Bab 2 : Pesona Circassia

4050 Kata
Lelaki ini jelas bukan superhero macam Batman atau Spiderman. Dia juga tidak seganteng Captain America apalagi sehebat Thor. Biar kelebihan mengagumkan itu hanya ada di film-film, biar hanya sebatas karakter yang diunggah manusia ke layar kaca saja. Dan tenang, wajahnya pun tidak seawesome Nabi Yusuf kok, Allah tak menganugerahinya paras luar biasa tampan sampai membuat wanita hilang kesadaran mengupas kulit tangan mereka sendiri. Tidak, itu mengerikan. Dunia abad ke-21 ini sudah cukup pelik dihuni oleh manusia-manusia yang lupa daratan, Kharisma Pandjie tak perlu merecokinya. Sebab hanya dengan mengeja tata nama binominal nomenclaturenya saja hati Nobelia sudah lancang berdebar-debar tak karuan. Huh, tarik napas, hembuskan lagi. Nobelia mengatur oksigen yang keluar masuk dengan amatiran, berdoa supaya tidak mentok di tenggorokannya. Kabar kedatangan Pandjie sukses membuat letak organ vitalnya tak sama lagi. Nobelia takut orang-orang di sekelilingnya menyadari kalau ia sedang—gelisah. “Siap masuk segmen terakhir?” Kepala Yunka kali itu nongol dari balik tirai. Di lehernya tergantung sebuah tanda kepanitiaan simposium Sosiologi nasional, gadis itu bergaya chic disertai kacamata minusnya. Nobelia menoleh dengan bimbang, berat hati kalau harus meninggalkan ponselnya di dalam tas gambloknya. “10 menit lagi bagaimana, Yun? Aku sedang nunggu balasan yang penting dari seseorang.” Jujur gadis itu, menggigit bibir. Sikapnya mungkin terkesan amat tidak profesional. Dan untung Yunka menggeleng dengan tegas, tak setuju tindakan kekanak-kanakannya itu. “Ayolah, Be. Setelah segmen ini selesai kamu bebas melakukan apapun. Memangnya Pandjie bisa kabur ke mana sih?” Gantian gadis itu yang mengeluh. Ke Brazil! Pakai tanya! Setengah sebal karena modus sok minta rukhsahnya ketahuan Yunka, Nobelia menjejalkan ponselnya ke dalam trashbag. Berharap jika percakapan dengan Panjie ikut terusir dari kepala karena simposium ini penting sekali, dan Nobelia pun tidak mau hanya gara-gara bayangan Pandjie yang menghantui, membuat konsentrasinya jadi rusak. Sebab tiga hal yang dibahas dalam simposium ini urgent bin serius; ini adalah soal education for sustainable lifestyle, urban sustainable lifestyle dan community development for sustainable life. Dan maka dari itu, Nobelia kudu melupakan dulu soal Pandjie. *** “Kamu di mana? Suaramu putus-putus.” Pria itu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang simposium di gedung ini, percakapan di telepon tidak begitu jelas karena banyak orang memenuhi gedung tersebut. Sangat berisik sekali situasinya, makanya mencari-cari keberadaan gadis cantik tapi bandel dan susah diatur itu jadi tidak mudah. “Aku di backstage panggung utama, belakang sound system. Kamu di mana sebetulnya?” Suara gadis itu terdengar cemas campur jengkel. Suara yang paling disukainya. Pandjie menyibak kerumunan sembari mengulum senyum, lantas menemukan panggung utama yang berhias mawar. Berpadu pula kayu-kayu beragam bentuk, melengkung dari sisi ke sisi lainnya. Kemudian, sekejap, matanya menemukan sosok gadis itu mengenakan pakaian khas Sunda. Sebuah kebaya modern tanpa payet, secantik dan sesederhana si pemakainya itu sendiri. “Adjie, kamu dengar aku?” “Sorry, Bee, aku—“ “Apa? Kamu kenapa?” Ujung telunjuk Pandjie pun iseng menyentuh pundak Nobelia. Gadis itu menoleh. Dan ekspresi pertamanya yang