yang sedikit bergetar, karena gugup dan malu, Nadya berkata, “Mungkinkah, Abang akan mengingatku di hati Abang, selama berada di Jakarta. Karena, aku akan selalu mengingat Abang di dalam hatiku dan berharap Abang juga akan mengingatku, hingga pada waktunya nanti Abang kembali ke Medan.” Teman-teman Kris terbatuk, mendengar keberanian Nadya menyuarakan isi hatinya. Sementara Kris sendiri, hanya menatap Nadya dengan dingin. “Maafkan aku, kalau selama ini mungkin kau anggap memberikan harapan kepadamu, tetapi aku hanya bisa menganggapmu sebagai teman saja dan aku pun akan mengingatmu sebagai teman juga. Kuminta kepadamu, jangan mengharapkan perasaan yang lebih kepadaku.” Keempat teman Kris menatap tidak percaya, mendengar kalimat penolakannya secara langsung kepada Nadya. Sementara Nadya sendiri, matanya terlihat berkaca-kaca. “Mengapa Abang jahat sekali! tidak bisakah Abang mencoba untuk menyukaiku? Apa kekuranganku, Bang? sampai Abang tidak suka denganku.” Menghela napas dengan kasar, Kris menatap tajam Nadya, “Kau terlalu manja dan kau memaksakan kehendakmu, aku sangat tidak suka dengan perempuan yang seperti itu.” “Aku janji akan berubah Bang! menjadi wanita, yang seperti Abang mau. Tetapi, aku mohon, berikanlah kesempatan kepadaku untuk menjadi kekasih Abang!” Raymon yang sedang minum, menyemburkan ke luar air yang diminumnya secara tidak sengaja ke wajah Kris. ‘Bah! apa-apaan kau ini, Mon! Kenapa kau sembur aku dengan air, macam Mbah Dukun aja, kau ini!” kata Kris gusar. “Sorry, Kris. Aku tidak sengaja. Hanya saja, aku terlalu terkejut.” sahut Raymon, dengan mimik wajah merasa bersalah kepada Nadya, karena tidak mau membuatnya menjadi kecewa dan sedih. “Jawablah, Bang!. Apakah Abang, mau memberikan kesempatan kepadaku? aku janji akan berubah!” Melihat ke arah Nadya dengan raut wajah tidak suka, Kris pun berkata, “Janganlah kau paksa aku untuk menyukaimu. Aku sudah katakan tidak mau memberikan harapan palsu, kau di sini akan bertemu dengan pemuda yang lebih baik dariku. Lupakan saja aku dan carilah pemuda yang lain.” Kris pun berdiri dan berkata kepada teman-temannya, “Maaf, aku pulang duluan, karena besok pagi-pagi, aku sudah harus berangkat ke bandara. Mama dan Amangku, juga hanya mengijinkan kepadaku untuk sebentar saja. Jangan khwatir, aku yang membayar semua pesanan kalian.” Kris lalu meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja. Tidak menghiraukan keberatan teman-temannya, dengan kepergiannya yang mendadak, Kris tetap meneruskan langkahnya ke luar dari kafe. Sesampai di parkiran, Kris menyalakan mesin motornya dan melajukannya untuk pulang ke rumah. Sementara itu, di Jakarta. Di sebuah rumah berlantai dua, di mana terdapat sebuah keluarga yang memiliki putri tunggal, bernama Monica Sinaga. Seorang gadis yang berusia 18 tahun, siswi kelas XII IPA, di sekolah swasta elit yang ada di Jakarta. Terlahir dari keluarga yang tajir dan hanya sebagai anak satu-satunya, membuat Monica menjadi manja dan selalu bertingkah seenaknya saja. Pagi ini, di rumah keluarga Sinaga, sedang terjadi kehebohan, sepertinya biasanya yang diakibatkan oleh Monica, tuan putri di keluarga Sinaga. Putra, ayah   Monica hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar perdebatan antara istri dan anaknya. Keduanya suka sekali berdebat. Perdebatan keduanya, bahkan hingga mereka sudah duduk di depan meja makan. “Tak bisakah, kalian berdua ini tidak berdebat satu hari saja? Bagaimana nanti, kalau Pariban mu, Kris sudah datang dari Medan. Ia pasti akan merasa heran melihat rumah yang hanya dihuni sedikit orang, tetapi seperti dihuni oleh banyak orang.” “Anakmu ini, susah sekali diberitahu. Sudah kukatakan, untuk tidak begadang menonton drama apalah itu, karena ia susah sekali bangun pagi. Lihat, sekarang sudah jam berapa? Sudah banyak surat panggilan untuk kita, karena ia sering datang terlambat ke sekolah. Malulah aku, dengan kelakuan anak gadis kita ini.” Putra menatap Monica, yang memanyunkankan bibirnya mendengar perkataan ibunya. “Bukan salahku, kalau datang terlambat, yang salah itu, kenapa harus masuk sekolahnya terlalu pagi. Seharusnya, jam masuk sekolahnya itu siangan dikit. Papi, harus mengusulkan hal ini ke sekolah, agar jam masuk diubah, pasti aku tidak akan datang terlambat lagi. Lagipula aku, ‘kan, sudah tidak belajar lagi, hanya  tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja!” sahut Monica, tidak mau kalah. Monica, mami Siska menggelengkan kepalanya, “Sungguh, aku tidak mengerti dengan kelakuan anak kita ini. Apakah kau yakin, kau akan lulus?” Monica menatap tidak percaya ke arah mami nya. “What! Mami meragukan kecerdasan anakmu ini! Lihat nanti ya, Mam! Kalau aku lulus, mami harus mengabulkan keinginanku untuk pergi ke Korea, bertemu dengan tokoh idolaku.” “Besok, akan datang anak paman mu dari kampung. Sebenarnya, ia akan tinggal di tempat kos, tetapi papi meminta kepada paman mu, agar paribanmu, itu tinggal bersama dengan kita.” kata Putra. “Pariban mu itu, anak yang pintar dan juga memiliki disiplin yang tinggi, nanti kau akan berangkat dan pulang sekolah dengannya. Begitu juga, setelah kau kuliah nanti, kau akan satu kampus dengannya. Ia yang papi tunjuk untuk mengawasimu, biar kamu tidak macam-macam lagi dan membuat ulah.” tambah Putra, sambil menyuap sarapannya “What! mengapa pula aku harus diawasi olehnya yang baru datang dari kampung. Ia pasti akan bertingkah kampungan dan membuatku malu. Apa kata teman-temanku nantinya, kalau mengetahui aku diantar jemput olehnya. Tidak mau, aku tetap akan membawa mobilku, seperti biasanya. Aku juga tidka yakin, ia bisa mengemudikan mobil.” kata Monica. Mendengar perkataan Monica, mami dan papinya, melotot ke arah putri semata wayang mereka itu, papinya dengan galak memperingatkan Monica, “Kau harus menuruti apa kata-kata pariban mu dan juga, kau tidak bisa membantah keputusan mami dan papi tentang pariban mu, Kris. Kau harus bersikap ramah kepadanya, selama ia tinggal di rumah kita.” Monica memilih tidak menyahut perkataan papinya, dalam hatinya ia merencanakan cara, agar paribannya itu, nantinya tidak merasa betah berada di rumah mereka. Lihat saja nanti, apa yang akan dilakukannya. Selesai sarapan, Monica berangkat ke sekolah dengan mengendarai mobil pribadinya. Ia melajukan mobilnya dengan santai, toh ia sudah terlambat beberapa menit, sekalian saja, ia tidak usah masuk jam pelajaran pertama, yang tentunya kosong, karena ia sudah menyelesaikan ujian beberapa hari yang lalu. Sampai di depan sekolah, pintu gerbang sudah tertutup, Monica memanggil pak satpam yang bertugas, dengan berteriak-teriak dari balik pintu gerbang sekolah. Pak Cipto, satpam di sekolah pun berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah gerbang dan ketika melihat siapa yang berdiri dari balik pagar ia pun berkata, “Terlambat lagi, Non Monica? bukannya sudah diperingatkan untuk tidak datang terlambat!” “Iya, Pak! Abisnya bantal dan kasurku terlalu empuk dan nyaman untuk ditinggalkan, Pak! Tolong bukakan pintunya dong!” pinta Siska, sambil mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari saku seragamnya. “Maaf, No Monica. Nona, sudah melecehkan Bapak, dengan menawarkan uang. Bapak tidak bisa menerimanya, tetapi Bapak akan membukakan pintu gerbang ini untuk Nona Monica dan Nona Monica harus menjalani hukuman lari keliling lapangan basket tida kali.” Pak Cipto pun membuka pintu gerbang sekolah dan membiarkan Monica untuk masuk. “Pak, aku jangan dihukum ya! Lihat nih, kakiku yang indah ini, nanti kalau lari jadi besar dan berotot, seperti kaki pemain bola bagaimana? kakiku tidak akan terlihat indah lagi, dong!” kata Monica, sambil memperlihatkan kakinya yang jenjang dan putih mulus kepada pak Cipto. “Maaf, Non Monica, tetap harus menjalani hukuman lari mengelilingi lapangan basket dan Bapak rasa, kaki indah Non tidak akan berubah menjadi kekar.” Monica memanyunkan bibirnya ke arah pak Cipto, ia pun memasuki halaman sekolah dan menaruh tasnya di meja pak Cipto dan mulai berlari mengelilingi lapangan basket. Monica tersenyum, ketika melihat ada beberapa pelajar lelaki yang sedang bermain basket. Terlihat Rangga, cowok kelas XII IPS, yang menjadi idola  Monica sedang bermain basket bersama dengan teman-teman satu kelasnya. Otak cerdas Monica mendapatkan ide untuk menghindari hukuman lari dan menarik perhatian Rangga. Sambil tersenyum, Monica pun membayangkan keberhasilan rencananya.  Monica berlari, dengan mata yang sesekali melihat ke arah bola basket dan ketika ia melihat peluang yang tepat, ia dengan sengaja berlari ke arah bola yang dilempar Rangga, hingga mengenai kepalanya. Monica pun langsung terjatuh di atas lantai lapangan basket. Rangga yang melihat, kalau bola yang dilemparnya mengenai kepala teman satu sekolahnya langsung berlari mendekati Monica dan melihat kalau yang pingsan adalah Monica, gadis menyebalkan yang selalu saja mengganggunya, Rangga pun mempunya ide untuk mengerjai Monica. “Gue yakin, nih cewek hanya pura-pura saja pingsan. Lagian, tadi salahnya juga tiba-tiba saja muncul,” gumam Rangga. Rangga melihat ke sekitarnya dan ketika dilihatnya ada teman nya yang mempunyai badan yang besar dengan wajah yang dipenuhi jerawat besar-besar. Rangga melambaikan tangannya dan meminta teman nya itu untuk mendekat. Melalui gerakan tangan. Rangga meminta kepada teman nya itu untuk menggantikan posisi nya. Dan untungnya, teman nya itu, dengan cepat nya bersedia melakukannya. Monica, dalam pura-pura pingsannya. Merasa ada yang berbeda, ia merasa mendengar suara tertawa dan bisik-bisik. Dengan perlahan dibukanya matanya, dan ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN