File 3 : Kapten Baru

1854 Kata
Plak! Tangan sang atasan menyambut kedatangannya di markas. "Kemana saja kamu!" maki Kolonel Wahyu. Rain hanya bisa tertunduk, tidak menyangka atasan bersahaja itu bisa semarah ini. "S-Saya..." "Lari keliling 100 putaran!" putus Kolonel Wahyu. Dengan wajah amat murka, di menunjuk halaman markas. Rain tersentak. Kedua matanya terbelalak mendengar instruksi itu. "Tunggu apa lagi!" bentaknya, ancang-ancang mengepalkan tangan. "S-Siap Komandan!" Rain memberi hormat, langsung mulai berlari, sementara Kolonel Wahyu mengawasi. "Lebih cepat!" Sambil menyilang kedua tangan, perwira senior itu meneriakinya dari kejauhan. "Siap, Komandan!" Rain, tak kalah lantang. Tak sabar menunggu hitungan terakhir, Kolonel Wahyu menghampiri dan menyuruhnya berdiri di posisi tegak. "Kemana saja kamu?!" Tanpa memberinya kesempatan beristirahat atau pun, menjawab ia menendang kaki kanan pemuda itu. "S-Siap! Izin Komandan, ada keluarga yang menanyakan kabar saya ja-" "Cukup, tidak usah kamu teruskan!" putus Kolonel Wahyu, "kali ini ku maafkan!" lanjutnya. Pria berkumis itu mondar-mandir. Matanya terlihat menyala-nyala seperti rokok kretek yang dia apit. "Kamu tahu kenapa aku semarah ini? " tanyanya lagi. "Izin, tidak komandan!" jawab Rain. Di depan Rain, Kolonel Wahyu melempar rokoknya yang masih panjang. Sambil menunjuk wajahnya, dia menginjak-injak rokok itu penuh amarah. "Push up 50 kali!" serunya. "S-Siap komandan!" Rain yang masih tersengal-sengal mengambil posisi. Sambil mendecak, dia mulai melanjutkan hukuman yang dijatuhkan. "Satu! Dua! Tiga! Lima!" "Hitung yang benar!" "Enam, tujuh!" "Ulangi dari awal!" Rain mendesah, mengulangi lagi hitungannya dari awal. "Satu! Dua! Tiga! Empat..." "Di Jalan Sawo Mentah ada insiden! Dan kamu telat lima belas menit dari jatah istirahat!" Sambil mondar-mandir, Kolonel Wahyu menjelaskan situasi yang menyebabkannya menjadi sangat murka. "Bukan sawo mateng?" Rain cengar-cengir, berpikir semua nama jalan di Distrik 17 sangat lucu. "Kenapa senyum-senyum?" "Dua puluh lima, dua puluh enam! Izin, Komandan saya hanya teringat perkataan tante saya tadi!" jawabnya, pura-pura melaksanakan hukuman dengan sungguh-sungguh. "Berhenti!" Kolonel Wahyu melotot, memaksanya menahan badan. "Sandiwara itu, mau sampai kapan kamu teruskan!?" omelnya. Rain hanya diam, menahan kedua lengannya yang mulai terasa pegal. "Kamu pikir, aku tidak tahu, hm?" tuding Kolonel Wahyu. Rain berkeringat dingin. Mulutnya terbuka lebar, tapi ia memutuskan berhenti berkilah. "M-Maaf Komandan!" ucapnya. "Aku sudah bilang kalau satuan kita kekurangan anggota, dan kau-" Sejenak, pria tinggi berwibawa itu menghentikan ucapan. Tangannya terkepal, siap mendaratkan pukulan. "Bisa disiplin tidak?!" bentaknya. "Siap, sanggup, komandan!" jawab Rain. "Bagus, lanjutkan hukumanmu!" "Siap, tiga puluh! Tiga puluh satu!" Rain pun, melanjutkan hukuman. Tanpa rasa takut, dia sengaja melewatkan lima hitungan. "Kamu pikir, aku jadi kolonel hanya karena kebetulan?" tanya Kolonel Wahyu, tak sadar sedang dibodohi. "Tiga puluh sembilan! Siap, tidak, komandan!" jawab Rain. "Itu terjadi karena aku menemukan gudang senjata, milik tentara sekutu yang tertinggal." "Mulai lagi," dumel Rain dalam hati. "Saat itu, aku sedang mencari koin 50 rupiahku yang jatuh. Aku melihat sepucuk laras panjang yang tersembunyi di balik rerumputan. Ujungnya masih berbau mesiu dan terlihat bekas goresan yang masih baru," kenang Kolonel Wahyu, "pelurunya sudah kosong dan ditinggal begitu saja. Disitu saya langsung tahu. Kalau mereka sudah terpojok, dan kami bla, bla, bla ..." "Seratus! Selesai komandan!" putus Rain. "Oh, sudah selesai, ya?" Sejenak, Kolonel Wahyu terlihat ragu. Dia memperhatikan wajah Rain yang kelelahan, lalu mengangguk. "Baiklah, istirahat sebentar!" serunya. "Siap, komandan!" angguk Rain. Sambil rebahan, dia menggerutu, lirih, "apanya yang bukan kebetulan?" "Akan aku jelaskan lagi kisahku, supaya kamu termotivasi!" ujar Kolonel Wahyu, mulai melanjutkan dongeng. Rain mendesah, mengusap wajahnya yang penuh keringat. Dalam hati, dia merasa bosan. Kolonel Wahyu selalu menceritakan kisah itu setiap latihan. "Pasti bakalan lama, tuh," bisik seorang prajurit, lewat dari sebelahnya. Rain menoleh sebentar, tersenyum kecut. Kepalanya seketika menunduk, melihat wajah seram Kolonel Wahyu. Melihat prajurit itu, tiba-tiba saja Kolonel Wahyu berhenti mendongeng. "Ah, pokoknya, sekarang kamu pergi ke TKP!" serunya, "Wawan! Ajak Si Rino ini ke TKP!" lanjutnya. "Namaku Rain!" sebal pemuda itu, lirih. "Siap, komandan!" Prajurit yang berbisik tadi segera menghormat, menarik Rain dari hukumannya. "Cepatlah, sebelum dia mulai cerita lagi!" bisik Kapten Wawan, Si Prajurit tadi, "izin, kami segera berangkat, komandan!" lanjutnya, memberi hormat. "Ya sudah kalau begitu!" Kolonel Wahyu mengangguk. Perwira dengan seragam penuh lencana itu berbalik, bermaksud kembali ke markas. Walaupun sudah empat dekade mengabdi, langkahnya masihlah begitu tegak. Wibawa pada dirinya terpancar terang, kala suara lencana yang memenuhi seragamnya bergemerincing. "Izin, tunggu sebentar, komandan!" cegat Rain. "Apanya yang, 'ya sudahlah?' Aku bahkan tak tahu kondisinya," gerutunya dalam hati. "Ada apa lagi?" tanya Kolonel Wahyu. "Perjanjian kemarin, izin!" ingat Rain. "Perjanjian?" Kolonel Wahyu berpura-pura lupa. "Sebentar lagi jam istirahat, anda tentunya be-" "Apa maksudmu?" potong Kolonel Wahyu. "Baik, mulai besok kerjakan semua laporan itu sendiri!" ancam Rain, melupakan formalitas. "Kamu..." "Berkas nomor 57 dan 62 sepertinya sulit." Rain memalingkan wajah, semakin memprovokasi. Pemuda itu benar-benar tidak menunjukkan wajah takut, meskipun baru saja mendapatkan hukuman. "Pergilah!" Sambil mengedikkan tangan, Kolonel Wahyu mendecak. "Tapi..." "Suruh mereka menambahkan tagihannya atas nama markas!" putusnya, "puas?" imbuhnya, kesal. "Siap, Komandan!" Sambil senyum, Rain memberi hormat, pergi dengan semangat. "Ayo! Jelaskan di warung saja, nanti!" lanjutnya, mengajak Kapten Wawan. Kolonel Wahyu mengusap wajah, geram melihat tingkah anak buah barunya. Perwira senior itu hanya menggeleng, kembali ke ruangannya. Mau bagaimana lagi? Hanya dia yang bisa mengerjakan semua laporan itu. "Tunggu, Roni!" seru Kapten Wawan. "Rain, woy! Rain!" bentak Rain, seketika. Kapten Wawan nampak terkejut. Pemuda itu seperti tidak punya rasa takut sedikit pun. Di beberapa kesempatan, dia juga berbicara seenaknya pada Kolonel Wahyu. Kapten Wawan yang tadinya cuman menggoda menggeleng. "Tunggu, Rain!" panggilnya. "Cepatlah, keburu jam makan siang lewat!" Rain terus berjalan. .... Di warung bakso tujuan Si Pembuat onar muda, Kapten Wawan duduk memesan segelas es teh. Pria yang wajahnya bulat seperti balon tadi menengguk ludah, menyaksikan lahapnya napsu makan Rain. "Tidak mau ikut pesan?" tawarnya. Kapten Wawan mendesah. Selain keuangan, dia juga punya alasan lain yang tidak ingin dia sebutkan. "Tidak usah pikirkan aku!" jawab Kapten Wawan. "Nanti, diam-diam tambahkan saja tagihannya ke markas," bujuk Rain. "Kamu ini tidak punya takut, ya?" kelakar Kapten Wawan. "Minumnya mas!" seru pelayan, "es teh, sama jus alpukat!" lanjutnya, meletakkan minuman-minuman pesanan mereka. "Terimakasih, mbak!" sahut Rain, dengan antusias menyambut minuman pesanannya, "yakin tidak ikut makan?" lanjutnya, menawari. "Kamu saja!" tolak Kapten Wawan, mengambil minumnya. "Ya sudah!" Rain menarik sedotan. Menyeruput jus pesanannya hingga suaranya terdengar kemana-mana. Sruut! Sruut! Dalam sekejap, seperempat gelas jus sudah berkurang. "Ah, nikmatnya!" Tanpa wajah berdosa, Rain mengusap wajah. Kapten Wawan menengguk ludah. Kedua pipinya yang terlihat seperti bakpao bergetar kecil. Dengan kesal, dia menarik sedotan dan menyeruput es teh miliknya. Walau suaranya tak kalah lantang, jelas kelas minuman pesanannya dengan pemuda di hadapannya terasa bagaikan langit dan bumi. "Oh iya, tagihannya kirim ke markas saja, ya, mbak!" seru Rain. "Baik mas!" angguk Si Pelayan, bergegas mencatatnya di buku tagihan. "Silahkan jelaskan!" Rain. "Habiskan dulu makananmu!" Kapten Wawan. Rain mengangguk, memasukkan lagi sendok makannya, ke dalam mangkuk bakso. Sambil menikmati makan siang gratisan itu, dia memperhatikan prajurit di hadapannya. Usianya terlihat matang. Walaupun gempal, tubuhnya kelihatan sangat tegap. Potongan rambut dan kumis terpangkas rapi, membuatnya terlihat bak seorang prajurit teladan. Aura pengalaman juga terpancar dari warna kulit sawo matang, serta bekas luka di tubuhnya. "Kenapa?" Pipi Kapten Wawan yang berisi, sedikit bergerak-gerak saat dia berbicara. Hal itu sedikit mengurangi kegarangannya sebagai anggota. "T-Tidak!" Rain menggeleng, menyembunyikan tawa yang tersungging di bibirnya. "Sebentar lagi saya selesai, saya cuman mau bilang itu, kok!" kelitnya. "Kalau begitu, aku akan mengambil mobil dulu!" ujar Kapten Wawan. "Itu akan sangat membantu!" angguk Rain, melanjutkan makan siangnya. Kapten Wawan menggeleng. Dia ingat betul pangkat pemuda ini di bawahnya. Namun, kelakuannya tidak menunjukkan rasa hormat sedikit pun. "Ada apa lagi?" tanya Rain. "Tidak!" Kapten Wawan. Selesai makan, Rain menunggu di luar warung dan langsung memasuki mobil patroli putih kombinasi biru, yang dibawa Kapten Wawan. "Ada apa?" tanya Rain. Kapten Wawan terus memutar kontak, tapi tetap saja gagal starter. "Sepertinya akinya tekor!" ujar Kapten Wawan. Rain bergegas turun dan membuka kap mobil. Setelah memeriksa kelayakan aki dan pengapian, dia pun, bertanya, "apa kita punya amplas?" "Tidak, tapi di toko situ ada yang jual," jawab Kapten Wawan. Rain memperhatikan seragam Kapten Wawan yang menunjukkan pangkatnya masih Letnan Senior. Walau mirip, jabatan Kapten Wawan masih lebih tinggi dari Rain. "Oh ini?" Sadar sedang dipelototi, Kapten Wawan pun, menunjuk seragamnya. "Ini seragam lamaku! Yang baru masih belum jadi," jelasnya lebih lanjut. "Lama?" sahut Rain. "Saya baru saja dipromosikan menjadi kapten," aku Kapten Wawan. "Ah, pantas saja! Mana mungkin orang berpengalaman seperti anda masih letnan," ujar Rain. "Kamu mau pamer, kah?" tuding Kapten Wawan. "Saya!?" Rain menunjuk diri sendiri. "Kamu juga baru naik pangkat, kan?" tuding Kapten Wawan, "masih semuda ini saja sudah jadi letnan, malahan sudah menengah," imbuhnya. "Ah, itu cuman kebetulan, kok!" Rain tiba-tiba sedikit menunjukkan rasa sopan. "Saya beli amplas dulu sebentar, ndan!" pamitnya kemudian. Terkesan sekali kalau dia sedang mencoba menjilat. "Biar saya saja yang beli, kamu lanjut periksa mobil!" ujar Kapten Wawan. "Ah biar sa-" "Sudah saya saja!" putus Kapten Wawan. Sambil menepuk bahu Rain, dia bergegas pergi. Tampang bangga saat diseniorkan terlihat dari kerutan di pipinya. Sepanjang perjalanan, dia tidak bisa menyembunyikan wajah girangnya. Gampangan, pikir Rain. "Kamu punya pengalaman bengkel?" tanya Kapten Wawan, seraya menyodorkan amplas yang dia beli. Rain hanya senyum, menyembunyikan kekecewaannya melihat amplas kasar yang dibeli Kapten Wawan. Dengan hati-hati, dia mulai membersihkan kepala aki. "Sekarang coba distarter lagi, ndan!" serunya. Kapten Wawan memutar kontak mobil, tapi mesin masih tidak mau menyala. "Matikan lagi!" seru Rain lagi. "Kenapa lagi?" tanya Kapten Wawan. "Saya rasa businya!" ujar Rain, "percikan listrik sudah menyala, ketika saya menghubungkan plus dan minus ke aki. Airnya juga belum tawar. Itu berarti tidak ada masalah dengan aki mobil," imbuhnya. "Kamu bilang kepala akinya, terus sekarang bagaimana?" protes Kapten Wawan. "Dimana bengkel terdekat?" Rain. "Sepuluh kilometer lebih." Rain mendesah. Sambil membuka kabel busi, dia bertanya lagi, "apa kita punya kunci busi?" Kapten Wawan sontak menggeleng. "Coba distarter lagi!" seru Rain. Kapten Wawan mendecak, merasa dipermainkan. Sambil memasukkan kontak mobil, dia berpikir, "bagaimana mungkin mesin menyala, kalau semua kabel busi dicopot?" "Sudah?" teriak Rain, seraya menghubungkan lagi kabel busi perlahan-lahan. "Sebentar!" Kapten Wawan mulai memutar kontak. "Terus, ndan! Terus!" seru Rain. "Terus, terus, gigimu! Percuma saja!" dumel Kapten Wawan. "Lagi, dong!" eyel Rain. Kapten Wawan memutar kontak lagi, tapi mesin mobil tetap saja tidak mau menyala. Sambil menggeleng, dia pun, turun. "Kalau tidak tahu mesin, bilang!" makinya, turun dari kemudi. Bukannya menjawab, Rain malah sibuk sendiri. Dia mengambil obeng dan sebuah tang dari dalam dasbor mobil, dan lanjut mengotak-atik. Sambil memasang lagi kabel busi, dia berseru, "sekarang coba starter!" "Percuma saja!" tuding Kapten Wawan. Tak kehabisan akal, Rain pun, masuk ke dalam kursi penumpang, dan berkata, "coba dulu!" Kapten Wawan membuka pintu, duduk lagi ke atas kursi sopir. Sambil memutar kontak, dia terus menatap pemuda congkak yang begitu percaya diri itu. Ia sudah sangat siap mengolok-olok, tapi tiba-tiba... "Jreng!" Mesin justru menyala. "Kok?" "Busi nomor dua ternyata mati!" sahut Rain, puas. "Bagaimana caramu mengecek? Ah, pas starter tadi?" ingat Kapten Wawan, manggut-manggut. "Saya tidak melihat percikan api dari busi nomor dua, sementara yang lainnya menyala." Rain meringis, kesal. Sebenarnya, dia sudah tahu masalahnya sejak pertama kali mendengar suara mesin, tapi karena salah beli amplas ia terpaksa membersihkan kepala aki untuk mengurangi tingkat kekasarannya. "Sudah capek-capek, eh tidak ada kunci busi di dalam mobil. Si k*****t juga diam saja dari tadi," gerutunya dalam hati. "Terus, bagaimana caramu menyalakan busi yang mati itu, aku tidak melihatmu mengampelas?" tanya Kapten Wawan. Sejenak Rain melotot. "Pecahkan saja keramiknya! Kalau belum mati total biasanya menyala lagi, tapi nanti langsung ganti," sahut Rain, ketus, "katakan juga hal ini pada mekaniknya. Jangan sampai pecahan busi masuk ke mesin mo-" "Baiklah, mari kita berangkat!" putus Kapten Wawan. "Kurasa di tidak mendengarku," gerutu Rain. "Kenapa?" tanya Kapten Wawan. "Terserahlah, jalan saja cepat!" jawab Rain. Kapten Wawan langsung tancap gas. Tak perduli medan terjal yang tidak bersahabat bagi makanan dan cacing dalam perut, dia terus memacu kendaraan. Padahal, jelas-jelas Rain baru saja selesai makan. "Kita sudah sampai!" Sambil senyum, Kapten Wawan membuka pintu. Rain hanya melirik geram, seraya menyesali keputusannya memperbaiki mobil. Dia mencengkeram bangku penumpang, perlahan-lahan merangkak keluar. "Orang gila!" umpatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN