Madie baru saja pulang dari bekerja. Dia bekerja sebagai model di perusahaan keluarganya. Dia turun dari mobil, kemudian berjalan dengan penuh semangat masuk ke dalam rumah. Dia tidak sabar untuk menceritakan pada Ibunya tentang pemotretan yang barus saja dia lakukan. Dia berkesempatan foto bersama aktor terkenal. Aktor itu adalah idola Ibunya. Tapi langkahnya terhenti. Saat dia melihat kekacauan yang ada di depan matanya. Sebuah ruang tamu di rumah besar itu terlihat cukup berantakan. Madie berjalan masuk, dia sedikit berjinjit karena banyak pecahan kaca yang berserakan di lantai. Dia mendengar ada teriakan dari dalam rumahnya. Dia segera bergegas masuk dan mengecek suara siapa itu. Saat dia melewati ruangan lain. Dia bisa melihat ruangan itu hampir sama berantakannya dngan ruang tamu tadi. Dia menggelengkan kepalanya pelan. Suara teriakan itu semakin jelas terdengar di telinganya. Kali ini dia bisa mendengar perkataan itu dengan jelas. Itu adalah kata-kata makian yang keluar dari mulut Ibunya.
“Ibu,” ucapnya pelan. Dia pun segera mempercepat langkahnya menuju kamar utama rumah tersebut. Tempat di mana mereka sedang bertengkar.
Dia melihat dari ambang pintu. Kamar itu sudah sangat berantakan. Itu adalah tempat paling berantakan diantara semua ruangan yang baru saja dia lewati. Dia hanya diam dan mengamati dari luar. Dia merasa takut jika ikut campur dalam urusan orang tuanya. Dia menutup mulut dengan kedua tangannya, saat dia melihat Ibunya menampar Ayahnya dengan sangat keras.
“Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu. Tinggalkan perempuan itu! Kenapa kamu terus saja menemuinya? Apa semua yang aku berikan padamu masih kurang?” teriak Elaine. Dia terlihat begitu kacau. Rambutnya berantakan, bahkan ada bagian yang robek di lengan bajunya. Riasan wajahnya sudah sangat kacau dan terlihat buruk. Lipsticknya bahkan sudah belepotan di kiri kanan bibirnya.
Antoni hanya menunduk dan tidak bersuara. Hal tersebut membuat Elaine menjadi semakin murka. Dia melemparkan barang apa saja yang ada di meja rias kepada suaminya itu. Antoni masih tidak bergeming, dia hanya menghindar dan tidak menjawab apapun.
“Ingatlah, siapa dirimu sebelum aku membawamu ke rumah ini! Kamu hanyalah seorang karyawan rendahan yang memiliki banyak hutang. Dan sekarang dengan sangat berani kamu menghianatiku? Dengan uangku kamu berselingkuh? Dasar tidak tahu diri!” Elaine mendekat pada Antoni. Dia menjambak rambut suaminya dengan sangat kasar. Erangan dan teriakan keluar dari mulutnya. Dia benar-benar tidak bisa menahan semua amarahnya lagi.
Antoni menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Elaine mengungkit masa lalunya. Itu sungguh tidak bisa dia terima.
Madie mngulurkan tangannya, seolah dia akan menghalangi perbuatan Ibunya. Nyatanya dia masih tetap berdiri di sana dan tidak bergerak sedikitpun.
“Cukup sayang, cukup!” ucap Antoni. Dia mencoba menghentikan tindakan Elaine padanya. Tapi hal itu sia-sia saja. Elaine terus saja menjambak dan menarik rambutnya dengan keras. Hingga membuat tubuh Antoni sedikit bergeser dari tempatnya duduk. Ini sudah sangat keterlaluan.
Karena merasa kesakitan, dia pun mendorong tubuh Elaine dengan sangat keras. Hingga dia terjatuh dan terantuk meja. Pelipisnya berdarah. Madie tidak lagi bisa menahan diri. Peretengkaran itu bisa menjadi semakin besar jika dia tidak melerai mereka.
“Cukup Elaine, aku sudah cukup bersabar menghadapimu selama ini! Kenapa jika aku berselingkuh? Wanita pemarah sepertimu memang pantas mendapatkannya! Aku sudah sangat muak dengan semua aturanmu! Bersamanya, aku merasa menjadi diriku sendiri!” teriak Antoni pada Elaine.
Madie berlari masuk ke dalam kamar. Antoni terkejut melihatnya. Madie menatapnya dengan tatapan benci. Dia tidak pernah mengira Ayahnya akan berbuat setega itu pada Ibunya, dia adalah istrinya sendiri. Madie memeluk Elaine dengan erat. Tangis Elaine pecah dalam pelukan Madie.
“Cukup Ayah!” ucap Madie. Dia menatap benci ke padanya.
“Aku ... aku ... aku tidak sengaja, maafkan aku!” ucap Antoni. Dia seolah tersadar dengan perbuatannya. Dia bahkan kelepasan berbicara. Dia memejamkan matanya sebenatar, kemudian dia duduk dan mendekati Madie dan Elaine.
Suara Antoni kalah dengan suara tangis dari Elaine. Madie bahkan menganggap dia tidak mendengarkan ucapan Ayahnya. Itu terdengar seperti pembelaan yang sia-sia. Karena dia sudah mengakui semuanya. Semua kebusukan yang sudah dia lakukan. Sebuah peghianatan pada keluarganya.
“Mad, aku tidak serius dengan ucapanku. Percayalah! Elaine, maafkan aku!” pinta Antoni pada mereka berdua. Dia meraih tangan Elaine, tapi elaine langsung menepisnya.
“Jangan sentuh aku! Pergi kamu!” Elaine mengusirnya. Itu bukanlah pembalasan yang setimpal dengan kesalahannya. Tapi setidaknya, itu bisa membuat Elaine menjadi lebih tenang.
Antoni tidak lagi mempunyai kesempatan untuk membela diri. Dia juga menyadari, semua akan percuma jika dia melakukannya saat ini. Keadaan ini terlalu kacau dan tidak bisa dia tangani. Maka, dia pun memilih pergi. Dia pergi dengan mengendarai mobilnya. Dia mengendarainya dengan sangat cepat. Dia pergi ke rumah istri simpanannya.
Sementara di rumah besar itu, Madie dan Elaine masih berpelukan. Tangisan Elaine masih belum berhenti. Dia terus menerus mengumpat dan menyalahkan dirinya sendiri.
“Laki-laki b******k! Kenapa aku harus mencintai pria sepertimu Antoni. Kau membuatku marah!” teriak Elaine. Dia akan beranjak berdiri. Tapi Madie mengeratkan pelukannya. Dia hampir saja tidak bisa mengimbangi kekuatan Ibunya saat memberontak. Tapi untungnya Elaine menyerah. Dia kemudian kembali menangis dengan sangat keras.
Madie menghela napas berkali-kali, dia juga memejamkan matanya sesekali. Hatinya terasa panas, dia ikut merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan oleh Ibunya. Bagaimana tidak? Seorang pria yang selama ini menjadi panutannya membuat dirinya kecewa dengan sangat dalam. Gelar sebagi Ayah idaman tidak lagi pantas dia terima. Madie menggigit bibir bawahnya. Dia pun mencoba untuk tidak menangis di depan Ibunya.
“Mad, kamu mendengarnya? Dia berselingkuh!” ucap Elaine. Dia menarik tubuhnya dari pelukan Madie.
“Sudahlah Bu,” ucapnya. Dia mencoba menenangkan Ibunya. Tapi itu sia-sia saja.
“Tidak bisa. Dia dan wanita itu harus menerima semua pemabalasan dariku. Selama ini mereka hidup dari uangku. Aku akan merebut semua yang ada pada mereka. Aku akan membuat mereka menjadi miskin. Dengan begitu Antoni hanya akan mencintaiku. Ya itu benar. Dia hanya akan mencintaiku!” Elaine berdiri. Dia menatap bayangan dirinya di cermin yang sudah retak.
Dia memegang wajahnya perlahan, dari mata, hidung, pipi dan juga bibirnya.
“Aku sempurna. Aku adalah wanita yang cantik. Perempuan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan denganku! Aku akan segera menghancurkannya!” dia mengucapkan itu sambil terus memegangi wajahnya.
Madie pun berdiri. Dia memeluk Elaine dari belakang.
“Ibu ... ibu tidak perlu melakukannya. Ibu adalah wanita tercantik, untuk apa Ibu melakukan hal itu pada mereka? Sudahlah Bu, tidak perlu melakukan apa pun. Oke?” Madie mencoba membujuk Ibunya. Tapi, Ibunya menoleh dan mencengkeram lehernya. Madie yang tidak siap dengan hal itu tidak bisa melakukan apapun. Dia memegangi tangan Ibunya yang mencengkeram lehernya dengan sangat kuat. Lehernya terasa sakit dan dia merasa kesulitan bernapas.
“Apa kamu bilang? Membiarkan mereka? Apa kamu membela mereka? Apa kamu ingin berakhir hancur seperti mereka?” ucap Elaine dengan pelan. Tapi itu terdengar begitu mengerikan di telinga Madie. Itu adalah sebuah ancaman yang sangat nyata.
Madie mencoba berbicara, “Tidak Ibu,” ucapnya. Lehernya terasa semakin sakit. wajahnya juga sudah mulai membiru. Beruntung, Ibunya melepaskan cegkeramannya di leher Madie. Dia pun terbatuk-batuk setelah Elaine melepaskan lehernya. Dia memegangi lehernya dan menyingkir dari jangkauan Ibunya. Ibunya sudah tidak waras. Dia tidak bisa mengenali Ibunya lagi.
Dia pun berlari keluar dari kamar tersebut. Dia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Dia terduduk di bawah. Dia menangis terisak-isak. Dia tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sempurna, mempunyai keluarga yang harmonis dan tidak kekurangan apapun kini telah hancur. Dia bahkan terlupa dengan tujuannya menceritakan pemotretan itu pada Ibunya. Kini, dia tidak lagi percaya dengan cinta. Dia tidak akan mencintai siapapun. Cinta hanya akan menyisakan luka dan air mata.