Anthea menepuk pipinya agak kencang ketika ia mendapati dirinya menguap lebih dari tiga kali pagi ini. Semalam ia tidur melebihi jam malam karena mendapati dirinya melamun, memikirkan masa lalunya yang sudah berakhir.
Anthea memegang gelas kopinya dan meminumnya, langkahnya terhenti di depan pintu masuk kantor saat ia melihat Sai mencium pipi Callia dan melambai pada wanita itu sebelum akhirnya ia berbalik untuk pergi.
Mereka bertemu di anak tangga. Sai melihatnya berdiri kaku dengan segelas kopi dan anak rambut yang terlepas dari ikatan rambutnya. Anthea menarik bibirnya untuk tersenyum, namun respon yang Sai berikan sungguh memberikannya luka.
Pria itu hanya terdiam dan berjalan pergi seolah dia tidak ada di sana. Seolah ia tidak melihat Anthea berdiri di sana, berusaha menyapanya namun ia urungkan. Anthea hanya tersenyum, merutuki kebodohannya dan berjalan masuk. Meneguhkan hatinya yang mulai terluka bagai terkena garam.
Pintu lift hampir menutup, Anthea terkejut saat ada tangan wanita yang mencegah pintu itu tertutup. Anthea tersenyum saat Callia masuk dengan wajah penuh kelegaan. "Ya, Tuhan, aku ceroboh sekali pagi ini."
Callia menyapa Anthea dengan ramah. "Hai, Anthea. Kau terlihat pucat pagi ini," Callia menatapnya khawatir. "Kau tidak apa?"
Anthea menggeleng. "Hanya kurang tidur," jawabnya.
Callia memasang wajah menyesal. "Apa pekerjaan akhir-akhir ini banyak sekali? Apa anak magang tidak membantu pekerjaanmu atau bagaimana? Kau bisa ceritakan padaku."
Anthea terkekeh geli. "Tidak. Jam tidurku sedikit terganggu. Aku hanya butuh istirahat," lift terbuka dan Anthea melangkah keluar. "Kau yang seharusnya tidak usah bekerja. Pikirkan saja tentang bulan madumu," goda Anthea. Callia terkekeh geli, ia mencubit bahu Anthea gemas. "Jangan menggodaku, Anthea." Dan pintu lift tertutup sempurna.
Anthea terdiam di depan pintu lift. Matanya kosong menatap pintu besi abu-abu itu. Lama berdiam diri, Anthea berbalik menuju mejanya. Mendapati Celin menatapnya dengan pandangan sedih. Anthea tersenyum, menenangkan gadis itu dengan lambaian tangannya.
"Callia mencintai Sai, ya?"
Anthea hanya tersenyum. Gerakan mengetik pada komputernya terhenti. Anthea menoleh pada Celin dengan wajah cerah. "Mungkin saja. Semoga itu benar. Pernikahan itu bukanlah main-main. Mereka sudah bersumpah untuk sehidup dan semati."
"Anthea ..."
Anthea meremas tangan Celin di bahunya. "Aku baik-baik saja, Celin. Sungguh."
.
.
Anthea baru saja kembali dari ruang percetakan untuk mencetak dokumennya sampai ia bertemu Callia tengah bingung di bagian ruangannya. Dia menghampiri Callia dan wanita pirang itu menoleh. "Anthea! Syukurlah, bisakah kau membantuku?"
Anthea menaruh dokumennya di atas meja kerjanya dan mengangguk.
"Bisakah kau pergi ke kantor Madana dengan mobil kantor? Aku ada rapat mendadak dengan klien baru. Mereka memintaku hadir lima belas menit dari sekarang. Jika aku ke sana untuk meminta tandatangan, aku tidak akan sempat."
Anthea tampak berpikir sebentar. Celin sedang pergi untuk mengecek lapangan dan hanya ada dirinya. Ini memang tugasnya. "Ya, aku akan pergi."
Callia tersenyum senang. Dia memberikan Anthea dokumennya dan pergi menghilang di balik pintu lift yang menutup.
Anthea menghela napasnya. Dia mengambil tasnya dan memasukkan dokumennya ke dalam tas. Pergi menuju parkiran untuk membawa mobil.
.
.
Anthea membaca dokumen yang dibawanya sembari masuk ke dalam gedung pencakar langit milik Madana. Anthea tidak tahu siapa yang akan dia temui setelah ini. Langkahnya terhenti saat ia melihat tulisan miring yang digaris bawahi oleh Callia.
"Menghentikan kontrak kerja bersama?"
Dahi Anthea berkerut setelah ia menutup map itu dan memeluknya di d**a. "Mengapa Callia melakukannya?"
Anthea berhenti tepat di depan meja resepsionis. Mata hijaunya terpaku pada gadis berambut merah yang berdiri tegak dibalik meja panjang.
"Permisi, aku Anthea Latania dari Daviana's Industries, bisakah aku bertemu dengan..."
Wanita itu langsung mengangkat tangannya. Menghentikan seseorang yang berjalan di belakang Anthea hendak menuju lift. Anthea menoleh, mendapati pria berambut kuning yang kini berjalan menuju mereka.
"Tuan Saveri, perwakilan dari Daviana's Industries ingin bertemu," ucap wanita itu.
Alis pria itu terangkat. Ia menatap Anthea selidik. "Kau? Bukankah Gale memiliki janji dengan bosmu, Daviana Callia?"
Anthea tampak terkejut. Tenggorokannya terasa kering. Matanya bergerak gelisah saat mendapati pertanyaan yang sama sekali diluar kendalinya. "Oh, itu.."
Saveri mengangguk kaku. Wajahnya menunjukkan penyesalan karena menanyakan hal yang tidak Anthea ketahui. "Ah, maaf. Ayo, Nona, kuantar kau keruangan direktur."
Anthea menghentikan langkahnya. Bukankah Saveri memiliki hubungan dengan Celin? Mengapa dia bisa melupakannya? Memilih untuk bersikap sopan, Anthea mengangkat mapnya di depan d**a. "Tidak bisakah aku menitipkannya saja? Maksudku, ini dokumen penting antara Nona Daviana dan direktur utama di sini. Aku hanya ditugaskan untuk mendapat tanda tangannya saja."
Saveri tampak berpikir. Kepala kuningnya menggeleng putus asa. "Tidak, kau mungkin bisa mewakili apa yang akan dibicarakan direktur padamu."
Anthea hanya mengangguk. Dia mengucapkan terima kasih pada wanita berambut merah itu dan mengikuti pria berambut kuning nyentrik itu pergi menuju lift. Sepanjang perjalanan, mereka menghabiskan waktu untuk diam. Anthea merasa dirinya hanya pegawai biasa tidak akan berhadapan dengan pria yang ia taksir menjabat sebagai manager atau asisten direktur ini. Dia memilih untuk menjaga etika dalam bekerja untuk tidak banyak bicara.
Lift berhenti di lantai yang memang Anthea tebak khusus untuk para petinggi kantor. Dia melihat berjejer pintu yang bertuliskan ruangan manager, asisten manager, direktur umum, pemegang saham, dan lain-lain yang memang memiliki nama besar di sini. Langkahnya terhenti saat Saveri membuka pintu ruangan bertuliskan nama Madana Gale.
Anthea belum sempat mengatur mimik wajahnya sampai ia dihadapkan oleh pria bertubuh tinggi dengan badan kokohnya sedang duduk menghadap pintu masuk dan wajahnya yang kaku serta dingin menjadi salam pembuka untuknya.
Anthea memasang wajah sebaik mungkin untuk tidak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ini pertemuan keduanya dengan pria ini.
Kepalanya terasa berputar, Anthea mengangguk setelah pria bernama Saveri itu memilih untuk undur diri dan keluar dari ruangan meninggalkan dirinya bersama Gale hanya berdua.
Anthea berdeham, langkah sepatu flatnya bergesekan dengan karpet mewah tebal di bawahnya. Dia menaruh dokumen di atas meja Gale yang tidak lagi menatapnya melainkan menatap objek di luar jendela.
"Callia yang menyuruhmu?" suaranya tenang.
Anthea mengangguk. "Dia punya rapat penting yang harus ia hadiri."
Anthea melihat senyum sinis pria itu. "Ah, benarkah?" kursi itu berputar. Kini menghadap Anthea seluruhnya. "Bisakah kutahu rapat apa yang bersamaan dengan jam makan siang?"
Anthea terkejut. Dia melihat jam tangannya dan jam menunjukkan pukul setengah satu siang. Wajahnya tampak kaku, namun ia berusaha setenang mungkin.
"Aku tidak tahu. Maaf."