Episode 1 : Cieee yang Masuk SMA

1100 Kata
~ So everything that makes me whole ~ ~ Ima kimi ni sasage yo ~ ~ I’m yours …. ~ “KENCHRUUUTTSSS! BANGUN GAK LO!? ALARM BERISIK SAMPE SINI WOYY!” Caca yang mendengar teriakan abangnya menggeliat pelan di balik selimut. Tangannya bergerayang mencari ponsel, yang terjatuh karena tersenggol jari lentiknya. Caca berdecak lalu lanjut meraba ke bawah ranjang. Matanya masih terpejam, kelopak mata terasa lengket tidak mau membuka. Jempol Caca asal memencet tombol snooze begitu ponsel sudah sampai di tangan. Lagu ‘My Dearest’ yang dinyanyikan Supercell itu otomatis berhenti. Emang dasarnya tukang molor, Caca kemudian ngumpet lagi di bawah selimut. Lima menit kemudian …. ~ So everything that makes me whole ~ ~ Ima kimi ni sasage yo ~ ~ I’m yours …. ~ Irsyad yang lagi enak-enak di kamar mandi jadi kesal. Sudah yang keempat kalinya alarm Caca berbunyi, tapi anak kebo itu tak kunjung bangun juga. Melilit handuk di sekeliling pinggang, Irsyad mendobrak pintu kamar Caca yang terletak di seberang kamarnya. “WOY! MAU NGEBO SAMPE KAPAN!? GUE SERET JUGA LAMA-LAMA!” “Duh, berisik! Lima menit lagi.” Caca menyembulkan kepala dari balik selimut. Matanya membuka sedikit lalu melirik Irsyad. Namun, bukan Caca namanya jika langsung nurut. Cewek ABG itu malah kembali tidur. Irsyad menggeram gemas melihat tingkah adiknya. Sudah jam 06.00 pagi, tapi Caca sang sleeping beauty –ralat– sleping ugly malah keenakan di alam mimpi. “Gue itung sampe lima,” Irsyad mengacungkan tangan, membuka jari-jarinya,” Kalo lo gak bangun juga, gue seret lo sampe ke kamar mandi.” Jempol Irsyad mulai melipat, “Satu ….” “Dua ….” Jari telunjuk Irsyad sudah melipat. “Berisik! Gue bilang juga lima menit lagi.” Caca menendang selimutnya kesal. Ganggu aja sih, lagi nikmat ngemil seblak juga, pikir Caca geram. “Lima!” Tanpa tedeng aling-aling Irsyad menarik kaki Caca. Caca yang kaget tak ketulungan, langsung melek lalu menjerit protes. “Woy bentar bentar! Jangan ditarik! Iya ini gue udah bangun! Bang—“ Bruk! “Aw!” Pantat Caca dengan sukses mendarat di lantai. Terjadi keheningan selama beberapa detik, sebelum Caca akhirnya meledak. “p****t GUE SAKIT b**o!” “LU BERANI YA NGATAIN GUE KENCHRUTS! MAKANYA BANGUN. NGEBO MULU KAYA ORANG MATI! MANA BAU JIGONG LAGI!” “GUE CANS GINI DIBILANG BAU JIGONG. ELU TUH YANG BAU DUGONG!” “IRSYAD! CACA! NGOMONG KASAR SEKALI LAGI SEKALI LAGI WIFI MAMA CABUT! UANG JAJAN KALIAN, MAMA POTONG!” Oops. Irsyad dan Caca langsung auto mute. Tadi itu suara teriakan Maria, sang mama. Kalau Maria sudah mengancam seperti itu, berarti dia serius. Pernah sekali waktu, Irsyad menjahili Caca sampai nangis karena bonekanya rusak, Maria tidak segan-segan mengunci Irsyad di gudang. Waw. Mantap sekali mama yang satu ini. “Gara-gara lo, kan! Bangunin pake cara bar-bar.” Caca mencebik sebal sambil membereskan kasurnya yang berantakan. “Gak gitu lo gak akan bangun. Udah cepetan sana mandi! Gue mau berangkat habis ini. Gak bisa nganterin lo ke sekolah.” “Bawel bener Gusti. Lagian siapa juga yang minta dianterin ke sekolah,” omel Caca pelan. Irsyad cuma diam mematung mengawasi adiknya yang sedang bersiap. Namun, tiba-tiba Caca menghentikan kegiatannya. Matanya mendelik pada sang abang, dahinya mengernyit dalam. “Lo ngapain masih di sini, hah?! Mau mandi bareng gue?” tanya Caca sarkastis. Dia memandang Irsyad dari atas sampai ke bawah. Topless alias tidak pakai baju, Cuma handukan yang dililit di pinggang. Otomatis roti sobek si abang terlihat jelas. “Ketos kok hobi telanjang,” cibir Caca geleng-geleng kepala. Menyadari dirinya yang belum pakai baju, Irsyad langsung ngacir ke kamarnya tanpa memedulikan Caca lagi. “Awas lo di sekolah!” Irsyad berteriak