Malam itu, di tengah kelegaan yang bercampur kebingungan, sebuah rencana akhirnya tersusun. Setelah makan malam, ketika semua kesepakatan telah tercapai dan suasana serius mereda, Khairan mendekati ibunya yang duduk tenang di sisi Khadijah.
"Kau tidak berbicara dengannya?" tanya Ifa lembut kepada putranya, hanya mereka berdua dan Khadijah yang mendengarkan.
Khairan tersenyum malu. "Maukah Ummi ikut ke sana bersamaku? Khairan pikir Ayunda perlu mencoba cincinnya dulu."
Ifa tersenyum tipis mengingat keberadaan permata yang putranya itu bawa diam-diam. "Cincin itu tidak asing."
Khairan mengangguk. "Nenek Naraya menyerahkannya padaku."
Ifa mengenang kembali sejarah benda yang mereka bicarakan. Cincin berpermata kuning itu merupakan hadiah pertemuan pertama ibunya dengan Bintang Abimayu. Milik Ifa yang pada akhirnya ia serahkan kepada sang ibu dengan ikhlas. Ifa tak pernah mengungkitnya, bahkan saat hubungan kekeluargaan mereka retak. Tak disangka, Khairan mewarisi satu set permata itu sebelum Nyonya Naraya yang pemaksa meninggal dunia.
Meskipun Ifa tak disayangi, Khumaira dipandang sebelah mata oleh neneknya, dan Bintang sekadar dianggap menantu pembawa keberuntungan. Akan tetapi, Khairan adalah cucu kesayangan Nyonya Naraya hingga akhir hayatnya, melebihi terhadap Arthur Bakrie. Bahkan, kediaman lama Bakrie diwariskannya untuk Khairan seorang, bukan untuk Ifa dan kedua kakaknya. Beruntung, sang putra bukanlah manusia serakah. Sepeninggal Nyonya Naraya, Khairan membagikan hak saudari-saudari ibunya dengan adil dan sesuai syariat. Dengan bijak, putranya membeli aset itu, lalu membayarkannya berupa uang kepada bibi-bibinya. Beberapa kali keluarga besar Bakrie mengadakan kumpul keluarga di sana. Intinya, Khairan menyatukan kembali hubungan baik Ifa dengan dua kakaknya setelah keributan yang terjadi di pernikahan Khumaira dulu.
Ifa kemudian menghentikan langkah, melepas cincin bertahtakan berlian yang sudah puluhan tahun melingkar di jari manisnya, cincin pemberian Bintang. "Ambillah. Ini lebih istimewa daripada itu."
Khairan terkejut, "Ummi..."
Ifa meletakkan cincinnya di tangan Khairan. Masih terasa sisa kehangatan tubuh ibunya pada benda itu. "Bagaimana kalau Abati...?"
"Abatimu memberikan kepadaku. Ini milikku."
Khairan menggeleng, menolak. "Kerikil Ummi akan berkurang kalau ini diberikan untuk Ayunda."
Senyum Ifa mencuat manis, "Kerikil? Sampai sekarang pun kami masih menyebutnya begitu."
Ifa pernah menjadi gadis yang begitu naif, bahkan menyamakan berlian seharga miliaran dengan kerikil tak berharga.
Khairan meloloskan kembali cincin itu ke jemari ibunya. "Ini milik Ummi, hanya Ummi seorang."
Khairan menepuk bagian kantong yang membawa hadiahnya untuk Ayunda, "Khairan pun memakai ini hanya untuk hadiah pertemuan. Pengikat hubungan kami jauh akan lebih baik dari ini nantinya, mungkin aku bisa merancangnya sendiri pula," tolaknya halus.
Ifa merasa terenyuh. Begitu sederhana cara Khairan membawa kenangan kedua neneknya ikut serta dalam hari besarnya ini. Tangan Ifa terangkat pelan hingga mengusap tepian wajah Khairan. "Ummi bangga pada keberanianmu, Nak."
Khairan menunduk malu, merasa sepenuhnya dilingkupi belas kasih sang ibu.
Mereka kemudian mendekati Ayunda yang sepertinya mulai akrab dengan Khumaira dan sayup-sayup terdengar membicarakan Khadijah.
"Ayunda," panggil Khairan lembut.
Gadis tersebut lantas berbalik, "Ya?"
Ifa mendekat sementara Khairan tetap menjaga jarak. "Ulurkan tanganmu. Pakailah cincin ini sementara."
Ayunda ragu-ragu. Khumaira mengangguk, meyakinkan. Gadis itu kemudian melemaskan jemarinya saat cincin tersebut dipasangkan Ifa. "Ukurannya pas?"
Ayunda pelan-pelan mengangguk, kebahagiaan terpancar di matanya. "Terima kasih, Nyonya."
Ifa tersenyum lembut. Saat Ifa hendak berbalik, gadis itu mencegah, "Nyonya...!"
"Hm?"
Ayunda kembali ragu. Jantungnya berdegup tak nyaman. Apalagi semua yang ada di sana tampak memasang telinga, menunggu ucapannya.
"Katakanlah," dukung Ifa sabar.
Ayunda benar-benar ragu untuk menyebutkan. Namun, ia lebih takut lagi jika terlambat menyampaikan. Gadis itu bergerak canggung sambil memperbaiki cadar yang sebenarnya baik-baik saja. "Saya... apakah saya... "
Ifa menelengkan kepala, sesaat kemudian wanita anggun itu melihat sorot kekhawatiran Ayunda tertuju pada Khairan, singkat lalu kemudian tampak memohon padanya lagi. Ifa mengerjap hingga akhirnya terpercik kesadarannya. "Oh!" Ifa terperanjat lembut, tetap dengan kesan bersahajanya. "Aku mengerti, putriku juga memakai cadar."
Ayunda resah, "B-bukan begitu---"
"Khairan," panggil Ifa seraya menampilkan gestur meminta mendekat.
Pemuda tersebut tentu memenuhi titah ibunya. "Ada apa, Ummi?"
"Ingin melihat calon pengantimu?" Ifa sendiri tiba-tiba linglung, malu, "Wajahnya maksudku," bisiknya agak merapat pada sang putra.
Ayunda benar-benar ditelan semua sergapan malunya. Gadis itu hanya bisa tertunduk pasrah dan berdebar.
Zahra mendekat, "Benar, harusnya kita lakukan hal tersebut sebelum jauh-jauh menyusun rencana. Mana tahu minatmu berubah setelah melihat wajahnya."
Ayunda tak menampik. Dirinya mengakui tak sebanding dengan deretan wajah rupawan keluarga Khairan. Mungkin saja...
"Aku izin ke kamar kecil." Khalid menyela. Posisinya sebagai calon ipar tentu tak berhak ikut serta melihat wajah Ayunda.
Khairan tersenyum geli melihat Khalid langsung membawa langkahnya. "Ipar memang maut, ya."
"Ayo Ayunda, perlihatkan wajahmu," titah Zahra cukup enggan.
Ayunda siap akan menarik turun cadar tali yang menutup setengah wajahnya, tapi kemudian Khairan bersuara. "Keluargaku mungkin ingin melihatnya, tapi aku nanti saja."
Khumaira menegur dengan tepukan bahu, "Apa maksudmu? Lihatlah, itu sunahnya. Jangan bilang kau mau meniru kekonyolan Khalid pada pernikahan kami?!"
Khairan menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal, melainkan karena canggung. "Tidak salah juga begitu."
Ayunda kemudian melihat ibunya, bingung.
Khairan pun pamit menjauh dengan semburat malu di pipi yang ia bawa pergi. Sikapnya tampak biasa di luar, padahal dalam dadanya hampir pecah berantakan karena debaran. Memori mimpinya kembali mengulang kenikmatan secara acak. Khairan entah akan mimpi bagaimana kalau saat ini juga melihat langsung wajah Ayunda sementara mereka belum bisa dihalalkan. Khairan mencegah, daripada mengobati syahwat yang akan bangkit sebelum waktunya.
Ayunda sedikit kecewa, tapi ia bersyukur tak ada komentar mengerikan atau reaksi merendahkan dari keluarga Khairan saat melihat wajah aslinya.
"Kira-kira apa yang membuatnya tak mau melihat Ayunda?" tanya Zahra curiga. "Dia takut kecewa?"
Bintang tersenyum tipis, "Aku yakin bukan itu alasannya. Mungkin putraku tidak mau digoda sebelum waktunya."
Semua terdiam, pun Ayunda menunduk sangat dalam karena malu.
***
Pulang tamu dari pertemuan itu, Ayunda masih berdebar tak karuan. Cincin di jemarinya menandakan sebuah kebahagiaan yang nyata. Namun, saat menatap ayah dan ibunya, Ayunda kembali bergetar, bayangan keraguan menyelimuti hatinya.
Ayunda akhirnya tak bisa menahan diri lagi. Ia menghampiri Zahra yang sedang membereskan sisa-sisa kunjungan malam itu.
"Umma," panggil Ayunda, suaranya tercekat. "Kenapa menyembunyikan fakta tentang ... beliau, dariku? Kenapa tidak pernah cerita tentangnya sedikit pun?"
Zahra terdiam sejenak, punggungnya menghadap Ayunda. Ketika berbalik, wajahnya terlihat lelah, namun ada ketegasan yang terpancar di sana. "Untuk kebaikanmu, Nak. Masa lalu itu... rumit. Umma tidak mau membebanimu."
Ayunda tak percaya. "Ayunda berhak tahu, Umma! Selama ini Ayunda bahagia, tapi semuanya hancur dalam sekejap, serasa hidup Ayunda dalam kebohongan saja!" Air matanya mulai mengalir, membasahi pipinya.
"Zulhan menyayangimu seperti putrinya sendiri, Ayunda," sahut Zahra, berusaha melunakkan suara. "Dia ingin memberimu keluarga yang utuh, yang tidak pernah bisa ayah kandungmu berikan."
"Tapi kebenaran itu penting, Umma!" Ayunda bersikeras. "Ayunda patut berbakti kepadanya pula. Atau beliau tidak pantas mendapat bakti Ayunda?"
Zahra menghela napas lirih, penuh kelelahan. "Umma hanya memintamu untuk tidak mengulik apa pun tentangnya. Hubungan kami berakhir, Ayunda. Maka kami memutuskan begini. Dia hanya akan jadi walimu saat akad itu, kemudian menghilang seperti sebelumnya."
"U—Umma...!" Ayunda terbata, syok.
Kesan keras dan tegas Zahra final. Wanita itu langsung melesat pergi tanpa menghiraukan protes putrinya lagi, meninggalkan Ayunda dalam kesendirian dan kebingungan yang menenggelamkan kebahagiaannya.