tertangkap lucu sekali. Panjdie tersenyum, “Sorry, aku terlambat datang. Aku tadi hanya mau bilang itu, jadi hapus wajah cemberutmu dan gantilah pakai senyum manis sebagai bentuk penyambutan atas kepulanganku.” Alih-alih tersenyum, Nobelia justru malah mengembus napas, menunjukkan mimik uniknya, “Aku kira kamu nyasar tadi, dan—ah, lupakan saja, and now, look at you boy—“ Nobelia tiba-tiba mundur selangkah sembari mengusap dagunya, lantas melempar pandang penuh penilaian. Kemeja dan jas abu-abu tanpa dasi. Secara keseluruhan Pandjie terlihat gagah, lembut sekaligus dewasa. “Kamu makin tampan sejak aku melihatmu enam bulan lalu.” Komentar Nobelia terang-terangan, lekuk kecil di samping bibirnya terukir indah kala mengulas seringai menggemaskan. “Dan kamu, kamu semakin pendek sejak kali terakhir aku melihatmu.” Canda Pandjie. “Kamu menyebalkan, Adjie!” Nobelia balik kanan dan cemberut. Senyumnya luntur ditiup ucapan Pandjie yang saklek itu. Namun tak urung meluruh lagi kala didengarnya pemuda itu tertawa. Sendi-sendi tubuhnya sekejap lumer. Huh. Tidak adil ketika kemarahanmu hanya bertahan beberapa detik saja karena tindakan sepele tetapi tulus itu, dan dalangnya cuma gara-gara satu gelak tawa. “Aku hanya bercanda, Bee. Lagipula tak ada yang bisa merubah kamu sejak dulu kok, kamu selalu enerjik dan mengagumkan.” Gumam Pandjie, yang kini langkah santainya mengekori Nobelia hingga ke backstage. Sementara, gadis itu mati-matian menahan diri untuk tidak menepuk kedua belah pipinya, yang ia yakin kini tengah mengepulkan asap. “Yap! Anak-anak muda seperti kita harus punya energi postif, kan? Apa jadinya kalau kita layu, tak punya hasrat, tak punya gairah hidup? Yang ada negara bisa mati suri Sebab pondasi-pondasinya tak sekuat baja, alias loyo.” Pandjie tersenyum, “Aku setuju, Bu Guru.” Alis Nobelia naik satu, “Ibu Guru?” Lelaki itu mengangguk, “Kamu. Pahlawan tanpa tanda jasa sebab kerap sembunyi-sembunyi setiap kali mengunjungi taman Al-Iqra untuk mengajar anak-anak.” Nobelia langsung pasang kuda-kuda S3, alias sinyal super siaga, mengurungi kekagetannya sendiri. “Jangan bilang kalau kamu menguntitku?” Tuduh gadis itu, mengacungkan telunjuknya yang lentik. Kedua matanya yang belo menyipit tajam, dan bergerak curiga. Mana mungkin Pandjie tahu aktivitasnya sementara pemuda itu ada di Brazil sana? Dan tak ada yang tahu perihal mengajarnya Nobelia di taman baca itu. Dan wasangka yang lainnya pun berhamburan, “Atau kamu pinjam alat sadap milik Papa, yang bisa memonitoring orang dari jarak jauh?” “Woah, mana mungkin aku berani pinjam barang milik Papamu. Sementara berhadapan dengannya saja kedua kakiku gemetaran.” Bohong. Nobelia tahu Pandjie dan Khairul Azam cukup dekat. “Tidak penting bagaimana aku bisa tahu. Yang paling penting adalah, aku sudah tiba di kota kelahiranku ini kembali—dan bertemu dengan kamu lagi.” Nobelia menerima kompromi, nanti kan bakal ada saat-saat mereka mendiskusikan banyak hal, “Lantas, kapan tepatnya kamu pulang?” “Baru saja.” “What?” Nobelia menelusuri sosok Pandjie yang sedikit messy. Terutama di bagian rambut yang tidak seklimis biasa. Yang benar saja, jadi lelaki itu sama sekali belum pulang ke kediaman Pandjaitan? Keluarganya sendiri? “Aku baru sampai setengah jam yang lalu,” Pandjie mengulang dengan kalem. “Aku ingin kamu menjadi orang pertama yang aku lihat ketika kembali.” Kalimat itu tidak terkesan cheesy, mungkin