mengancam sambil membanting pintu kamar. Sedangkan Caca dengan cuek mengambil handuk lalu pergi mandi. *** Hari pertama MOS, Caca diantar oleh Hendrick, sang papa tercinta yang ganteng aduhai, dengan mobil. Irsyad sudah lebih dulu berangkat karena dia Ketua OSIS, bawa mobil sendiri. Caca sempat merengek untuk dibelikan mobil juga, atau minimal motor lah. Namun apa daya, baik Hendrick maupun Maria belum mengizinkan putri bungsu mereka untuk berangkat ke mana-mana sendiri. “Kamu tahu, kan, kenapa mama sama papa keukeuh gak biarin kamu belajar naik kendaraan sendiri?” Begitu kalimat Maria setiap kali Caca memohon untuk diajari naik motor atau mobil. “Bukannya papa gak mampu, sayang. Tapi papa cuma khawatir, begitu kamu bisa bawa motor atau mobil sendiri, terus keluar rumah sendirian, kejadian buruk akan menimpa kamu. Kamu ngerti, kan?” Hendrick pun sama saja jawabannya. “Lo mau kejadian dulu terulang lagi?! Lo mau di—“ Kalau yang ini Caca sudah tidak mau dengar lagi. Irsyad selalu ngegas setiap Caca membahasnya. “Iya gue tau! Udah jangan dibahas lagi!” Caca memasang earphone sepanjang perjalanan, sedang tidak mood untuk mengobrol dengan sang papa. Lagipula Hendrick sedang sibuk mengobrol serius dengan entah siapa, lewat earpiece yang dipasang di telinga kirinya. Hanya butuh waktu 15 menit, Caca sudah sampai di sekolah. Hendrick memakirkan mobilnya di depan gerbang. “Eits! Kamu gak lupa sesuatu, kan?” Caca berhenti bergerak ketika merasa tangannya ditahan. Tidak jadi turun, Caca menatap Hendrick bingung. Dengan senyum lebar menghiasi wajah, Hendrick menunjuk pipinya. “Pa, Caca udah gede,” erang Caca. Sudah masuk SMA, masa masih disuruh salam cium di pipi? “Gak salam gak boleh turun.” Hendrick pura-pura mengancam. Sekuat tenaga menahan tawanya untuk keluar, melihat ekspresi Caca yang menggemaskan. “Salam biasa aja ya, Pa?” tawar Caca. Hendrick auto geleng-geleng. Mengembuskan napas pasrah, Caca menyondongkan badan ke arah Hendrick. Cup. “Udah. Sekarang lepasin Caca. Ntar bisa telat, lagi.” Hendrick terkekeh geli. Energinya sudah terisi penuh sekarang. Siap untuk mencari nafkah dengan semangat demi anak istri. “Hati-hati, ya. Kalo ada apa-apa bilang sama abang.” Caca mengangguk sekilas lalu menutup pintu mobil. Hendrick kembali melajukan mobilnya setelah melihat Caca memasuki gerbang. MOS dimulai tepat pada pukul 07.30. Semua peserta dibariskan di lapangan. Sedangkan panitia yang terdiri dari pengurus OSIS dan MPK berbaris di salah satu sisi lapangan, menghadap peserta MOS. Sebagian dari mereka juga ada yang berbaris di belakang peserta, mengawasi kalau ada yang tidak memenuhi persyaratan MOS atau sakit. Biasanya yang berbaris di sini adalah anggota PMR yang jadi panitia dadakan setiap ada kegiatan sekolah. “Ca, gerah gak, sih?” Caca yang sedang asyik melamun dikagetkan dengan sentuhan menusuk di pinggangnya. “Geli bambang!” sewot Caca. Matanya melotot pada sosok cewek cantik yang berdiri di samping. Sarah. Sahabat Caca dari zaman SD itu hanya nyengir, memamerkan deretan giginya yang cerah, secerah masa depan Caca. Aamiin. “Pinjem kipas dong. Ada gak?” “Gak!” “Dih, pelit.” “Kalo barangnya gak ada gimana mau pelit b**o!” Akhirnya Caca ngegas juga. “Diem. Gue jahit mulut kalian.” Kalimat singkat, padat, dan berbobot. Caca dan Sarah langusng kicep. Pasalnya, Nadia –sahabat dari Caca juga– tiba-tiba nyeletuk di tengah pertengkaran dengan kalimat yang dingin dan menusuk. “Sadis amat lo, Nad,” Sarah langsung beringsut kembali ke barisan semula begitu Nadia melotot padanya. Sedangkan Caca hanya terkekeh geli. “Mampus.” “Gue bilang kalian. Berarti lo juga.” Caca langsung mingkem dan Sarah yang ganti cekikikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN