“Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.
“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila.
“Dji—”
“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”
Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”
“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau melangkahi Bapak, tapi saya juga nggak tahu kalau Nena langsung bicara dengan pak Djiwa. Saya—”
“Saya kasih kamu waktu untuk berpikir ulang malam ini,” ucap Hamid tegas. “Dan temui saya besok pagi di ruangan.” Hamid mengangguk singkat pada Djiwa, sebelum akhirnya ia pergi dari ruangan tersebut tanpa kata.
Nila refleks menghela panjang untuk meredam kegugupan yang ada. Semua ini salahnya, karena mengambil keputusan terlalu cepat dan membicarakan hal tersebut pada Nena, sekretaris redaksi yang akan mengundurkan diri sebentar lagi.
“Pak Dji—”
“Jangan plin plan.” Djiwa segera memotong sambil berjalan menuju meja kerjanya. Ia duduk di sisi meja, lalu menyilang kaki dan bersedekap. Menatap tajam, menelisik penampilan Nila dari ujung rambut hingga kaki dengan perlahan. “Kamu yang mengajukan diri untuk menggantikan Nena, jadi kamu harus bertanggung jawab.”
“Saya ...” Nila menelan ludah. Mulai merasa menyesal dengan keputusan yang diambilnya tanpa pikir panjang. Semua ini adalah imbas pertemuannya dengan Deswita, sehingga ia larut dalam emosi dan ingin pindah tugas agar bisa membuang semua kenangan tentang Arif. “Saya pasti bertanggung jawab.”
Djiwa menggeleng. Meragukan ucapan Nila sepenuhnya, karena gadis itu tampak bimbang. “Besok, pergi ke HRD dan tanda tangani kontrak barumu setelah bicara dengan pak Hamid. Tapi sebelum itu, ada satu pasal tambahan yang harus kamu ketahui.” Djiwa menunjuk ke arah pintu yang masih terbuka. “Tutup pintu,” titahnya sembari beranjak lalu duduk pada kursi kerjanya.
Nila mengangguk dan segera menuruti perintah pria itu. Setelahnya, ia kembali berdiri di tengah ruang dan menunggu instruksi selanjutnya.
“Kamu TI-DAK diperkenankan menikah selama masih terikat dengan kontrak dan ada penalti yang harus dibayar jika melanggar,” ucap Djiwa kembali bersedekap dan memberi tatapan tegas. Penuh peringatan, karena ia tidak main-main dalam hal ini. “Jadi, kalau kamu punya rencana menikah dalam waktu dekat dengan Arif, silakan pergi dari sini dan jangan pernah kembali ke redaksi.”
“Saya nggak akan nikah.” Nila menggeleng cepat. Tidak mungkin menarik ucapannya di hadapan Djiwa.
Percakapannya dengan Deswita pagi ini, telah memberi Nila sudut pandang baru tentang pernikahan. Yakni, menikah bukan sekadar menyatukan dua hati, tetapi juga melibatkan keluarga mereka. Dengan pemahaman itu, Nila memutuskan untuk tidak lagi menjalin hubungan dengan siapa pun, demi menghindari luka yang sama.
Karena tidak menutup kemungkinan, jika keluarga kekasihnya kelak juga akan berpikiran seperti Deswita. Untuk itu, Nila rasa tidak ada salahnya jika ia memutuskan untuk hidup selibat. Sebuah keputusan yang sama, seperti yang diambil oleh ibunya selama ini. Memilih hidup tanpa pria dan hanya fokus membesarkan Nila.
“Nggak akan nikah?” Djiwa mengulang, memastikan kalimat yang baru saja meluncur dari bibir Nila. “Atau belum punya rencana menikah?”
Nila menahan napas, matanya bertemu dengan tatapan tajam pria berusia 34 tahun itu. Djiwa bukan tipe yang mudah diyakinkan dengan jawaban setengah hati. Jadi, Nila harus bisa menyusun kata-kata yang tepat dan tegas agar bisa mengakhiri pembicaraannya dengan Djiwa.
Sebenarnya, Nila sudah mantap untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai reporter. Namun, sikap Djiwa yang tidak bisa sesantai Hamidlah yang membuatnya ragu. Tekanan saat berhadapan langsung seperti sekarang, sontak membuat nyalinya mendadak ciut.
“Saya sudah selesai sama mas Arif,” ucapnya jujur agar semuanya jelas. Tidak perlu menutupi, karena lambat laun semua orang juga akan tahu jika Nila dan Arif telah putus. Sama seperti dulu, saat hubungan mereka baru saja dimulai, lalu kabar kedekatan itu pun menyebar dengan sendirinya. “Jadi, saya—”
“Kamu jadikan posisi sekred sebagai pelarian,” todong Djiwa tanpa ragu lagi.
“Bukan begitu, Pak,” sahut Nila cepat. “Saya—”
“Kapan kalian putus?” selidik Djiwa tanpa melepas tatapan tajamnya pada Nila.
“Urusan pribadi saya nggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.”
“Dan bagaimana kalau urusan pribadimu itu sampai mengacaukan pekerjaan?” Djiwa berdiri, tubuhnya condong ke depan saat kedua tangannya mencengkeram tepi meja dengan tegas. “Kamu siap saya pecat? Tanpa pesangon dan surat referensi?”
Nila menelan ludah, tenggorokannya tercekat oleh ketegangan yang menggantung di udara. Ia mencoba mempertahankan tatapan tegas, agar Djiwa tidak lagi menaruh keraguan sama sekali. Tidak ada yang bisa diharapkan dari Arif dengan sikap penolakan Deswita. Untuk itu, Nila rasa ia tidak perlu mundur dan harus siap dengan semua konsekuensi yang akan terjadi.
“Bagaimana?” tegur Djiwa tersenyum miring nan remeh pada Nila yang belum memberinya jawaban. “Siap dipecat?”
Nila akhirnya mengangguk. Meskipun masih ada segaris kebimbangan, tetapi ia boleh membiarkan Djiwa meremehkannya.
“Kalau sampai urusan pribadi saya mengacaukan pekerjaan.” Nila menarik napas singkat. “Saya ... siap dipecat.”