karena Pandjie beraut serius. “Ummm—oh, katamu waktu itu, Edgar juga mau ikut berlibur di sini, ya?” Nobelia kembali melanjutkan perjalanan mereka, bertanya apa saja sebab ia tak mau hancur lebur dalam pesona pemuda itu. “Tidakkah cukup aku saja yang pulang?” Apa coba maksud Pandjie bertanya begitu? Nobelia menjawab serasional mungkin, “Tidak, karena aku juga ingin punya teman asli Brazil, dan aku rasa Edgar adalah orang yang cocok untuk dijadikan teman.” Lantas, Pandjie menyejajari langkah Nobelia dengan mantap, “Aku lupa, kalau Sosiolog seperti kamu pasti butuh banyak teman untuk objek penelitian. Tapi bisakah aku jadi satu-satunya objek yang kamu teliti keberadaan serta hatinya?” Apakah Pandjie mau membunuhnya lewat debaran jantung yang menggila? Nobelia meraih tas, melepas name tag, atau melakukan apapun asalkan terlihat sibuk. Ulasan senyum grogi itu malah memancing reaksi Pandjie. “Aku baca puisi yang kamu tulis, puisi yang kamu terbitkan di majalah organisasimu itu.” Tiba-tiba Pandjie kini mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku jasnya. Dan lebih tepatnya, itu adalah sebuah potongan majalah yang memuat hasil kreasi absurdnya. Duh, bagaimanalah ini? “Kertas ini ibaratkan hatimu, dan aku ingin selalu mengantonginya sepanjang waktu, Bee,” Tatapan pemuda itu teduh. “Sejak aku membaca, memahami serta menafsirkannya secara sungguh-sungguh, aku jatuh pada kedalaman puisi yang kamu suguhkan. Aku tenggelam dalam tiap katanya, sedangkan kamu tidak menyediakan apa-apa untuk menolongku.” Pandjie lalu membuka lipatannya, menampilkan sebait puisi yang terhias karikatur wajah seorang laki-laki, dan juga beberapa kuntum bunga lili yang menutupi sebagian wajahnya. Aku adalah massa yang tertarik akan gravitasi ciptaanMu, Akulah pecahan partikel itu, seringkali menyungkur diri padaMu, MengelilingiMu dengan derai air mata, tawa sumbang bahagia dan laraan, syahdu, sebab Engkau menciptakanNya kelewat indah, hingga aku terjebak, Bersama bayang pria bermata zaitun yang kurindu itu; Yang tak lain ialah potongan anatomi yang kupuja. Yang langkahnya memayungi pantai Brasilia. Yang mengapitku dalam buaian tasbih. Yang kutemukan diriMu di dirinya. Yang kutakut menyingkirkanMu. Yang menakutkanku, Aku takut padaMu. Serius, Kharisma Pandjie seperti sebuah laut yang lepas indah. Pesona Circassia yang tidak pernah pudar. Pesona itu menggantungi wajah Pandjie. Keindahan berpikir pria itu juga memancar. Wawasannya seirama dengan debur ombak sang lautan, menyapu dari sisi ke sisi, lalu memukul dan kemudian berbuih. Sementara di sisi lain, Nobelia takut ditenggelamkan makin dalam. *** Cucu Letnan Satu Pandjaitan itu memang sesuatu sekali. Setelah menggemparkan backstage dengan pembacaan puisinya, sekarang Pandjie malah memaksanya untuk ikut ke kediaman Pandjaitan. Sebetulnya sih bukan masalah, Nobelia sudah pernah ketemu Veer Pandjaitan, yang notabene sahabat baik kakeknya, Dimas Hartanto. Justru belakangan, Eyangnya Pandjie itu pun sering keluar bersama Opa Giri buat urusan bisnis. Tapi sekarang, tetap saja beda rasanya, Nobelia merasa seperti diboyong dengan status yang lebih serius. Ha? Singkirkan pikiran-pikiran macam begitu dari dalam kepalamu, Nobelia. Toh, tindakan Pandjie sejam lalu tidak mengarah pada kesimpulan apapun. Alias ia dan pemuda itu masih temanan! Porsche 911 bertype Turbo Cabriolet Tiptronic itu membelok ke sisi kanan, roda empatnya berhenti di depan sebuah gerbang besi. Seorang lelaki paruh baya berseragam security muncul dari pos di samping pagar, terburu menggeser gerbang. “Den Adjie?” Pandjie menurunkan kaca mobil, senyumnya kala itu sangat sumringah, “Kabar baik, Mang?” Pak Satpam ikut tersenyum, dan tanpa canggung saling jabat tangan dengan Pandjie, “Baik, Den. Baik. Lama tidak melihat, ternyata si Aden makin kasep pisan euy.” Mereka lalu tertawa, akrab. Kemudian, tatapan lelaki paruh baya itu beralih pada Nobelia, “Wah, sekarang di Aden sudah berani bawa pacar ya.” Nobelia tak sempat memberi reaksi bagus saat Pandjie menoleh padanya, lalu memberi senyum perlindungan untuk ekspresinya yang khawatir itu. Sumpah, pasti dia kelihatan t***l sekali. “Teman, Mang.” Pandjie susah payah mengklarifikasi ucapan pekerjanya, Nobelia sempat kecewa, namun Pandjie melanjutkan, “Teman hidup buat saya nanti.” Nobelia kaget bukan kepalang. Takut jantungan, takut fungsi telinganya diragukan, takut jawaban Pandjie itu hanya bohongan, takut di PHP-in dan jadilah dia gadis yang paling baperan sedunia. Si Bapak Satpam itu cuma senyam-senyum melihat Nobelia yang resah. “Geulis, cocok buat Den Adjie, daripada sama pemilik mobil di sana—“ Arah pandangan Pandjie mengikuti telunjuk satpam keluarganya. Dan otomatis senyum musnah dari wajah pemuda itu. “Sejak kapan dia di sini?” Suara Pandjie tetiba keruh. “Baru setengah jam yang lalu, Den.” Pandjie diam sebentar, lalu pamitan sembari menepuk bahu satpamnya. Roda Porsche kembali meluncur mulus di jalanan berpaving blok, mengitari taman bonsai yang rindang serta kolam air mancur. Ada satu sedan metalic warna merah parkir di depan rumah besar kediaman Pandjaitan. Nobelia tak kunjung melepas seatbeltnya meski mesin mobil Pandjie sudah mati. “Kenapa?” Pandjie pun urung menuruni kendaraannya setelah menyadari Nobelia tak ikut bergerak. “Eh, sepertinya kamu sedang ada tamu, apa tidak sebaiknya aku pulang naik taksi saja?” Nobelia menggigit bibir bawah, khawatir entah pada apapun itu yang bakal dihadapinya nanti di dalam rumah. Pandjie merengut tak suka, pria itu jelas akan menolak mentah-mentah usulan tersebut, “Kamu yakin sekali aku bakal mengizinkan sampai berani bilang begitu. Ayo turun, Eyang pasti senang bertemu denganmu.” Pernyataan itu tak bisa lagi Nobelia bantah, ternyata Pandjie punya sisi dominan juga. Maka, terpaksa Nobelia mengikuti langkah pemuda itu memasuki pintu utama. Dari kejauhan, pupilnya silau melihat sosok gadis berdress pendek. Dia saja yang perempuan gerah melihatnya, bagaimana dengan perasaan Pandjie yang lelaki? “Adjie, kenapa kamu tidak mengabari aku.” Suara itu manja, rajuk khas gadis-gadis yang ditinggal pacarnya selama sepuluh tahun. “Pras bilang kamu pulang hari ini, aku sudah menunggu hampir 1 jam di rumah, dan kamu baru muncul sekarang. Dari mana saja?” Hentakan sepatu hak terdengar menubruk lantai. “Adjie! Kenapa wajahmu cemberut begitu sih? Tidak senang ya lihat aku?” Nobelia bisa melihat dengan jelas bagaimana sosok gadis yang hanya terpaku pada kehadiran Pandjie itu mengurai langkah ke arah mereka. Lalu mengangkat kedua tangannya untuk merangkul leher Pandjie. Hati dan usus-usus Nobelia terburai di kedinginan lantai keramik. “Tsk, jangan kekanakan Sheerin. Toh, sekarang aku sudah pulang.” Pandjie mengeluh, tak membiarkan lengan seorang gadis melingkari lehernya lama-lama. Tak pantas sama sekali, dan yang paling penting, pundaknya bukan kapstok. “Iya, aku tahu kok, soalnya kamu—“ Mata gadis itu tiba-tiba terarah pada Nobelia, lantas memindai dari atas ke bawah, lalu ia menaikkan alis yang dipulas tebal itu. Aneh benar ya, Nobelia tak tahu dari mana seninya mencukur alis sampai habis lalu mengganti alisnya dengan pensil warna. Tapi okelah, semua itu masalah selera. Zaman sekarang, gadis usia 20-an mirip 35-an sudah bukan hal aneh lagi. “Kamu Nobelia, kan? Siswa SMAN 25 yang suka bikin onar di lapangan dan ruang kelas?” Tanyanya akhirnya. Untung Nobelia tak menganga bodoh ketika dengar pertanyaan itu. Ouh serius deh, dari sekian banyak sapaan yang mungkin orang lontarkan padanya, apakah sederet kalimat itu bisa diklasifikasikannya sebagai penyambutan yang sangat tidak ramah? “Maaf, tapi maksudmu tidak sampai. Pembuat onar di lapangan dan kelas? Bisa kamu jelaskan dengan lebih spesifik lagi?” Nobelia balas menaikkan alisnya. Rasanya ia tahu gadis ini siapa, ratu sekolah yang merasa jadi ratu sejagat. Oh, jadi namanya Sheerin? Setelah 3 tahun berada dalam 1 SMA yang sama, Nobelia takjub bukan main menyadari bahwasanya ia terlalu abai pada masalah-masalah sepele di lingkungan para siswa termodernisasi. Alih-alih menggubris, gadis itu malah mencoba lagi buat menggelayut manja di kedua pundak Pandjie, “Kamu kenal dengan dia, Adjie? Kenapa kamu bersamanya?” Ugh, gadis ini! Nobelia mendengus jengkel, mau nekat menarik Pandjie kalau saja pemuda itu miliknya. “Eyangku mau ketemu dengan dia, Nobelia cucu dari sahabat-sahabatnya.” Ungkap Pandjie datar saja, ia memberi isyarat agar Nobelia kembali mengikutinya. “Katanya Eyang sedang istirahat? Kenapa kamu malah ajak dia ketemu Eyang sementara aku dihalangi terus sejak tadi sama pekerja-pekerjamu yang tak becus melayani tamu penting itu?” Sheerin merajuk lagi, bibir yang berlipstik merah itu lalu mengerucut. Ya salam, gadis ini benar-benar nyeleneh? Sudah berkali-kali ditolak tapi masih saja nyosor. Selain tidak sopan ternyata Sheerin juga suka menistakan orang lain lewat kasta mereka. “Ayo sini, Bee, kenapa kamu masih saja berdiri diam di situ?” Tahu-tahu, Kharisma Pandjie sudah berada di undakan tangga. “Uh—oh—eh, iya,” Nobelia pasti begitu kalau sedang kumat begonya. Kediaman Pandjaitan memang memiliki ruang makan luas di loteng, yang dihiasi oleh bergerai-gerai bambu. Tempat makannya asyik. Ada angin yang masuk, kini mengelontangkan bambu yang disusun seperti angklung. Nada-nada yang keluar sangat lembut, tak sumbang seperti suara Sheerin. Ya Rabbi! Lihat, Nobelia menepuk jidat, jangan sampai ia jadi pendengki gara-gara si gadis centil juga naksir Kharisma Pandjie. Nobelia please, jangan menghujat. “Eyanggggg, Sheerin kangen tahu.” Belum pun Pandjie menyapa Veer yang duduk membelakangi mereka, Sheerin sudah berlari menuju kursi goyang Veer Pandjaitan. “Masa dari tadi aku menunggu di bawah terus, dan tidak dibolehkan untuk menjenguk Eyang yang sedang sakit rindu karena cucunya.” Veer membalikkan badan, pundak tegapnya yang dulu kokoh, kini membungkuk ditelan waktu. Pria tua itu mengulas senyum rindu untuk dua orang yang kini berdiri di belakang Sheerin, “Nobelia, bagaimana kabarmu? Orang tuamu, dan kakakmu yang hebat itu apa kabar?” Veer merentangkan tangan menyambut Nobelia yang mendadak bengong. Tidak mendapatkan respon, Veer akhirnya menggerakkan jari-jarinya pada gadis itu. “Kemari dan peluk Eyang, Eyang kangen sekali padamu.” Senyuman yang tulus itu mirip Kakek Dimas dalam album foto yang pernah Nobelia amati. Nobelia lantas menyambut lengan Veer yang hangat mendekapnya. Hm, apakah pelukan Kakek Dimas juga akan semenenangkan ini? “Mama, Papa, sehat-sehat saja Eyang, Abang juga sehat, meski lebih sering pulang dengan membawa banyak sekali luka, tapi dia tetap pergi dan terluka lagi saat pulang ke rumah.” Penjelasan Nobelia membuat Veer tertawa dengan renyah, pria tua itu lalu melepas pelukan mereka. “Oh, jadi Eyang lebih kangen sama Nobelia daripada aku, sampai-sampai harus memeluknya lebih dulu?” Pandjie memprotes, menyidekap mirip anak kecil. “Ckckck, sudahlah. Lagipula kamu cuma pergi selama enam bulan, bukan 20 tahun,” Ujar mantan Lettu itu. Ucapan lelaki tua tersebut pasti bercanda, kan? Buktinya sekarang mereka sudah berpelukan kembali, saling menepuk bahu dan tertawa. Pandjie dan Eyangnya yang gaul ketimbang Azam itu kelihatan kompak sekali. “Eyang, aku di sini dari tadi!“ Nobelia hampir lupa keberadaan gadis itu, yang kini benar-benar merah padam seperti kepiting rebus. Sikap tubuhnya tegang macam senar gitar. Setiap wanita memang sensitif kalau diabaikan. “Iya, Sheerin, Eyang lihat kok.” Tukas Veer acuh tak acuh. “Lebih baik kita ke meja makan sekarang saja yuk, ayo ayo—dan untuk Nobelia, Eyang sudah siapkan sup jagung manis yang paling enak untukmu. Opamu bilang kamu suka sekali dengan sup itu.” Bola mata Nobelia pun berbinar, “Huum, Eyang. Tapi bukan aku saja, sup jagung manis adalah menu favorit di meja makan kami, by the way, Eyang sendiri nih yang masak?” Tanya gadis itu antusias, mendadak berubah jadi ekstrovert. Dulu, ia ketemu Eyang Veer waktu main golf bareng Opa Giri. Veer mengangguk dengan bangganya, “Eyang masak sendiri dong. Eyang dan Kakekmu Dimas dulunya sepasang koki terbaik di barak, semua prajurit makan lahap. Dan Eyang jamin kali ini kamu juga bakal begitu.” Selorohnya. Nobelia tersenyum, “Aku tidak pernah meragukannya meski sepersen kok, Eyang.” “Kalau begitu ayo kita cicipi dulu, setelah itu baru kamu bisa berkomentar.” Veer sendiri diambilkan nasinya oleh Pandjie. Dan dengan tegas Pandjie melarang Veer makan sayur kangkung. Eyangnya itu punya asam urat, tapi masih saja ingin melahap masakan yang jelas-jelas dipantang oleh dokter. “Nah, lihat sendiri kan Nobelia, Pandjie ini suka sekali melarang Eyang makan ini dan itu.” Veer mengeluh, Pandjie lalu membalas keluhan Eyangnya, sementara Nobelia tertawa menyaksikan interaksi kedua pria beda generasi itu. Sebentar sayang-sayangan, tapi sebentar kemudian saling ledek-ledekan. “Larangan itu juga untuk kebaikan Eyang sendiri, kalau Eyang sehat, Eyang bakal ada di samping Adjie terus.” Nobelia menyuap sup jagung manis buatan Veer, rasa gurih kuahnya seakan menyatu dengan lidah. Masha Allah, nikmat sekali. “Tuh, Eyang, dengerin kalau calon menantu di rumah ini kasih nasihat.” Pandjie menyantap lauknya santai, sedang Nobelia jangan ditanya, gadis itu sekarang lagi megap-megap seperti ikan lohan. Adjie ini apa banget sih, mau bikin dia mati muda? *** Lukisan itu adalah salah satu benda yang menyita perhatiannya, terutama pada orang-orang yang mengenakan seragam batik di dalam sana. Nobelia tidak tahu mengapa ia menyimpan minat memandangi Veer, lalu isterinya, dua anak laki-lakinya beserta cucu-cucunya yang lucu. Di matanya saat itu, potret bahagia tersebut mampu memancing siapa saja untuk berdecak kagum atas keharmonisan mereka. “Wanita jepang itu Mamanya Pandjie, namanya Yukira Shinji. Sementara anak lelaki yang dipangkunya Galatama Pandjaitan, adik kandung Pandjie.” Suara yang terdengar itu amat dingin, Nobelia perlu menoleh sekali untuk memastikan. Sheerin. Ekspresi manja gadis itu lenyap tanpa bekas, Sheerin seolah menyingkap wajah aslinya, menjadi sangat berbeda dari sebelumnya. Sheerin kembali bicara, “Kenapa? Informasi sekecil itu saja kamu tidak tahu, bukan?” Nobelia terdiam, nyatanya ia memang tak tahu apa-apa. “Aku tak bisa tebak sedekat apa hubunganmu dengan Pandjie, tapi aku pikir kamu perlu berdiri di depan sebuah cermin. Kamu tidak bisa menjadi apa-apa di antara aku dan Pandjie. Kami sudah seperti tanaman yang perdu, terbiasa mendapat serangan serangga, tapi hanya dengan melihatmu saja—aku seolah bertemu dengan sejumput rumput liar yang sulit untuk dipangkas.” Nada tajam Sheerin kala bicara itu sukses menggores ulu hati Nobelia. Meski sakit rasanya, Nobelia memaksa menyuguhkan seulas senyum, “Sebenarnya, apa yang coba kamu tunjukkan padaku? Aku tidak bisa menyimpulkan apapun. Maaf, namun sungguh bukan karena daya tangkapku tumpul, tetapi sederet kalimat-kalimatmu itu lekat dibungkus amarah. Aku bingung membedakan mana dirimu, dan mana bisikan syaitan yang tak sengaja kamu ucapkan untuk menyinggung perasaan orang lain.“ Nobelia menyahut dengan berani. Tak selamanya sebuah sindirian mesti didiamkan saja. Sheerin mendengus kesal, “Sikap Eyang Veer yang terbuka, hangat—dan Pandjie yang baik padamu tidak perlu kamu salahartikan. Mereka hanya terlalu baik saja. Tapi bukan berarti kamu istimewa.” “Mereka memang baik. Dan aku tak akan sampai hati menyalahartikan kebaikan mereka. Terima kasih karena kamu juga mengingatkanku akan hal itu.” Nobelia menyela, ingin mengakhiri percakapan mereka yang tidak umum ini. Yang menempatkan Nobelia dalam posisi yang serba salah. Kini Sheerin yang dihadapinya terasa sangat berbeda. Mendongakkan kepala yang dihiasi oleh rambut indah tidak membuatnya cantik dan anggun, Sheerin justru terlihat penuh luka serta kesepian, “Aku sudah lebih lama mengenal Pandjie daripada kamu. Sejak kecil kami saling berbagi banyak hal.” Nobelia menemukan setitik kesedihan menggenang di lensa mata gadis itu yang cokelat, ia tak mampu mengalihkan matanya dari pemandangan tersebut. Karena nyatanya gadis manja menyebalkan ini memiliki rasa ketertarikan yang dalam untuk Kharisma Pandjie. Sementara perasaannya pada Pandjie mau dinamakan apa? Tidak tahu, Nobelia sama sekali tidak berani memberikannya sebuah identitas. “Tenang saja. Aku tidak akan memintamu menjauhi Pandjie, aku hanya ingin kamu sadar diri di tempat mana seharusnya kamu berada.” Sheerin tetap menyambung, tanpa emosi. Gadis itu dingin sekali—sedingin es. “Aku tidak tahu sedekat apa hubunganmu dengan Pandjie, hubungan yang kamu katakan telah terjalin sejak kalian masih kanak-kanak. Benar, aku tidak berada di sana untuk mengerti sedalam apa kamu menjadikan Pandjie sebagai pemuda spesial hingga saat ini. Aku juga sama sekali tidak mengerti mengapa kamu memilih bersikap defensif terhadap aku. Seharusnya kamu tidak perlu melakukan itu.” Nobelia ingin menunjukkan di tempat mana dirinya kini berada, seperti pinta gadis itu. “Aku sangat benci melihat caramu tersenyum padanya tadi.” Desisan itu membuat Nobelia terkesiap, lalu maniknya kini, yang bulat cemerlang dihidupi oleh ketimpangan dalam memilih jalan, jalan untuk memperjuangkan hatinya atau jalan menuju perhentian. Apa Nobelia harus berhenti di sini saja untuk menyukai Pandjie? Sheerin terus melanjutkan, “Aku benci melihat sinar di matamu yang kamu tunjukkan padanya itu, dan sinar yang menular ke matanya, aku membenci semua tentangmu.” “Ya, kamu benar dalam beberapa hal. Aku kagum daya analisismu begitu tidak tanggung-tanggung seperti ini. Kamu berhasil menemukan sesuatu hal yang janggal terkait cara interaksiku dengan Pandjie, yang lucunya bahkan aku sendiri tak bisa menyadari.” Nobelia berharap tawanya luput dari ketidaksukaan Sheerin. “Jujur saja, kedekatan kami bukan masalah yang perlu kamu risaukan kok. Aku hanya—“ Nobelia berusaha menemukan diksi yang tepat untuk disampaikan pada gadis yang tengah cemburu. “Bagiku, Pandjie seperti matahari terbenam. Yang keemasan, menghangatkan kecemasan, dan mencairkan kebekuan; bersedia memeluk gelap demi tetap bersinar untuk hari esok. Corak warnanya pun bermakna kuadrat, dipandang ribuan kali pun sihirnya tak pernah mau berkurang. Namun, sekali lagi kenyataan menyadarkan, bahwa potret Tuhan yang terlihat indah itu tak pernah bisa disentuh olehku, didekati—apalagi kugenggam. Sebab letaknya begitu jauh. Tapi dengan melihatnya saja aku bersyukur masih bisa mengucap tasbih atas segala keagungan-Nya.” Nobelia pernah menganalogikan Pandjie sebagai lukis senja yang dituang Tuhan memerah perlahan bagaikan deras hujan dari langit. Senja yang hanya 15 menit setiap hari, itu pun kalau kawanan awan sedang mendukung—atau ketika hujan malas membelai. Senja yang berbaris rapi di tikungan gunung. Ada kiranya delapan warna, sepaket dengan warna bayangan burung, dan warna pegunungan yang pelan mulai kehilangan hijaunya. Redup serta memikat mata. Ya, itulah namanya sebuah senja. Tadinya mau Nobelia tambahi dengan panjangan yang indah lagi semisal—warna surga atau si naga jingga yang membentang dari ujung ke ujung. Entah, ia terlalu lama menganalogikan senja. Hingga ia lupa, senja telah kembali pada rumahnya. Hingga harus ia tunggu esok hari lagi. Senja itu tak lain adalah Kharisma Pandjie. “Matahari terbenam itu takkan kugenggam, ia tak pernah mau. Ia milik Allah, Tuhan kita. Keindahan senja itu hanya bisa kunikmati melalui doa-doa tulus. Sungguh—bukan raganya yang kuinginkan menyemai cinta di sepanjang sore hari. Dan bukan warnanya, bukan kemilaunya. Hanya senja itu saja. Aku berani mengusir senja jika itu bisa mengembalikan gores warna senjamu. Ke matamu, ke dalam hatimu.” Nobelia mengurai langkah mundur, sebuah senyum tipis masih setia menghiasi sudut bibir yang tercipta manis. Sementara Sheerin betah mematung, dan mengekori kaki Nobelia dengan tatapan tak terbaca. “Asal kamu tahu; aku bukan rumput liar. Aku adalah kabut tipis di pagi hari yang tak bisa menyentuh senja.” Tutup bibirnya dengan manis. Ya, karena dialah kabut tipis yang mencoba untuk turun dari pegunungan, kemudian menyusuri pemukiman. Mencari Pandjie, mengukuhkan hati, namun tak kunjung ada Pandjie hingga matahari mengalahkannya. Adanya sosok Sheerin membuat ia tak perlu lagi lelah berharap. Tak perlu lagi berkecimpung dalam gelisahnya menahan rindu, dan ketidakpastian yang menjerumuskan. ***   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN